April 30, 2012

PLURALISME AGAMA


Antara Puncak Moralitas Beragama dan Pengkaburan Agama-Agama


Pluralitas Makna Pluralisme Agama

Sejak digulirkannya di abad ke-15, gagasan pluralisme (agama) terus menggelinding menjadi term debatable yang cukup tajam di banyak kalangan. Berbagai ta’rif telah coba diciptakan oleh banyak pemikir, namun justeru menciptakan silang sengkarut definisi dan melahirkan “pluralitas” makna pluralisme itu sendiri. Konflik definitif yang tak kunjung final ini, telah membelah pandangan masyarakat menjadi setidaknya dua kelompok dalam menyikapi isu keagamaan era global ini, yaitu kelompok yang menerima, dan kelompok yang menolak. Di Indonesia, puncak kontroversi dua pandangan masyarakat ini ditandai dengan dikeluarkannya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 yang mengharamkan pluralisme agama di satu pihak, dan penganugerahan gelar Bapak Pluralisme kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Presiden SBY, di pihak lain.
Fatwa pengharaman MUI itu mungkin bisa dimengerti jika pemaknaan pluralisme seperti apa yang didefinisikan MUI secara monolitik (tunggal). Yaitu pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.[1] Namun realitasnya, definisi pluralisme agama tidak bersifat tunggal, bahkan bisa didapati banyak teolog yang memberikan definisi yang “plural” terhadap pluralisme agama. Berikut ini adalah beberapa pandangan para teolog dalam mendeskripsikan makna pluralisme agama.

April 29, 2012

KRITIK DAN USULAN UNTUK MHM-KU TERCINTA



    Kebesaran popularitas Pesantren Lirboyo di panggung intelektual kaum sarungan, banyak dipercaya merupakan produk dari sistem belajar musyawarah yang secara ketat diterapkan sejak dini di tiap jenjang pendidikannya. Penerapan sistem ini telah berhasil menggeser sistem belajar lama yang bersifat monologis (sepihak), menjadi aktivitas didaktik yang dialogis-emansipatoris. Santri tidak sekedar diposisikan sebagai obyek pasif dalam aktivitas belajar-mengajar, yang hanya mendengar, menulis, dan dicekoki keterangan-keterangan atau doktrin-doktrin dari pengajar, melainkan diperankan langsung sebagai subyek (pemain) yang aktif. Santri sejak dini dilatih kritis berpikir, menganalisis, berpendapat, dan munâdharah (berdebat), adu argumentasi secara bebas.
Sistem belajar musyawarah yang dialogis-emansipatoris demikian, memiliki peran penting dalam mengasah ketajaman inteligensi dan daya analitis santri. Sehingga pada gilirannya, membentuk karakter dan nalar keilmuan santri-santri MHM Lirboyo yang kritis, progresif, dan profesional.
Pada skala internal, prestasi ini bisa dilihat dari profesionalisme para aktivis dalam Bahtsul Masa'il di gedung LBM (Lajnah Bahtsul Masa'il) PP. Lirboyo. Kendati metode dalam mengkaji masa'il masih kental memakai teori pendekatan fiqh qauli (pemahaman tekstual), untuk ukuran kualifikasi keilmuan santri yang masih menyandang predikat siswa, nilai kualitas diskusi yang didemonstrasikan cukup memiliki bobot ilmiah.
Pada skala eksternal, profesionalisme demikian juga bisa dilihat dari penampilan para santri MHM Lirboyo saat didelegasikan ke forum-forum diskusi ilmiah antar pondok pesantren, seperti FMPP, dll. Delegasi-delegasi santri MHM Lirboyo, dalam banyak kesempatan, hampir dipastikan paling dominan dalam mewarnai alur perdebatan, bahkan paling menentukan hasil keputusan. Prestasi serupa, juga bisa dilihat dari alumni-alumni MHM Lirboyo yang kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas dan memainkan peranan penting dalam dinamika dunia akademik kampus.

April 28, 2012

DENGAN MUSYAWARAH; BUDAYAKAN DISKUSI, BERDAYAKAN POTENSI, RAIH PRESTASI


I.          MUQADDIMAH
Pesantren, adalah lembaga pendidikan asli Indonesia (indigenous) yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan Nusantara yang bergerak secara khusus di bidang keagamaan (tafaqquh fi addien) sejak era Walisanga (abad 15 M.), dan sebelum era penjajahan kolonial Belanda (abad 18 M.).
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri yang sulit dijumpai di lembaga pendidikan lain. Orientasi pendidikan pesantren tidak hanya terpusat pada usaha mencerdaskan aspek intelektualitas anak didik (ta’lîm), melainkan sekaligus concern dalam pembentukan karakter dan kepribadian (tarbiyah). Santri tidak hanya disiapkan menjadi figur yang cerdas secara intelektual, melainkan sekaligus dicetak menjadi pribadi yang memiliki kepekaan moral-spiritual. Orientasi pendidikan yang mensinergikan aspek intelektual dan moral-spiritual seperti ini, menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mecerdaskan anak bangsa dan mencetak generasi bermoral akhlaqul karimah. Ini sekaligus membedakan dengan orientasi lembaga pendidikan formal pada umumnya yang cenderung hanya mementingkan aspek intelektual dan keterampilan berbasis duniawi belaka.
Di usianya yang semakin dewasa, pesantren kian menemukan kematangan dalam sistem belajar-mengajarnya. Apabila dahulu di pesantren hanya dikenal sistem belajar yang bersifat monologis (sepihak), seperti ngaji weton, bandongan, dan sorogan, dewasa ini, di banyak pesantren besar, telah diterapkan sistem belajar musyawarah sebagai sistem penting untuk pemberdayaan kualitas keilmuan dan prestasi santri-santrinya.

April 27, 2012

KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF ASWAJA


Diskursus Antara Idealisme dan Kemaslahatan

I.   PROLOG

Penghapusan Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924, yang sekaligus menandai berakhirnya dominasi Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad sejak era Khulafa’ Arrasyidien, dan meroketnya hegemoni Barat atas dunia Islam, menegaskan keberadaan umat Islam mulai saat itu telah terpuruk ke dasar degradasi peradaban. Realitas keterpurukan umat Islam dalam kancah politik, ekonomi, militer, budaya, dan bayang-bayang kemajuan Barat dalam sains dan teknologi yang menyudutkan umat Islam, serta “penjajahan modern” yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam, disinyalir kuat menjadi faktor terpenting yang membangkitkan eskalasi “kerinduan” umat Islam akan kejayaan yang pernah dimilikinya di masa silam itu.
Eskalasi “kerinduan” seperti ini, membangkitkan sugesti (ghirah) keagamaan umat Islam untuk melakukan serangkaian koreksi atas faktor-faktor penyebab kemunduran tragis yang dialaminya, kemudian melakukan improvisasi dan ijtihad-ijtihad sosial sebagai upaya untuk bangkit mengembalikan kejayaan yang hilang.
Dalam hierarki ijtihad mengembalikan kejayaan yang hilang ini, umat Islam setidaknya terpecah ke dalam dua limit (manhaj) perjuangan. Ada sebagian umat Islam yang berikhtiar melalui pendekatan-pendekatan metodologis, kontekstual, progresif, permisif, dan inklusif, bersedia membuka diri dan kompromi dengan nilai-nilai positif peradaban Barat. Dan ada sebagian ikhtiar umat Islam yang cenderung eksklusif, fundamental, anti Barat, dan memilih kembali pada nilai-nilai positif Islam konvensional, serta tak kenal kompromi dengan nilai-nilai kearifan lokal dan modernitas. Bagi kelompok kedua ini, mengembalikan Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya pilihan politik yang tak bisa ditawar untuk memungkinkan membangun kembali kejayaan Islam yang hilang. Maka, sejak saat itulah term “khilafah” menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali Daulah Islamiyah internasional.

April 26, 2012

KEJAHATAN MEWANITAKAN LELAKI


Seperti dimaklumi bahwa, aksi kejahatan tidak terbatas terjadi pada aspek fisik, tetapi juga terjadi dalam aspek batin: psikis, mental, dan hati. Pengaruh kejahatan jenis kedua ini, bahkan memiliki efek destruktif yang jauh lebih fatal dan berbahaya dari jenis kejahatan pertama. Bagaimana tidak, seorang yang luka fisik akibat aksi kriminal, maka rumah sakit dan pusat-pusat pengobatan lain, dengan tenaga medis profesional serta obat-obatan dosis tinggi, dalam 24 jam akan siap memberikan layanan penyembuhan. Tetapi, 'luka' akibat aksi kejahatan yang memberikan dampak negatif terhadap psikis, mental atau kejiwaan seseorang (trauma), akan sulit dicarikan penanganan. Suatu efek destruktif yang tak jarang memberikan bekas negatif permanen terhadap psikis dan karakter 'korban' sepanjang hidupnya. Sebuah kalam peribahasa agaknya relevan sebagai ungkapan sederhana dari hipotesa ini, luka raga hanya sementara, luka hati dibawa mati.
Fenomena 'luka batin' atau 'trauma' inilah yang kerap dialami oleh —saya mengistilahkan dengan— lelaki yang diwanitakan dalam sebuah komunitas laki-laki, atau kalau di pesantren lebih familier dikenal dengan predikat 'Mairil', 'Minthi' atau sebutan lainnya. Yaitu seorang lelaki dengan tipikal 'feminis' —yang sebenarnya tipe ini lebih hanya— dalam anatomi bentuk fisik atau gayanya, bukan dalam kecenderungan psikisnya. Artinya, mereka adalah manusia laki-laki yang normal lahir-batin.

April 25, 2012

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM DI INDONESIA



I.       PENDAHULUAN

Pesantren, sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri, adalah 'legenda hidup' yang masih eksis hingga hari ini. Dalam pandangan Dr. Nurcholish Madjid, eksistensi pesantren ini lebih dikarenakan pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi karakteristik eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya, melainkan mungkin Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, Sidogiri, Lirboyo dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat. Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Sebagai contoh, universitas-universitas ternama di Amerika seperti Universitas Harvard, dulunya merupakan lembaga keagamaan yang didirikan oleh Pendeta Harvard, kemudian saat ini telah berkembang menjadi universitas modern, ternama dan berpengaruh di dunia.

April 24, 2012

INTERNALISASI DOKTRIN DAN PEMIKIRAN ASWAJA DALAM BERAGAMA, BERBANGSA, DAN BERNEGARA



          I.       PENDAHULUAN
Sebagai bangsa, Indonesia adalah sebuah komunitas sosial dengan letak geografis di Nusantara, di mana setiap jengkal tanahnya dihuni oleh segala keanekaragaman masyarakat yang plural dan hiterogen, baik suku, ras, agama dan tradisi-budaya yang hampir mirip dengan masyarakat Madinah di era Rasulullah saw. Kesadaran akan kesamaan "nasib sejarah" yang dialami, mengilhami putra-putra Nusantara kala itu mengikrarkan kesatuan kebhinekaannya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sebagai sebuah negara, Indonesia lahir dari pengalaman sejarah ketertindasan penjajahan yang lebih dari 4,5 abad sejak kolonialisme Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang, yang kemudian memproklamirkan kemedekaannya tahun 1945. Sebuah negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45 sebagai idiologi kompromis untuk mengayomi secara adil kenyataan rakyatnya yang plural.
Proses kehadiran dan penyebaran Islam di Indonesia, dilakukan oleh da'i-da'i terdahulu yang membawa paham ASWAJA (Ahli Sunnah wal Jama'ah) melalui pendekatan dakwah yang elegan dan permisif terhadap tradisi dan budaya lokal yang telah mengakar menjadi nilai normatif masyarakat. Realitas demikian bisa kita lihat dari sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia yang lebih bercorak sufisme (tasawuf), dan dalam bentuk pandangan hidup dengan semangat intelektualisme dan spiritualisme, bukan sebagai gerakan politik. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kita juga bisa menyaksikan perjuangan Walisanga dalam usaha islamisasi masyarakat Jawa, yang kental dengan nuansa pendekatan akulturasi, yakni penyesuaian Islam dengan kultur budaya setempat. Paham ASWAJA dengan model pendekatan dakwah yang elegan dan permisif demikian inilah kiranya yang kemudian membentuk corak keagamaan Muslim Indonesia dalam wujudnya seperti yang kita saksikan hari ini. Yaitu karakteristik keislaman yang bersedia mengerti dan menghargai nilai-nilai keIndonesiaan.

April 23, 2012

TAFSIR AYAT-AYAT CINTA



PROLOG

Kerap kita mendengar ungkapan “cinta tak harus memiliki” yang pada umumnya lebih sebagai ungkapan ekspresif ketika perjalanan cinta mengalami kegagalan, ketimbang sebagai ungkapan filosofis dari hakikat cinta itu sendiri, di mana antara cinta dan keinginan untuk memiliki hakikatnya tidak ada relasi keterkaitan apapun. Dalam memahami dua perasaan tersebut sering terjadi kerancuan bahkan kekacauan, yang lazimnya murni karena sugesti perasaan kedua yang relatif lebih dominan dibanding perasaan pertama. Dominasi ini pula yang sebenarnya menjadi biang kecemburuan buta, posesifitas dan egoisme bercinta. Bahkan, dominasi ini pula yang mendorong seseorang gampang berdalih mengatasnamakan cinta ketika terjadi fantasi-fantasi negatif lainnya, atau ketika pegorbanannya —untuk memiliki— harus tidak berarti.     
Di lain pihak, kita juga sering mendengar ungkapan “memiliki tidak harus cinta” yang barangkali merupakan falsafah bagi mereka yang menomorsekiankan cinta dan tidak menjadikannya sebagai pra-syarat atau jaminan kebahagiaan mengarungi bahtera rumah tangga. Yah… bisa jadi karena meyakini kebahagiaan itu bisa dibeli dengan materi, atau boleh jadi paradigma itu sekedar bentuk kepasrahan ketika takdir seseorang harus menikah dengan orang yang tidak dicintai.

April 21, 2012

MENCIPTAKAN MUSYAWARAH YANG AGRESIF DAN BERKUALITAS



      I.      PENDAHULUAN
Eksistensi pesantren merupakan lembaga tafaqquh fî addîn yang asli Indonesia dan lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan kultural-tradisional yang unik, eksotik, dan memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Sebagai lembaga tafaqquh fî addîn, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berperan besar dalam mencetak anak didiknya memiliki kedalaman keilmuan keagamaan. Pesantren tidak hanya berperan mencerdaskan intelektualitas anak didiknya semata (ta'lîm), melainkan juga concern dalam mencerdaskan aspek spiritualitas dan moralitas untuk membentuk kepribadian santri yang shaleh (tarbiyyah). Sehingga hanya pesantrenlah yang paling layak disebut sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan anak didiknya tampil menjadi figur-figur ideal yang tidak hanya 'pintar' melainkan sekaligus 'benar' dalam kehidupan sosial masyarakat.
Khazanah keilmuan pesantren sangatlah kaya dan kompleks, utamanya di bidang keagamaan. Mulai dari disiplin ilmu alat (nahwu, sharaf dan balaghah, manthiq), akidah (tauhid), akhlak (tasawuf), syariah (fiqh, qaidah fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits), tarikh (sejarah), thib (pengobatan), dll. Kompleksitas khazanah keilmuan keagamaan ini, yang didukung dengan lingkungan pesantren yang secara integral sengaja didesain untuk kepentingan pendidikan, menjadikan pesantren sebagai basis pendidikan Islam di Indonesia yang sulit dijumpai di lembaga pendidikan formal manapun.
Melihat kekayaan khazanah keilmuan keagamaan yang diajarkan di pesantren demikian, kiranya sangat logis jika pesantrenlah yang sesungguhnya merupakan pendidikan Islam dengan potensi keilmuan paling memadai dan bergengsi (a'lâ) di tengah kontestasi dunia pendidikan modern sekalipun. Dan tidak berlebihan jika kemudian dinyatakan bahwa santri merupakan akademisi yang sebenarnya paling absah berbicara hukum Islam, bukan yang lain.

April 20, 2012

STIGMA NEGATIF FATWA HARAM; SIAPA YANG BERSALAH?



        Beberapa tahun terakhir, persisnya sejak pelaksanaan FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) ke-XI tanggal 20-21 Mei 2009 di PP. Putri Hidayatul Mubtadi’at Lirboyo Kota Kediri, yang menyoal seputar hukum keintiman hubungan lawan jenis via HP, internet dan situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, Chatting, dll., media massa kita digemparkan dengan pemberitaan —yang kemudian dibahasakan oleh media dengan— “fatwa haram” forum diskusi pondok pesantren se Jatim tersebut. Dan ketika pelaksanaan FMP3 ke-XII di PP. Putri Tahfizhil Qur’an Lirboyo Kota Kediri tanggal 13-14 Januari 2010, yang mengangkat tema-tema sosial keagamaan seperti trend gaya rambut rebonding, poto pre-wedding, gaji, royalty dan dilema peran aktris muslimah dalam dunia akting, wanita menekuni profesi tukang ojeg dll., pemberitaan “fatwa haram” itu kembali meledak heboh menjadi topik berita media massa nasional dan bahkan sempat menggeser perhatian masyarakat yang mulai muak menyaksikan “sinetron” misteri Bank Century yang entah sampai kapan episodenya akan berakhir itu.
Kegemparan berita yang sebenarnya hanya hasil kesepakatan diskusi rutin pencarian jawaban hukum agama yang dilakukan santri-santri yang relatif masih muda itu, setidaknya karena tiga faktor penting yang saling mempengaruhinya. Faktor pembahasaan media dan pemberitaan yang kurang profesional, faktor mental keagamaan masyarakat kita yang awam, dan faktor retorika penyampaian hukum yang tidak solutif dan “mengejutkan”.

April 19, 2012

ADAT ISTIADAT DALAM PERSPEKTIF SYARIAT



الحَمدُ لله ِالَذِي بَعَثَ رَسُولَهُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَق وَأَرْسَلَهُ رَحمَةً لجَمِيْع ماخَلَق
وَصَلاَةُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَى مَن نَصَرَ الحَقَّ باِلحَقِّ وَعَلَى آلهِ وَأَصْحَابهِ وَأَصْفِيَائِهِ الأَصْدَاقِ. أما بعد:


       A.     Prolog
Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur sosial masyarakat, khususnya Jawa, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam masyarakat Jawa, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk karakter khusus perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai “jati diri” orang Jawa. Karakter khusus dimaksud mewarnai hampir di semua aspek sosial masyarakat Jawa baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia (Jawa khususnya) bisa kita klasifikasikan ke dalam tiga golongan, yakni santri, priyayi dan abangan. Klasifikasi ini membuktikan adanya dominasi agama dan budaya lokal dalam membentuk struktur sosial. Masyarakat santri merupakan representasi dari dominasi agama, sementara masyarakat priyayai dan abangan adalah representasi dari kuatnya pengaruh budaya lokal. Elaborasi agama dan budaya lokal pada akhirnya menampilkan corak sosial masyarakat Jawa yang agamis akan tetapi masih berpegang teguh pada budaya leluhur dalam interaksi sosial.

April 18, 2012

JASSPRO



JASSPRO (Jaringan Santri dan Mahasiswa Progresif) adalah suatu ikatan emosional dan intelektual talenta-talenta putera zaman (Santri dan Mahasiswa) dalam mewujudkan obsesi, cita-cita, dan mimpi-mimpi masa depan yang humanis, inklusif, dan progresif.
V I S I
Gerak dinamika sejarah terus melesat sporadis, yang tidak memberi ampun menggilas dan melempar generasi yang terasing dengan zamannya. Zaman sebagai kanvas peradaban, terlalu luas untuk sekedar dilukis dengan satu macam warna. Butuh inklusifitas yang harmonis terhadap aneka warna kebenaran (logika) dan kebaikan (etika), untuk mencipta keindahan (estetika) peradaban kemanusiaan yang madani.
Pesantren dan kampus, dua basis lembaga pendidikan intelektual dan mental-spiritual bangsa Indonesia, betapa dewasa ini terjebak dalam lingkaran dekotomi. Pesantren menjadi kian terukhrawikan, dan sebaliknya kampus menjadi sangat terduniawikan. Pesantren cenderung eksklusif, bahkan skeptis dan melarikan diri dari kenyataan modernitas yang seharusnya ia berada di garda terdepan memimpinya. Sementara kampus, mengalami gejala leberasi intelektual yang membawanya kering spiritualitas.

 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet