Oktober 05, 2014

DZIKIR DI LOKALISASI SEMAMPIR

Catatan Seorang MANDOR (Mahasiswa Pendobrak)
Oleh: @kangmuda
                                                             

Semampir, adalah salah satu kelurahan di Kota Kediri, yang secara geografis terletak di tengah kota dan berada di sebelah barat pabrik rokok terbesar se Indonesia, Gudang Garam. Bagian barat dari kelurahan ini dilintasi oleh aliran sungai Brantas, yang membuat daerah ini memiliki tingkat kesuburan tanah cukup tinggi. Di atas sungai Brantas, terdapat jembatan yang menghubungkan antara kelurahan Semampir dengan kelurahan
Mojoroto. Di bawah jembatan inilah, tepatnya di sisi kanan dan kiri unjung timur jembatan, terdapat lokalisasi yang disinyalir terbesar ketiga se Jawa Timur setelah lokalisasi Gang Dolly dan Jarak.

Dalam sejarahnya, lokalisasi Semampir sudah ada sejak tahun 1960-an, yang merupakan pemusatan dari aktivitas prostitusi jalanan di Kediri, khususnya di Lemah Geneng. Secara administratif, lokalisasi ini sebenarnya sudah ditutup oleh Pemkot Kediri pada tahun 1998, dan dinyatakan sebagai eks lokalisasi pada tahun 2004. Namun karena kebijakan tersebut kurang disertai solusi yang memadai, secara ilegal lokalisasi Semampir terus beroperasi hingga sekarang. Baru pada bulan Ramadan atau Juli tahun 2014 ini, Pemkot Kediri melakukan sosialisasi penutupan kembali dengan memulangkan para PSK (Pekerja Seks Komersial) dan menjaganya siang-malam dengan melibatkan personil TNI, Polisi dan Satpol PP hingga bulan Desember mendatang. 
Lokalisasi Semampir terdiri dari dua komplek, komplek utara yang berada di sebelah utara jembatan, dan komplek selatan yang berada di sebelah selatan jembatan. Baik komplek utara maupun selatan, di dalamnya terdapat dua gang yang membentang sekira 200 meter dari gerbang utara hingga jembatan, dan dari gerbang selatan hingga jembatan. Di sepanjang bibir-bibir gang, berdiri wisma-wisma yang didesain secara khusus untuk ruang karaoke, kamar esek-esek, tempat kos para PSK, dan tempat tinggal para mucikari atau germo.
Berdasarkan pendataan terakhir, lokalisasi ini dihuni oleh 220 PSK yang keseluruhannya berasal dari luar Kediri. Penutupan lokalisasi Gang Dolly yang dikhawatirkan sebagian pihak akan menyebabkan eksodus para PSK ke lokalisasi-lokalisasi lain, ternyata hanya isapan jempol. Dari waktu ke waktu, jumlah PSK yang bekerja di lokalisasi ini relatif stabil, yakni berada di kisaran 200 sampai 250 orang.
Aktivitas di dalam komplek lokalisasi Semampir, buka selama 24 jam. Hanya saja, puncak keramaian pengunjung berlangsung antara pukul 20.00 hingga 00.00 Wib. Pada jam-jam ini, yang bekerja didominasi oleh para purel dengan usia yang relatif muda, berkisar antara 20 hingga 35 tahun. Sedangkan di atas jam 00.00 Wib. biasanya didominasi oleh PSK usia 35 tahun ke atas. Dalam satu minggu sekali, tepatnya setiap hari Jumat, Dinas Kesehatan Kota Kediri mengadakan cek kesehatan terhadap seluruh PSK, untuk mengantisipasi penyebaran virus HIV. Setiap pengunjung yang memasuki komplek, juga diwajibkan membeli kondom yang disediakan di pintu gerbang selatan maupun gerbang utara. Dalam satu tahun, lokalisasi Semampir hanya tutup pada bulan Ramadan, itupun hanya sampai tanggal 20 Ramadan. Di atas tanggal 20 Ramadan aktivitas lokalisasi kembali beroperasi. Alasan mereka beroperasi kembali di akhir bulan Ramadan ini adalah untuk mencari biaya kebutuhan di hari lebaran.
Para pengunjung lokalisasi Semampir terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari para pekerja kuli bangunan, sopir-sopir truk, para pelajar, hingga para cukong dan pejabat. Para PSK di lokalisasi Semampir juga terdiri dari beberapa kelas, seperti kelas Prima Top, kelas Primadona, kelas Melati, kelas Mawar, dll., di mana masing-masing kelas memiliki tarif komersial sendiri-sendiri yang diukur berdasarkan usia dan kecantikan PSK. Misalnya, tarif untuk PSK yang berada di kelas Prima Top sebesar Rp. 300.000 ke atas untuk sekali main, plus harga sewa kamar sebesar Rp. 20.000 dengan durasi 15 menit. Sedangkan tarif untuk kelas Primadona sebesar Rp. 200.000 sampai 250.000 untuk sekali main. Dan jika ingin menambah durasi waktu, biasanya cukup menambah sewa kamar sebesar Rp. 20.000/15 menit. Namun untuk tarif PSK yang beroperasi di atas jam 00.00 Wib., biasanya relatif lebih murah, karena didominasi oleh para PSK yang sudah tua. Menurut informan yang tidak bersedia ditulis namanya, tarif-tarif ini tidak seluruhnya masuk kantong PSK, melainkan dibagi dua dengan germo atau mucikarinya dengan margin 50:50. Setiap seorang germo atau mucikari di lokalisasi Semampir, umumnya memiliki 5 sampai 10 PSK. Germo-germo inilah yang bertanggung jawab menyediakan fasilitas untuk keperluan para PSK, mulai dari kamar esek-esek, ruang karaoke, tempat tinggal, konsumsi, kosmetik, dan lainnya. Dengan demikian, dibanding para PSK, para germolah yang paling banyak meraup keuntungan dari ‘bisnis lendir’ ini.
Apabila mengamati latar belakang kehidupan para PSK, faktor yang menyeret mereka jatuh ke dunia prostitusi ini, nyaris semua karena desakan ekonomi atau masalah keluarga (broken home). Hanya 0,3% yang ditengarai karena faktor hiperseks. Sebut saja Clara, salah satu purel yang masih cukup belia, yakni berusia 18 tahun, namun KTP-nya sengaja dituakan menjadi 21 tahun agar bisa diterima bekerja di lokalisasi Semampir yang mensyaratkan minimal usia 20 tahun. Ia berasal dari Blitar, dan berprofesi menjadi purel di Semampir karena paksaan ayahnya yang dilanda krisis finansial.
Dalam suatu obrolan malam, Clara bercerita mengenai awalnya bekerja di dunia malam. “Saya anak pertama, Mas. Saya memiliki dua adik, yang satu mau masuk SMP dan yang lain terkena serangan usus buntu sampai sekarang belum dioperasi. Sementara ayahku perkejaannya nggak jelas. Ayahku itu punya teman yang menawarkan saya menjadi pelacur, sebab cewek seperti saya ini, katanya sehari bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp. 500.000. Suatu malam ayah memintaku, tolonglah bapakmu untuk mencari uang, apa kamu ingin melihat keluargamu mati karena tak punya uang. Bapak aku bilang begitu, Mas. Awalnya aku menolak. Bahkan ibuku juga menangis, tak mau anaknya bekerja seperti ini. Saya terpaksa jalani semua ini demi keluarga, Mas. Demi adikku yang akan melanjutkan ke SMP dan demi adikku yang sedang sakit agar bisa operasi.” Sambil meneteskan air mata, Clara menutup obrolan malam itu dengan sebuah harapan, Saya hanya berharap, Mas. Nanti ketika sudah cukup uang, saya akan berhenti bekerja seperti ini dan memulai usaha yang halal. Terus terang, Mas, batin saya menolak dengan kehidupan yang saya jalani ini.”
Begitulah sepenggal cerita pilu seorang purel yang bekerja sebagai PSK di lokalisasi Semampir. Cerita-cerita serupa, yang hampir semuanya karena himpitan ekonomi, sebenarnya juga dialami oleh kebanyakan PSK di lokalisasi Semampir, seperti ditinggal suaminya yang mewariskan hutang ratusan juta dan harus ditanggung oleh isteri, dan lain sebagainya.
Profesi sebagai pelacur, memang mengharuskan mereka tampil dengan gaya hidup glamor, seksi, riang, menggoda, dan menggairahkan. Tapi tahukah kita bahwa di balik semua itu, sesungguhnya batin mereka menangis, hati mereka menjerit, menolak dan mengingkari kehidupan yang mereka jalani sendiri. Di dasar relung hati mereka, sejatinya masih terpendam keinginan untuk menjalani kehidupan secara baik dan bermartabat. Namun, himpitan beban hidup yang berat, memojokkan mereka menjadi tak mempunyai pilihan. Apabila kita menyimak dengan nurani cerita-cerita para PSK tentang latar belakang beban kehidupan mereka yang maha berat demikian, kiranya bisa membuat kita untuk tidak latah mamandang para pelacur dengan sebelah mata. Dunia mereka mungkin memang hitam jika dilihat dari perspektif norma agama ataupun norma sosial. Namun, tentu tidak adil dan kurang bijak jika kita hanya menghakimi mereka sebagai manusia nista sementara kita menutup mata terhadap faktor yang melatarbelakangi mereka jatuh ke kehidupan nista tersebut. Bagaimanapun, mereka adalah manusia yang beriman, manusia yang percaya Tuhan, sama seperti kita. Hanya saja, mungkin mereka menanggung beban hidup maha berat yang memaksa mereka ‘menyerah’. Dan yang mereka tahu, Tuhan Maha Panyayang. Boleh jadi kita yang tetap ‘bertahan’ dan tidak jatuh ke dunia mereka, karena kita tidak pernah menanggung beban hidup seberat kehidupan mereka.
Ini penting kita insafi, agar menumbuhkan kerendahan hati, rasa kemanusiaan dan empati kita terhadap saudara-saudara kita yang kebetulan sedang terpuruk menyerah oleh beban kehidupan. Keterpurukan mereka di lembah nista, tak seharusnya menjadi alasan kita untuk memandang mereka sebelah mata, menjauhi dan menyingkirkan mereka. Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang butuh kepedulian kita untuk membantu bangkit dari keterpurukan. Ini merupakan sebuah tugas kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab kita semua.
Demi mengemban tugas kemanusiaan itulah, pada tahun 2005 seorang warga Semampir yang bernama Ustad Agus Karwiyanto menggagas sebuah acara pengajian di lokalisasi Semampir. Menurut Ustad Agus, Bagaimanapun mereka tetap saudara kita yang harus kita dekati. Jika mereka kita jauhi, tidak ada lagi yang akan peduli, dan mereka akan semakin tidak karuan.” Tidak mudah untuk membuat acara pengajian di lokalisasi Semampir. “Tantanganya besar Mas, nyawa taruhannya. Di tahun-tahun pertama dulu, saat saya mengadakan pengajian, sering sekali dipisuhi, dilempari botol minuman keras, dicegat oleh preman-preman penjaga lokalisasi, diajak berkelahi, diteror, disantet, dll. Mereka menganggap, acara seperti ini akan mematikan usaha atau bisnis mereka.” Kisah Ustad Agus mengenang awal-awal perjuangannya.
Berkat kegigihan Ustad Agus, seiring perjalanan waktu pengajian ini semakin banyak diikuti warga di lingkungan lokalisasi Semampir, termasuk para mucikari dan PSK. Pengajian ini kemudian menjadi acara rutinan yang dilaksanakan setiap malam Rabo setelah maghrib, yang digilir dari satu rumah warga ke rumah warga yang lain. Dalam pengajian ini diisi dengan bacaan-bacaan dzikir, istighatsah, kirim doa, dan ceramah keagamaan. Isi ceramah kegamaan lebih berupa motivasi untuk melakukan kebaikan terhadap sesama, dan harapan-harapan (raja’) akan ampunan Tuhan, bukan berisi tentang hukum-hukum fiqih. “Warga lokalisasi sini nggak kuat Mas, kalau harus diceramahi tentang fiqih. Dakwah yang bisa kita lakukan hanya berupa spirit-spirit yang menumbuhkan dan menguatkan keinginan nuraninya untuk berubah hidup lebih baik, dan memberikan harapan-harapan akan ampunan Tuhan, sehingga sekelam apapun kehidupan yang mereka jalani sekarang ini, tidak membuat mental mereka mengalami keputus-asaan untuk suatu saat bertobat.” Terang ustad Agus tentang pendekatan dakwahnya.
Untuk mengembangkan dakwah di lokalisasi Semampir, pada tahun 2007 Ustad Agus berinisiatif mendirikan sebuah Yayasan Pendidikan dan Panti Asuhan Anak Yatim dan Dhu’afa. Yayasan ini diberi nama Al-Hidayah yang dibangun persis di depan pintu gerbang selatan lokalisasi Semampir, yang baru diresmikan pada tahun 2010. Misi utama yayasan ini adalah untuk menjaring anak-anak yatim dan anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berada di lingkungan lokalisasi Semampir, agar bisa dibina dan diproteksi sejak dini dari pengaruh negatif kehidupan lokalisasi, sehingga ke depan bisa meretas mata rantai regenerasi para pelaku bisnis prostitusi di Semampir. Kendati demikian, yayasan ini tidak membatasi anak asuh atau anak didiknya hanya berasal dari lingkungan lokalisasi Semampir, melainkan terbuka luas untuk semua masyarakat yang kurang mampu. Yayasan Al-Hidayah juga menanggung semua biaya hidup dan biaya pendidikan anak asuh atau anak didiknya mulai dari tingkat SD sampai jenjang perkuliahan.
Keberadaan yayasan Al-Hidayah di lingkungan lokalisasi Semampir menjadi sangat vital, sebab peranannya menjadi katalisator bagi upaya penutupan lokalisasi secara kultural dan permanen. Bahkan dalam jangka panjang, Yayasan ini memiliki potensi besar untuk merubah Semampir dari image lokalisasi menjadi Semampir yang islami. Lantaran itulah, yayasan Al-Hidayah dipilih sebagai tempat KKN mahasiswa Institut Agama Islam Tribakti Kelompok I tahun 2014, yang menobatkan dirinya sebagai MANDOR (Mahasiswa Pendobrak), melalui terobosan-terobosan progresifnya dalam bidang penguatan finansial Yayasan. Posdaya Berbasis Masjid yang menjadi salah satu program KKN kelompok ini, juga berhasil menyabet Juara I Se Karisidenan Kediri dan Juara Harapan V se Jawa Timur, Bali, dan NTB. Selamat kepada para MANDOR atas prestasi yang diperolehnya. Semoga energi, pikiran, dan ‘mantra-mantra dzikir’ yang telah dirapal, bisa menjadikan Yayasan Al-Hidayah semakin barokah bagi masyarakat di lingkungan Eks Lokalisasi Semampir. | KD



Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet