SEJARAH DAN MULTI DIMENSI POST MODERNISME
Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad
ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh
manusia. Di kota itulah bermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam
yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia
serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha
menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah
penaklukan alam di bawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates,
filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat
terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya
menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep
manusia.
Menurut Plato,
manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak
(thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus
mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang
manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan
fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua,
para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog
dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini
Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan
(negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah
filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting
bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14
M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran
abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat
pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian
menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan
kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik;
serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994:
11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya
sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio
kebudayaan modern.
Seorang filsuf
besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak
Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan
mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun
metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian
kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis.
Dengan
meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang
tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang
segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito
ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi
diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental.
Kemampuan rasio
inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah
kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf
Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah
nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide
absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas
(idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern
kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego,
totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi
serta oposisi biner.
Sejarah
pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas
selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai
kekuatan emansipatoris yang mengantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995:
41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan
berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika
kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya
massa, budaya populer, maraknya industri informasi televisi, koran,
iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa),
demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam
penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya
yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai
patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis
semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel
Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat
awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik,
teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada
kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa
masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem
produksi.
Unsur-unsur
utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi
dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah
memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham
otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi,
penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah
menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi,
rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme,
konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta
ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran
post modernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak
pemikiran yang bernaung di bawah payung post modernisme dalam banyak
bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi,
antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur
sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni
bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam,
arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan
pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger,
hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran post modernisme.
Terutama dalam
dunia filsafat, post modernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan
epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis.
Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat
komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern
semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip
kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158).
Menurut
Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi,
prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah
dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip
kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi
berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan
logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995:
161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah
tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti
dikatakan Susan Sontag, seorang kritikus seni merupakan indikasi
lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain
dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau
menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh
Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide
absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear
yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995:
158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok
belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah
berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf
Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi
pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur
yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan
batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan
dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan
disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi
yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi
ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi,
filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan.
Wacana-wacana
yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras
kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini
mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan
tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang
sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan
Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan
pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan
modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan
pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan
adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa
kekuasaan vice versa.
Selanjutnya
menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau
Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk
mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai
artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain.
Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan
ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur
atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak
memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di
mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang
tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault
untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian.
Baginya, rasio
tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang
penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni:
ironi. Karenanya, Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang
universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak
semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks,
pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini,
sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah
diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Akhirnya,
sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan watak
modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak
berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss,
Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik
tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat
dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir
karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah
masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang
diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994:
235).
Simulacra adalah
ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga
tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56). Pertama, simulacra yang
berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri.
Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah
berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan
perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran
mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra
yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi.
Simulacra pada
tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang
tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi,
manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal
sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.
Realitas semu
ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi
representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard
menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta.
Menurutnya,
bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah,
dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului
wilayah. Realitas sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan
model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas
yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17).
Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey
Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa
ini.
Dalam wacana
simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata
dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam
Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang
menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan
keadaan ini. Lewat televisi, film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna.
Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar,
salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi
semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987:
33).
Perkembangan
ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote
control, telecard, laser disc, dan internet menurut Baudrillard tidak saja
dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih
fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia;
menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi
bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah
disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru
ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang
baru bagi masyarakat.
Citra lebih
meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan
sehari-hari. Inilah dunia hiper realitas: realitas yang berlebih, meledak,
semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra)
seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo, boneka Barbie,
Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra
buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita
sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas
kehilangan eksistensinya.
Hiper realitas
adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun
oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:2).
Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu
direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).
Sementara itu
dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993) Baudrillard menyatakan bahwa
sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran
nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini, yakni dari nilai-guna dan
nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol. Berangkat dari analisa masyarakat
produksi Marx dengan konsep-konsep: nilai-guna (use-value), nilai-tukar
(exchange-value), fetishism of commodity, social class, teori gift (pemberian)
Marcell Mauss dan teori expenditure (belanjaan) Georges Bataille,
pemikiran Baudrillard akhirnya menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan
mengambil jalannya sendiri. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik
dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak
lagi bisa diyakini.
Sementara dari
Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia
sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian (Lechte, 1994: 233). Kini,
menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang
ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan
teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya,
melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya (Lechte, 1994: 234).
Mengacu Marx,
terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna
(use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asli
yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap
objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang
mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan
kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat
kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi.
Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-tukarnya.
Sementara itu,
menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Barat
dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat konsumer: masyarakat
yang haus mengkonsumsi segala sesuatu tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda.
Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan
oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan
media dan iklan. Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer.
Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai
tingkat perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis
dan masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan
masyarakat massa.
Menurut
Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada elemen tanda. Objek dipahami
secara alamiah dan murni berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat
hierarkis, terdapat sedikit sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol
yang baru tumbuh. Saat inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam
masyarakat massa, sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam
masyarakat massa, media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga
mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat
atau nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993:
68-70).
Berangkat dari
analisa Marx di atas, serta dengan membaca kondisi masyarakat Barat dewasa ini,
Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late
capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah
nilai baru, yakni nilai-tanda dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol,
yang lahir bersamaan dengan semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat
Barat, lebih memandang makna simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau
harganya. Fenomena kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard
untuk menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk
memandang masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat
kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra,
sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Lebih lanjut
Baudrillard menyatakan kebudayaan post modern memiliki beberapa ciri
menonjol.
Pertama, kebudayaan
post modern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran
yang sangat penting dalam masyarakat post modern. Berbeda dengan masa-masa
sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya post modern tidaklah sekedar
sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan
motif utama berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan post modern
lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media
(medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact),
sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects),
serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan
postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan
pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara
tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis
karakter simulasi, budaya post modern ditandai dengan sifat hiper realitas,
dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra)
mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan post modern
ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media
massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan
teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai
institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen
(Harvey, 1989: 102).
Dalam
konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya post modern
menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam wacana seni modern
yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya seni, kecuali
reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada lagi perbedaan
antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular art) dan seni murni
(fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan prinsip-prinsip pastiche
(peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu), parodi (distorsi
dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta camp
(pengelabuhan identitas dan penopengan (Pilliang, 1998: 109).
LANDASAN TEORI
Diskursus
kebudayaan post modern mendapatkan legitimasi sosio-kultural filosofisnya justru
dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek
modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan
akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak,
keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata
pengetahuan dan sistem produksi yang keras saat ini tengah menghadapi
ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Post modernisme
mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi
modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis
itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat
dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx
tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi
Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan
medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas
kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya
dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan
post modern yang memiliki ciri-ciri hiper realitas, simulacra dan simulasi, serta
didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan
yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan
yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan
sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas
masyarakat dewasa ini.
MODERNISME DAN POST MODERNISME
a. Runtuhnya Era
Modernisme
Ricardo
Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai
munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan
masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme atau
modernismo dalam bahasa Spanyol saat itu merupakan sebutan bagi
gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan
emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman
hegemoni kebudayaan Spanyol.
Istilah
modernisme saat itu tentu belum merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud
memutuskan diri dari realitas sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai
istilah kebudayaan yang menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti
halnya arti kata modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun
semenjak saat itu istilah modern dan modernisme beserta kata-kata
turunannya: modernitas dan modernisasi telah mulai kerap digunakan
sebagai kata kunci untuk menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan
realitas sosial masyarakat Barat.
Secara
historis, semangat dan jiwa modernisme sendiri sebenarnya bisa ditelusuri
semenjak era Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Bahkan Arnold
Toynbee, seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of History
(1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah Kebudayaan
Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana
saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera
secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut
Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan manusia untuk mulai berani
menguasai alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma institusi agama. Dengan
keberanian inilah manusia menyatakan telah memasuki era baru, era pasca Abad
Pertengahan, yakni era modern. Di sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya
tentang modernisme, menyatakan bahwa era modern telah dimulai sejak era
Renaisans abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme.
Fase pertama, adalah
modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad ke-18
M, dimana orang baru mulai merasakan pengalaman kehidupan modern. Modernisme
pada tahap ini ditandai oleh mulai diyakininya rasio, keberanian menghadapi
kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai segi
kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni.
Fase kedua, adalah
modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik
dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan momentum Gelombang Revolusi
Besar 1790. Inilah wajah modernisme yang mulai diwarnai oleh benih-benih
konflik, perbedaan dan anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya keyakinan
tradisional dan agama, serta pesatnya perkembangan sosial, telah
mendorong munculnya berbagai masalah yang sebelumnya tidak
diperhitungkan.
Fase ketiga, adalah
modernisme yang dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan
kebudayaan dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi
kekacauan social dan politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas
dunia yang baru terbentuk. Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata
tidak mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru
sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia
(Smart, 1990: 16).
Istilah modern
sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang
telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan
agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian
berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu
kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah
modernitas, modernisasi dan modernisme. Dalam penggunaannya, seringkali
terjadi tumpang tindih dan simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah
ini. Meskipun demikian, diterima suatu kenyataan bahwa yang diacu oleh
istilah-istilah ini adalah suatu era kebudayaan baru yang ditegakkan oleh
rasio, subjek dan wacana antropomorfisme.
Istilah
modernitas diartikan sebagai kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga
menyiratkan adanya perubahan paradigma yang diperoleh dengan jalan pintas, dari
bentuk lama ke bentuk baru. Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara
masa kini dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan
jasa Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun
sejarah yang berbeda dan superior dalam alur sejarah kebudayaan
masyarakat Barat.
Modernitas
inilah merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh
dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era
sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal baru
lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu,
kebudayaan, politik serta seni.
Modernisasi
berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang
digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan
masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi
yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru. Dengan
demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk
menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi
kenyataan hidup masa kini.
Modernisasi ditandai
oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional;
berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi
administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197).
Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi
ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep
negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia
(Turner, 1990: 137).
Sementara itu
modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia
mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi
perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap
mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia
sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan
Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis
(Featherstone, 1988: 202).
Dalam konteks
ini, modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123).
Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang
tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak
diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan anti-realis
(Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif
dan radikal.
Modernisme
menjadi konservatif manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru
justru menyelamatkan yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi
radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan
penghapusan yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan
agama. Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan,
terutama seni.
Rasionalitas
modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16 M ini memiliki dua
karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat).
Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat).
Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara mendalam,
karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian perhitungan
yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk
akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan
nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang
terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut.
Rasionalitas
ini berwatak formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan
tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran.
Karakter kedua rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai
etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih
mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara
pribadi. Namun, diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan
dalam realitas dunia modern adalah rasionalitas tujuan.
Dalam kajian
pentingnya tentang modernisme tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa pada
dasarnya modernitas adalah gagasan yang menyangkut persoalan pemisahan
bidang-bidang nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah
nilai ekonomi, etika, hukum dan estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan
satu prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad Pertengahan, kemudian mulai
dipisahkan oleh rasionalisme Pencerahan. Landasan utama argumen Weber ini
adalah adanya fenomena otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai
estetis.
Dengan
merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya tempat pelarian
dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan (Lash, 1990: 157).
Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan hubungan dengan
seluruh warisan historis masa lampau, namun juga mendesakkan proses fragmentasi
internal yang tak pernah berhenti dalam dirinya sendiri (Harvey, 1990: 12).
Modernitas,
menurut Weber merupakan konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas sosial
berada di bawah bayang-bayang dan dominasi asketisme, sekularisasi, klaim
universalistik tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-bidang
kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta
tumbuhnya moneterisasi nilai-nilai.
Modernitas
lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme
Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris dan
Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton;
institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di Eropa Utara;
pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum; serta
pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner, 1990:
6-10). Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara massif,
pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial
peradaban yang mandeg.
Dengan kata
lain, modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama Abad
Pertengahan oleh nilai-nilai baru Modernisme (Turner, 1990: 4). Secara
epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok.
Pertama, subjektivitas
yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam
memecahkan masalah-masalah kehidupan.
Kedua, subjektivitas
yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk menyingkirkan
kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah.
Ketiga, kesadaran historis
yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, unik, tak
terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber sejarah. Oleh sebab
itu, modernisme memiliki kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi serta
progresif. Dengan kata lain, modernitas mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan
(di atas kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan).
Keempat, universalisme
yang mendasari ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa
elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan
melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan
dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Dengan
modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, legitimasi kekuasaan
digugat melalui kritik dan kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan
akan masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat
menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, maka masyarakat tersebut
harus siap meninggalkan sikap-sikap naif, dogmatis dan anti-perubahan, untuk
kemudian meleburkan diri dalam suatu proyek sejarah umat manusia mencapai
tujuan tertentu di masa depan.
Sementara itu
dalam diskursus filsafat, modernisme mulai dibicarakan dan menemukan
kematangannya melalui filsuf-filsuf Descartes, Immanuel Kant dan Hegel. Melalui
pemikiran tokoh-tokoh inilah modernisme mulai memperkokoh diri dengan
kebenaran-kebenaran ontologis, etis dan epistemologis. Perkembangan modernisme
dalam berbagai wilayah kehidupan lainnya tidak dapat dipungkiri merupakan
implementasi pemikiran filosofis ketiga tokoh ini.
Rene
Descarteslah yang menyadarkan manusia akan kedudukan rasio sebagai determinan
pengetahuan dan pembacaan realitas dengan diktumnya Cogito ergo sum: aku
berpikir maka aku ada. Melalui Kant, hasrat emansipasi ini selanjutnya dibawa
kepada kritisism yang menyarankan kategori-kategori sebagai batas-batas
realitas yang terberi. Dengan kategori-kategori ini setiap ide, gagasan,
pengalaman bahkan khayalan direkonstruksi dalam sebuah ruang pembacaan baku.
Dengannya setiap realitas tidak dapat lolos dari mekanisme pembacaan ini. Kualitas,
kuantitas, ruang, waktu, modalitas, substansi, kausalitas dan lain-lain,
seolah-olah telah ditentukan batas dan nilainya.
Selanjutnya
melalui Hegel, realitas modernisme disempurnakan dengan ide gerak sejarah
dialektis yang berpuncak pada rasio. Idealisme absolut, yang merangkul tese dan
antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben suatu filsafat identitas menjadi
sebuah narasi utama modernisme. Gerakan Renaisans, yang mendapat ilham dari semangat
Humanisme Italia pada abad ke-16 M, selanjutnya semakin memperkokoh keyakinan
akan segera lahirnya era baru menggantikan era Abad Pertengahan yang dipandang telah
jenuh, dogmatis dan beku.
Sementara
Pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan tegaknya era baru, yakni
era modern. Modernisme yang rasional, ketat, serius, sistematis dan tertib
inilah wacana dominan yang mengisi diskursus sejarah filsafat Barat abad ke-18
M hingga sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan heroisme menghadapi situasi
zaman seolah merupakan satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah
modernisme.
Pauline M.
Rosenau, dalam kajiannya mengenai post modernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat
setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis modernisme (Rosenau, 1992:
10).
Pertama, modernisme
dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan
yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya.
Kedua, ilmu
pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
Ketiga, terdapat
banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
modern.
Keempat, ada semacam
keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan
yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut
fisik individu.
Sementara itu
dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan mulai menemui kondisi
krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme memiliki beberapa ciri utama
yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang cukup tinggi, penolakan terhadap struktur
narasi realitas dan penerimaan terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi
terhadap hakekat realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan
terhadap gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang
dehuman dan terbelah (Featherstone, 1988: 202).
Pandangan
modernis demikian mulai digugat karena tendensi universalisme dan
kebenaran estetis yang seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman
dan kritikus seni mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku,
kelelahan dan kering. Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang
merangkum pastiche, parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni
perpetual, sebaliknya,mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam
wilayah kehidupan dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi,
antropologi, sejarah, politik dan ekonomi.
Panorama
modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell, salah seorang
pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis modernitas. Ditambah
oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa dahsyat, sebagaimana diungkap
Fredric Jameson dalam bukunya Postmodernism or The Cultural Logic of Late
Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah gugatan, kejenuhan dan kekecewaan
terhadap semangat modernisme.
b. Post Modernisme dan Beberapa Tokohnya
Semenjak awal
paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, post modernisme
telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik perhatian.
Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra,
sosiologi, sejarah, antropologi, politik dan filsafat, hampir secara
bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema postmodernisme. Meskipun tidak
mudah atau malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan
post modernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah. Post modernisme
hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang membentuknya hingga sampai pada
keadaannya saat ini. Inilah post modernisme yang menggugat watak modernisme
lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan teknosentris;
modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear,
kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan,
serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi;
modernisme yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem
yang tertutup; dan modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan
(Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya,
post modernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era
pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi,
tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang
kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan,
yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang
teori (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Karakter yang
sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks,
eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi,
dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi,
de-definisi, demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995:
44).
Merujuk Akbar
S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri
karakter sosiologis post modernisme.
Pertama, timbulnya
pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan
pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan
pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya
industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari
system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya
menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih
dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang
menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme
etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang
semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal
memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan
kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya
kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan
romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah
pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi
menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara
berkembang (Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin
terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era post modernisme
telah turut mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya
kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai
diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang
sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya
tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang
digunakan dalam diskursus post modernisme seringkali mengesankan tidak lagi
memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed,
1992:143-4).
Istilah
post modernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh Federico de
Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya, Antologia de la
Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjuk kepada reaksi minor
terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone,1988: 202). Istilah
ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika seniman-seniman muda,
penulis dan krikitus seni seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, Barthelme,
Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni
modernisme lanjut. Seni post modern memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni
modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari,
runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer,
maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche,
camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni
sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan
istilah post modernisme selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang
yang lain.
Dalam bidang
arsitektur, istilah post modernisme mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk
arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif,
praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti
fungsi menjadi dewa. Arsitektur post modernisme, sebaliknya menawarkan
konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan
variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam (Andy
Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti fungsi dibalik menjadi fungsi
mengikuti bentuk.
Jika modernitas
dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang semenjak era
Renaisans, maka post modernitas adalah kurun waktu sejarah yang seringkali
dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone,
1988: 197). Post modernitas ditandai dengan lahirnya totalitas struktur sosial
baru, perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, serta terbentuknya
masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan hiper realitas.
Merujuk Mike
Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan, post modernisme memiliki
tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
kebudayaan.
Pertama, sebagai perubahan
bentuk teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan intelektual
yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan.
Kedua, sebagai perubahan
ruang budaya yang lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi
dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih
luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ketiga, sebagai perubahan
praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok yang menggunakan rezim
penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta
mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone,
1988: 208).
Sementara itu,
Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat post modernisme sebagai puncak
tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat, insting dan kegairahan untuk
membawa logika modernisme sampai ke titik terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone,
1988: 202). Agak berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara
terdepan post modernisme, memandang post modernisme lebih sebagai strategi
pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda,
kapitalisme multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia
sosial dan meledaknya budaya massa.
Post modernisme
dengan demikian adalah metode analisa kritis yang mencoba membongkar mitos
dan anomali paradigma modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan
paradoks, mencoba menemukan suatu teori masyarakat post modern atau
post modernitas, dan menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam
masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).
Untuk
memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan post modernisme, Ihab
Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis yang menggambarkan perbandingan
prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut (Harvey, 1995: 43):
MODERNISME
|
POST MODERNISME
|
Romantis/Simbolis
|
Parafisik/Dadisme
|
Bentuk/Berhubungan/Tertutup
|
Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
|
Tujuan
|
Permainan
|
Desain
|
Kesempatan
|
Hierarki
|
Anarki
|
Master/Logos
|
Kejenuhan/Kediaman
|
Objek
Seni/Karya
|
Proses/Penampilan/Happening
|
Berjarak
|
Partisipasi
|
Kreasi/Totalisasi/Sintesis
|
Dekreasi/Dekonstruksi/AntiSintesis
|
Kehadiran
|
Ketidakhadiran
|
Pemusatan
|
Tersebar
|
Genre/Batas
|
Teks/Interteks
|
Semantik
|
Retorik
|
Paradigma
|
Sintagma
|
Hipotaksis
|
Parataksis
|
Metafor
|
Metonimi
|
Seleksi
|
Kombinasi
|
Akar/Kedalaman
|
Rhizoma/Permukaan
|
Interpretasi/Pembacaan
|
Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
|
Petanda
|
Penanda
|
Terlihat/Terbaca
|
Tercatat/Tertulis
|
Narasi/Narasi
Besar
|
Anti-Narasi/Narasi Kecil
|
Tanda
|
Idiolek
|
Simtom
|
Hasrat
|
Jenis
|
Mutan
|
Genital/Phalik
|
Polimorphi/Androgini
|
Paranoia
|
Schizophrenia
|
Asli/Sebab
|
Perbedaan/Jejak
|
Tuhan
|
Setan
|
Metafisik
|
Ironi
|
Determinasi
|
Indeterminasi
|
Transenden
|
Imanen
|
Sementara itu
Julia I. Suryakusuma, menyusun sebuah sistematika perbandingan paradigma
modernisme dan post modernisme dalam wilayah-wilayah kehidupan sebagai berikut
(Suryakusuma, 1994: 47):
MODERNISME
|
POST MODERNISME
|
Dalam Politik:
|
Negara
(nation-state)
|
Relagion
|
Totalitarian
|
Demokratis
|
Konsensus
|
Konsensus yang Dipertanyakan
|
Friksi Kelas
|
Isu Agenda Baru
|
Dalam
Ekonomi:
|
Fordisme
|
Pasca-Fordisme
|
Kapitalisme
|
Monopoli
|
Kapitalisme
|
Sosialis
|
Sentralisasi
|
Desentralisasi
|
Dalam
Masyarakat:
|
Pertumbuhan
Pesat
|
Kestabilan Berkesinambungan
|
Industrial
|
Pasca-Industrial
|
Berstruktur
Kelas
|
Berkelompok Kecil
|
Proletariat
|
Kognitariat
|
Dalam
Kebudayaan:
|
Kemurnian
|
Double Coding
|
Elitisme
|
Massa
|
Objektivisme
|
Naturalisme
|
Dalam
Estetika:
|
Harmoni
Sederhana
|
Anti-Harmoni
|
Estetika
Newtonian
|
Estetika Big-Bang
|
Top-Down
Terintegrasi
|
Sembiosis
|
Ahistoris
|
Historis
|
Dalam
Filsafat:
|
Monisme
|
Pluralisme
|
Materialisme
|
Semiotik
|
Utopian
|
Heterotopian
|
Dalam Media:
|
Dunia Cetak
|
Elektronik
|
Berubah Cepat
|
Mengubah Dunia
|
Dalam Ilmu:
|
Mekanistis
|
Mengorganisasi
|
Linier
|
Non-Linier
|
Deterministik
|
Indeterministik
|
Mekanika
Newton
|
Mekanika Kuantum
|
Dalam Agama:
|
Atheisme
|
Pantheisme
|
Tuhan telah
mati
|
Spiritualitas Kreatif
|
Patriarkis
|
Pasca-Patriarkis
|
Kekecewaan
|
Terpesona
|
Dalam Pandangan
Hidup:
|
Mekanistis
|
Ekologis
|
Reduktif
|
Holistik
|
Terpisah
|
Berkaitan
|
Hierarkis
|
Heterarkis
|
Kepastian
|
Kebetulan
|
Antroposentris
|
Kosmologis
|
Absurditas
Manusia
|
Optimisme Tragis
|
Secara
historis, kelahiran post modernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan
modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada
tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair
Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan
anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika (Bertens, 1995:
20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert
Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun
kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern.
Para seniman
dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan
rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951),
Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya
yang membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas
kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia.
Sebagai
akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas
kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal
yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan
ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap penolakan
terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek
transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan
anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra
modern.
Perbincangan
mengenai post modernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun
waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang post modernisme dengan
artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan
Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga
menyatakan telah lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih
terbuka menerima keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut
penghormatan terhadap seniman dan karya seni.
Selama rentang
waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang post modernisme mulai
masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St.
Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur
International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya
pemikiran arsitektur post modernisme. Arsitektur post modern membawa tiga prinsip
dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Prinsip
kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan
selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas.
Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip
ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan
makna-makna arsitektural.
Adalah Robert
Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur post modern, dalam
bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966), yang mulai membuka
pembicaraan konsep arsitektur post modern. Ia memaparkan bahwa arsitektur
post modern adalah konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter.
Menurutnya, arsitektur post modern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida
(ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk
distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten
(ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal)
(Bertens, 1995: 54).
Sementara itu Charles
Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur post modern, dalam bukunya The
Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep
arsitektur post modern. Beberapa atribut tersebut adalah metafora, historisitas,
ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme,
sensitivisme, ironisme, parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih
lanjut arsitektur post modern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida,
kompleks,terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris.
Jencks juga menyatakan
bahwa konsep arsitektur post modern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya
double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur post modern yang memuat tanda,
kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur
post modern yang menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis
antara tradisional/modern, populer/tinggi, Barat/Timur, atau
sederhana/complicated.
FILSAFAT POST MODERNISME
Memasuki
rentang tahun 1980-an, tema post modernisme mulai mendapat perhatian yang lebih
serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap tema ini terutama
berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang filsafat, istilah
post modernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang sangat beragam. Walaupun
karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (1984), tetap menjadi acuan kunci, namun banyak kalangan mengaitkan
istilah itu dengan Teori Dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco,
post strukturalisme Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran
holistisisme Capra, Prigogine dan Whitehead.
Istilah
post modernisme juga sering dirujukkan pada berbagai fenomena realitas
masyarakat kontemporer sebagai masyarakat post-industri (post-industrial
society), masyarakat komputer (computer society), masyarakat konsumer (consumer
society), masyarakat media (media society), masyarakat tontonan (spectacle
society) atau masyarakat tanda (semiurgy society). Sementara kalangan memandang
post modernisme sebagai bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya
Juergen Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan
yang lain memandang post modernisme sebagai penolakan radikal terhadap
nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault).
Pauline M.
Rosenau, dalam bukunya Post modernism and Social Sciences (1992), membedakan
post modernisme menjadi dua bentuk. Pertama, post modernisme sebagai
paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, post modernisme meliputi
tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut post modernisme bentuk pertama
(misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, post modernisme sebagai metode
analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran post modernisme
digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer
(misalnya Rortry dan Baudrillard).
Dari arah
yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa post modernisme tak
lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui
tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989),
Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang
telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena
telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.
Kapitalisme
yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan
informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas
mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan
daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur
sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi
dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat.
Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar
dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.
Dengan
perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan
multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka
whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek
dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam
citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah dirinya
sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk memahami post modernisme secara
mendasar terutama pada dataran ontologism dan epistemologis adalah
mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara
post modernisme dalam wilayah filsafat.
Jean Francois
Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang mulai meletakkan dasar
argumentasi filosofis dalam diskursus post modernisme. Melalui bukunya yang
segera menjadi klasik, The Condition of Postmodern: A Report on Knowledge
(1984), Lyotard mencatat beberapa ciri utama kebudayaan post modern. Menurutnya,
kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya
masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya
prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Masyarakat
komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial
masyarakat Barat menuju the information technology era. Realitas sosial budaya
masyarakat dewasa ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec
Kanada adalah masyarakat yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi
informasi, terutama komputer.
Dengan
komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi mengalami
revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas dalam sektor
ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan data
dan informasi yang mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas, penyebaran
pengetahuan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa konsekuensi
perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam
masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar
modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi,
identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah
berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat post modernisme. Realitas
masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai
baru post modernisme.
Menggaris bawahi
sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk,
plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran yang
dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives) modernisme sebagai
metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Hal ini karena
dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan
tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog (homo: satu,
dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan logi: tertib
nalar) (Awuy, 1995: 161).
Pengetahuan dan
kebenaran kini menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi
modernisme harus dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi,
berarti diakui adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri.
Dengan delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih
bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen Habermas.
Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan setiap
unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya sendiri.
Dengan titik
perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang sama, Michel Foucault,
seorang filsuf post strukturalis Perancis, mencatat beberapa karakter khas
kebudayaan post modern. Berangkat dari Kant, Foucault bersepakat bahwa Era
Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat istimewa dalam sejarah
perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio berlaku
universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara untuk menanggapi situasi zaman
saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain terhadap Pencerahan
seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah keberanian, yang disertai
kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan situasi kini dan disini, historis
dan lokal (locally determined), tanpa harus mencantolkan diri pada
status-status khusus dari kebenaran-kebenaran absolut, di luar diri manusia,
baik atas nama Tuhan, logos, atau yang lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan
tanpa dibebani oleh prinsip baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal,
1994: 16).
Dengan ironi,
Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah tunggal,
dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan
bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi yang bersifat
ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para filsuf Pencerahan
yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom, mandiri dan mampu
menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault, manusia modern sebagai subjek ataupun objek sebenarnya tidak lebih dari individu yang
lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui disiplin, normalisasi
dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad Sahal, 1994: 16-17).
Kekuasaan dalam
pandangan Foucault ini berbeda sama sekali dengan yang dipahami oleh kaum
Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif
untuk mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah
artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan
kelas lain.
Menurut
Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang bersifat
menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang kompleks
dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja.
Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan besar yang cenderung
manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki persoalan-persoalan kecil
dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan. Tema-tema seperti rumah sakit,
penjara, barak-barak tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila dan
para kriminal menjadi titik perhatian utama selama karir kefilsafatannya.
Dengan upaya
ini, Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap post modernisme. Pertama,
keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya
sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan
diperhatikan.
Seorang filsuf
lain yang mencoba menyingkap sifat paradoks modernisme adalah Jacques Derrida.
Melalui Derrida terbongkar karakter kekerasan dan teror yang disebar oleh
modernisme semenjak dikeluarkannya prinsip logosentrisme.
Dalam logosentrisme,
salah satu ciri yang menonjol adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat
hierarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk,
transenden/imanen, positif/negatif, lisan/tulisan, konsep/metafor) dengan
anggapan bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi,
pinggiran. Cara berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung
bersifat totaliter karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran,
yang lain, the others, harus disubordinasikan ke dalamnya.
Mencermati hal
itu, Derrida lantas melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir
oposisi biner. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana
struktur-struktur yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan
ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner
secara terus-menerus (Ahmad Sahal, 1994: 21).
Dengan
dekonstruksi hendak dimunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif
dari bahasa yang menjadi pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya
batas-batas antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara
filsafat dan puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Melalui dekonstruksi
Derrida mencoba meletakkan kembali kedudukan struktur dalam keadaan asalinya,
yakni keadaan dimana relasi antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. Dengannya
diinginkan pluralitas dan heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas
selama masa modernisme kembali terhampar.
Sampai di sini bisa disederhanakan bahwa, post modernisme bisa disebut sebagai bentuk kritik atas kegagalan modernisme, atau merupakan wajah baru modernisme yang telah sadar menjadi lebih bijak, atau bahkan sebuah spektrum abstrak yang benar-benar membingungkan. | KD