Dunia Kampus

SEJARAH DAN MULTI DIMENSI POST MODERNISME

 
        Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah bermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam di bawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia.
Menurut Plato, manusia terdiri dari 3 tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis.
Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental.
Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah  pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang mengantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi  televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran post modernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung post modernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran post modernisme.
Terutama dalam dunia filsafat, post modernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158).
Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag, seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan.
Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis,  Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan  vice versa.
Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian.
Baginya, rasio tidak universal, karena  seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi. Karenanya, Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Akhirnya, sebuah suara lain yang mencoba membaca dan menyingkap perubahan watak modernisme adalah Jean Baudrillard. Filsuf Perancis ini mengambil jalan agak berbeda dengan para pendahulunya. Dengan mengambil alih pemikiran Marcel Mauss, Georges Bataille, Karl Marx, Roland Barthes dan Marshal McLuhann Baudrillard memusatkan diri menganalisa modernisme dari ranah budaya. Bertitik tolak dari itu ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini. Melalui bukunya Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir karakter khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi. Inilah masyarakat yang hidup dengan silang-sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra (Lechte, 1994: 235).
Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra (Baudrillard, 1983:54-56). Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi.
Simulacra pada tingkatan ini merupakan wujud silang-sengkarut tanda, citra dan kode budaya yang tidak lagi merujuk pada representasi. Selanjutnya dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.
Realitas semu ini merupakan ruang antitesis dari representasi semacam dekonstruksi representasi dalam wacana Derrida. Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan analogi peta.
Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari suatu wilayah, dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului wilayah. Realitas sosial, budaya, bahkan politik, dibangun berlandaskan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model (Baudrillard, 1987: 17). Boneka Barbie, tokoh Rambo, telenovela, iklan televisi, Doraemon atau Mickey Mouse adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini.
Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Lewat televisi, film dan iklan, dunia simulasi tampil sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi atau reproduksi  semuanya lebur menjadi satu dalam silang-sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33).
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet menurut Baudrillard tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas ke dalam sebuah disket atau memory bank. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat.
Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta. Dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiper realitas: realitas yang berlebih, meledak, semu. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Tokoh Rambo, boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya.
Hiper realitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983:2). Dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Baudrillard, 1983: 146).
Sementara itu dalam bukunya Symbolic Exchange and Death (1993) Baudrillard menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan struktur masyarakat simulasi, telah terjadi pergeseran nilai-tanda dalam masyarakat kontemporer dewasa ini, yakni dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda dan nilai-simbol. Berangkat dari analisa masyarakat produksi Marx  dengan konsep-konsep: nilai-guna (use-value), nilai-tukar (exchange-value), fetishism of commodity, social class, teori gift (pemberian) Marcell Mauss dan  teori expenditure (belanjaan) Georges Bataille, pemikiran Baudrillard akhirnya menyempal dari pemikiran sang pendahulunya dan mengambil jalannya sendiri. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumeristik dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, seperti disarankan Marx, sudah tidak lagi bisa diyakini.
Sementara dari Mauss dan Bataille, Baudrillard bersepakat bahwa aktivitas konsumsi manusia sebenarnya didasarkan pada prinsip non-utilitarian (Lechte, 1994: 233). Kini, menurut Baudrillard, adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya citra dan makna oleh media massa dan perkembangan teknologi. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasarkan manfaat atau harganya, melainkan berdasarkan prestise dan makna simbolisnya (Lechte, 1994: 234).
Mengacu Marx, terdapat dua nilai-tanda dalam sejarah kebudayaan manusia yakni, nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna merupakan nilai asli yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dipandang memiliki guna bagi kepentingan manusia. Nilai inilah yang mendasari bangunan kebudayaan masyarakat awal. Selanjutnya dengan perkembangan kapitalisme, lahir nilai baru yakni nilai-tukar. Nilai-tukar dalam masyarakat kapitalis memiliki kedudukan penting karena dari sanalah lahir konsep komoditi. Dengan konsep komoditi, segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai-tukarnya.
Sementara itu, menurut Baudrillard, telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini. Masyarakat Barat dewasa ini adalah masyarakat konsumer: masyarakat yang haus mengkonsumsi segala sesuatu  tidak hanya objek-real, namun juga objek-tanda. Inilah masyarakat yang hidup dengan kemudahan dan kesejahteraan yang diberikan oleh perkembangan kapitalisme-lanjut, kemajuan ilmu dan teknologi, ledakan media dan iklan. Tanda menjadi salah satu elemen penting masyarakat konsumer. Sejalan dengan itu, Baudrillard mengubah periodisasi yang dibuat Marx mengenai tingkat perkembangan masyarakat dari: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis, menjadi masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa.
Menurut Baudrillard, dalam masyarakat primitif, tidak ada elemen tanda. Objek dipahami secara alamiah dan murni berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, terdapat sedikit sirkulasi elemen tanda dalam suatu budaya simbol yang baru tumbuh. Saat inilah lahir prinsip nilai-tukar. Akhirnya, dalam masyarakat massa, sirkulasi tanda mendominasi seluruh segi kehidupan. Dalam masyarakat massa, media menciptakan ledakan makna yang luar biasa hingga mengalahkan realitas nyata. Inilah saat ketika objek tidak lagi dilihat manfaat atau nilai-tukarnya, melainkan makna dan nilai-simbolnya (Baudrillard, 1993: 68-70).
Berangkat dari analisa Marx di atas, serta dengan membaca kondisi masyarakat Barat dewasa ini, Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalisme-lanjut (late capitalism) dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar telah dikalahkan oleh sebuah nilai baru, yakni nilai-tanda dan nilai-simbol. Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang lahir bersamaan dengan semakin meningkatnya taraf ekonomi masyarakat Barat, lebih memandang makna simbolik sebuah objek ketimbang manfaat atau harganya. Fenomena kelahiran nilai-tanda dan nilai-simbol ini mendorong Baudrillard untuk menyatakan bahwa analisa komoditi Marx sudah tidak dapat dipakai untuk memandang masyarakat Barat dewasa ini. Hal ini karena dalam masyarakat kapitalisme-lanjut Barat, perhatian utama lebih ditujukan kepada simbol, citra, sistem tanda dan bukan lagi pada manfaat dan harga komoditi.
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan kebudayaan post modern memiliki beberapa ciri menonjol.
Pertama, kebudayaan post modern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat post modern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya post modern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan.
Kedua, kebudayaan post modern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya post modern ditandai dengan sifat hiper realitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan post modern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Dalam konstruksi kebudayaan seperti inilah artefak-artefak budaya post modern menemukan dirinya. Tidak ada lagi mitos Sang Seniman dalam wacana seni modern yang berpretensi membebaskan dunia. Tidak ada lagi karya seni, kecuali reproduksi dari berbagai unsur seni yang sudah ada. Tidak ada lagi perbedaan antara seni rendah dan seni tinggi, seni populer (popular art) dan seni murni (fine art). Estetika seni postmodern ditandai dengan prinsip-prinsip pastiche (peminjaman dan penggunaan berbagai sumber seni masa lalu), parodi (distorsi dan permainan makna), kitsch (reproduksi gaya,bentuk dan ikon), serta camp (pengelabuhan identitas dan penopengan (Pilliang, 1998: 109).

LANDASAN TEORI

Diskursus kebudayaan post modern mendapatkan legitimasi sosio-kultural filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan sistem produksi yang keras saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Post modernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan post modern yang memiliki ciri-ciri hiper realitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.

MODERNISME DAN POST MODERNISME

a.     Runtuhnya Era Modernisme

Ricardo Contreras, seorang penulis Meksiko, pada tahun 1888 mencatat mulai munculnya referensi pertama istilah modernisme dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat (Smart. 1990: 18). Menurut Contreras, istilah modernisme atau modernismo dalam bahasa Spanyol  saat itu merupakan sebutan bagi gerakan-gerakan kebudayaan lokal di Amerika Latin yang memperjuangkan emansipasi dan otonomi budaya baru untuk melepaskan diri dari cengkeraman hegemoni kebudayaan Spanyol.
Istilah modernisme saat itu tentu belum merupakan epoch sejarah baru yang bermaksud memutuskan diri dari realitas sejarah sebelumnya. Ia baru muncul sebagai istilah kebudayaan yang menghendaki sesuatu yang baru, yang berbeda, seperti halnya arti kata modern yang diadopsi dari bahasa Latin tersebut. Namun semenjak saat itu istilah modern dan modernisme  beserta kata-kata turunannya: modernitas dan modernisasi telah mulai kerap digunakan sebagai kata kunci untuk menjelaskan telah lahirnya cahaya baru kebudayaan dan realitas sosial masyarakat Barat.
Secara historis, semangat dan jiwa modernisme sendiri sebenarnya bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, melalui bukunya A Study of History (1947), menyatakan bahwa awal Era Modern dalam Sejarah  Kebudayaan Masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan kematangan manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia menyatakan telah memasuki era baru, era pasca Abad Pertengahan, yakni era modern. Di sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme, menyatakan bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme.
Fase pertama, adalah modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir abad ke-18 M, dimana orang baru mulai merasakan pengalaman kehidupan modern. Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai diyakininya rasio, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni.
Fase kedua, adalah modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan momentum Gelombang Revolusi Besar 1790. Inilah wajah modernisme yang mulai diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya perkembangan sosial, telah mendorong munculnya berbagai masalah yang sebelumnya tidak diperhitungkan.
Fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai ketika terjadi proses modernisasi global dan pembentukan kebudayaan dunia modern secara massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan social dan politik, ketidakpastian dan ancaman terhadap realitas dunia yang baru terbentuk. Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia (Smart, 1990: 16).
Istilah modern sendiri, yang berarti zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan  modernisme. Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah ini adalah suatu era kebudayaan baru yang ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana antropomorfisme.
Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma yang diperoleh dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru. Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M sebagai kurun sejarah yang berbeda dan superior dalam alur sejarah kebudayaan  masyarakat Barat.
Modernitas inilah merujuk Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, politik serta seni.
Modernisasi berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru. Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini.
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197). Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia (Turner, 1990: 137).
Sementara itu modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988: 202).
Dalam konteks ini, modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123). Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif dan radikal.
Modernisme menjadi konservatif manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan agama. Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan, terutama seni.
Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16 M ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat). Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut.
Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun, diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas dunia modern adalah rasionalitas tujuan.
Dalam kajian pentingnya tentang modernisme tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang menyangkut persoalan pemisahan bidang-bidang nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan satu prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh rasionalisme Pencerahan. Landasan utama argumen Weber ini adalah adanya fenomena otonomisasi wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis.
Dengan merosotnya agama, lapangan estetika seolah menjadi satu-satunya tempat pelarian dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionalitas tujuan (Lash, 1990: 157). Karakter lain modernitas adalah, ia bukan hanya memutuskan hubungan dengan seluruh warisan historis masa lampau, namun juga mendesakkan proses fragmentasi internal yang tak pernah berhenti dalam dirinya sendiri (Harvey, 1990: 12).
Modernitas, menurut Weber merupakan konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi asketisme, sekularisasi, klaim universalistik tentang rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktek-praktek politik dan militer, serta tumbuhnya moneterisasi nilai-nilai.
Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum; serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner, 1990: 6-10). Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang mandeg.
Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru Modernisme (Turner, 1990: 4). Secara epistemologis, modernitas meliputi empat unsur pokok.
Pertama, subjektivitas yang reflektif, yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.
Kedua, subjektivitas yang berkaitan dengan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi dan sejarah.
Ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu berlangsung secara linear, unik, tak terulangi dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi serta progresif. Dengan kata lain, modernitas mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan).
Keempat, universalisme yang mendasari ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas bersifat normatif untuk masyarakat yang akan melangsungkan modernisasi. Secara historis, sifat normatif ini diaktualisasikan dalam gerakan Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, legitimasi kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap naif, dogmatis dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan tertentu di masa depan.
Sementara itu dalam diskursus filsafat, modernisme mulai dibicarakan dan menemukan kematangannya melalui filsuf-filsuf Descartes, Immanuel Kant dan Hegel. Melalui pemikiran tokoh-tokoh inilah modernisme mulai memperkokoh diri dengan kebenaran-kebenaran ontologis, etis dan epistemologis. Perkembangan modernisme dalam berbagai wilayah kehidupan lainnya tidak dapat dipungkiri merupakan implementasi pemikiran filosofis ketiga tokoh ini.
Rene Descarteslah yang menyadarkan manusia akan kedudukan rasio sebagai determinan pengetahuan dan pembacaan realitas dengan diktumnya Cogito ergo sum: aku berpikir maka aku ada. Melalui Kant, hasrat emansipasi ini selanjutnya dibawa kepada kritisism yang menyarankan kategori-kategori sebagai batas-batas realitas yang terberi. Dengan kategori-kategori ini setiap ide, gagasan, pengalaman bahkan khayalan direkonstruksi dalam sebuah ruang pembacaan baku. Dengannya setiap realitas tidak dapat lolos dari mekanisme pembacaan ini. Kualitas, kuantitas, ruang, waktu, modalitas, substansi, kausalitas dan lain-lain, seolah-olah telah ditentukan batas dan nilainya.
Selanjutnya melalui Hegel, realitas modernisme disempurnakan dengan ide gerak sejarah dialektis yang berpuncak pada rasio. Idealisme absolut, yang merangkul tese dan antitese ke dalam konsepsi Aufgehoben suatu filsafat identitas menjadi sebuah narasi utama modernisme. Gerakan Renaisans, yang mendapat ilham dari semangat Humanisme Italia pada abad ke-16 M, selanjutnya semakin memperkokoh keyakinan akan segera lahirnya era baru menggantikan era Abad Pertengahan yang dipandang telah jenuh, dogmatis dan beku.
Sementara Pencerahan (Aufklarung) abad ke-18 M menjadi landasan tegaknya era baru, yakni era modern. Modernisme yang rasional, ketat, serius, sistematis dan tertib inilah wacana dominan yang mengisi diskursus sejarah filsafat Barat abad ke-18 M hingga sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan heroisme menghadapi situasi zaman seolah merupakan satu-satunya tanggapan terhadap proyek sejarah modernisme.
Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai post modernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis modernisme (Rosenau, 1992: 10).
Pertama, modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya berbagai patologi  sosial. 
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik individu.

Sementara itu dalam dunia seni, konsep seni modernisme pun perlahan-lahan mulai menemui kondisi krisis. Merujuk Featherstone, seni modernisme memiliki beberapa ciri utama yakni: kesadaran dan refleksi estetis yang cukup tinggi, penolakan terhadap struktur narasi realitas dan penerimaan terhadap konsep simultanisme dan montase, eksplorasi terhadap hakekat realitas yang paradoks, ambigu, dan terbuka, serta penolakan terhadap gagasan kepribadian yang utuh sembari merayakan gagasan subjek yang dehuman dan terbelah (Featherstone, 1988: 202).
Pandangan modernis demikian mulai digugat karena tendensi universalisme dan kebenaran estetis yang seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan. Para seniman dan kritikus seni mulai malas berbicara tentang seni modern yang beku, kelelahan dan  kering. Gagasan seni populer, seni massa, seni fashion yang merangkum pastiche, parodi, kitsch dan camp, serta perpetual art, seni perpetual, sebaliknya,mulai banyak dibicarakan. Kondisi yang sama terjadi dalam wilayah kehidupan dan disiplin ilmu yang lain: sastra, arsitektur, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan ekonomi.
Panorama modernisme yang terjebak heroisme inilah yang menurut Daniel Bell, salah seorang pembicara awal postmodernisme, yang merupakan benih krisis modernitas. Ditambah oleh perkembangan kapitalisme lanjut yang luar biasa dahsyat, sebagaimana diungkap Fredric Jameson dalam bukunya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1984), maka menjadi wajarlah gugatan, kejenuhan dan kekecewaan terhadap semangat modernisme.

b.     Post Modernisme dan Beberapa Tokohnya

Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M, tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, post modernisme telah muncul sebagai diskursus kebudayaan yang banyak menarik perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah, antropologi, politik dan filsafat, hampir secara bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema postmodernisme. Meskipun tidak mudah atau malah hampir tidak ada cara baku untuk mendefinisikan post modernisme, namun tema ini bukanlah lahir tanpa sejarah. Post modernisme hadir setelah melalui perjalanan sejarah yang membentuknya hingga sampai pada keadaannya saat ini. Inilah post modernisme yang menggugat watak modernisme lanjut yang monoton, positivistik, rasionalistik dan teknosentris; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat tata pengetahuan dan sistem produksi; modernisme yang kehilangan semangat emansipasi dan terperangkap dalam sistem yang tertutup; dan modernisme yang tak lagi peka pada perbedaan dan keunikan (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Sebaliknya, post modernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel Heryanto, 1994: 80).
Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis post modernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari  system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era post modernisme telah turut mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus post modernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4).

Istilah post modernisme, merujuk Ihab Hassan, dipergunakan pertama kali oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tahun 1930 dalam tulisannya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjuk kepada reaksi minor terhadap modernisme yang muncul pada saat itu (Featherstone,1988: 202). Istilah ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an ketika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus seni seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni modernisme lanjut. Seni post modern memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan seni modernisme lanjut, yakni: hilangnya batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Penggunaan istilah post modernisme selanjutnya perlahan-lahan mulai menyentuh bidang-bidang yang lain.
Dalam bidang arsitektur, istilah post modernisme mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk arsitektur modern yang menonjolkan keteraturan, rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis dan estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti fungsi menjadi dewa. Arsitektur post modernisme, sebaliknya menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam (Andy Siswanto, 1994: 36). Doktrin bentuk mengikuti fungsi dibalik menjadi fungsi mengikuti bentuk.
Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu sejarah yang berkembang semenjak era Renaisans, maka post modernitas adalah kurun waktu sejarah yang seringkali dikaitkan dengan perubahan realitas dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone, 1988: 197). Post modernitas ditandai dengan lahirnya totalitas struktur sosial baru, perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, serta terbentuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi dan hiper realitas.
Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog dan kritikus kebudayaan, post modernisme memiliki tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah kebudayaan.
Pertama, sebagai perubahan bentuk teorisasi, presentasi  dan diseminasi karya seni dan intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan.
Kedua, sebagai perubahan ruang budaya yang lebih luas  mencakup bentuk-bentuk produksi, konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih luas pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Ketiga, sebagai perubahan praktek dan pengalaman keseharian berbagai kelompok  yang menggunakan rezim penandaan (regime of signification) dalam berbagai cara dan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru bagi orientasi dan pembentukan identitas (Featherstone, 1988: 208).

Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog, bahkan melihat post modernisme sebagai puncak tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan hasrat, insting dan kegairahan untuk membawa logika modernisme sampai ke titik terjauh yang mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988: 202). Agak berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah seorang pembicara terdepan post modernisme, memandang post modernisme lebih sebagai strategi  pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip reproduksi tanda-tanda, kapitalisme multinasional yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam dunia sosial dan meledaknya budaya massa.
Post modernisme dengan demikian adalah metode analisa kritis yang mencoba membongkar mitos dan anomali paradigma modernisme, membuka ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba menemukan suatu teori masyarakat post modern atau post modernitas, dan menggambarkannya dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, 1988: 204).
Untuk memudahkan pemetaan prinsip dan kedudukan modenisme dan post modernisme, Ihab Hassan mencoba menyusun sebuah tabel sistematis yang menggambarkan perbandingan prinsip kedua paradigma pemikiran tersebut (Harvey, 1995: 43):

MODERNISME
POST MODERNISME
Romantis/Simbolis
Parafisik/Dadisme
Bentuk/Berhubungan/Tertutup
Anti Bentuk/Tak Berhubungan/Terbuka
Tujuan
Permainan
Desain
Kesempatan
Hierarki
Anarki
Master/Logos
Kejenuhan/Kediaman
Objek Seni/Karya
Proses/Penampilan/Happening
Berjarak
Partisipasi
Kreasi/Totalisasi/Sintesis
Dekreasi/Dekonstruksi/AntiSintesis
Kehadiran
Ketidakhadiran
Pemusatan
Tersebar
Genre/Batas
Teks/Interteks
Semantik
Retorik
Paradigma
Sintagma
Hipotaksis
Parataksis
Metafor
Metonimi
Seleksi
Kombinasi
Akar/Kedalaman
Rhizoma/Permukaan
Interpretasi/Pembacaan
Melawan-Interpretasi/Kesalahbacaan
Petanda
Penanda
Terlihat/Terbaca
Tercatat/Tertulis
Narasi/Narasi Besar
Anti-Narasi/Narasi Kecil
Tanda
Idiolek
Simtom
Hasrat
Jenis
Mutan
Genital/Phalik
Polimorphi/Androgini
Paranoia
Schizophrenia
Asli/Sebab
Perbedaan/Jejak
Tuhan
Setan
Metafisik
Ironi
Determinasi
Indeterminasi
Transenden
Imanen

Sementara itu Julia I. Suryakusuma, menyusun sebuah sistematika perbandingan paradigma modernisme dan post modernisme dalam wilayah-wilayah kehidupan sebagai berikut (Suryakusuma, 1994: 47):

MODERNISME
POST MODERNISME
Dalam Politik:
Negara (nation-state)
Relagion
Totalitarian
Demokratis
Konsensus
Konsensus yang Dipertanyakan
Friksi Kelas
Isu Agenda Baru
Dalam Ekonomi:
Fordisme
Pasca-Fordisme
Kapitalisme
Monopoli
Kapitalisme
Sosialis
Sentralisasi
Desentralisasi
Dalam Masyarakat:
Pertumbuhan Pesat
Kestabilan Berkesinambungan
Industrial
Pasca-Industrial
Berstruktur Kelas
Berkelompok Kecil
Proletariat
Kognitariat
Dalam Kebudayaan:
Kemurnian
Double Coding
Elitisme
Massa
Objektivisme
Naturalisme
Dalam Estetika:
Harmoni Sederhana
Anti-Harmoni
Estetika Newtonian
Estetika Big-Bang
Top-Down Terintegrasi
Sembiosis
Ahistoris
Historis
Dalam Filsafat:
Monisme
Pluralisme
Materialisme
Semiotik
Utopian
Heterotopian
Dalam Media:
Dunia Cetak
Elektronik
Berubah Cepat
Mengubah Dunia
Dalam Ilmu:
Mekanistis
Mengorganisasi
Linier
Non-Linier
Deterministik
Indeterministik
Mekanika Newton
Mekanika Kuantum
Dalam Agama:
Atheisme
Pantheisme
Tuhan telah mati
Spiritualitas Kreatif
Patriarkis
Pasca-Patriarkis
Kekecewaan
Terpesona
Dalam Pandangan Hidup:
Mekanistis
Ekologis
Reduktif
Holistik
Terpisah
Berkaitan
Hierarkis
Heterarkis
Kepastian
Kebetulan
Antroposentris
Kosmologis
Absurditas Manusia
Optimisme Tragis

Secara historis, kelahiran post modernisme dapat dilacak jauh ke alur sejarah kegagalan modernisme. Benih-benih kekecewaan terhadap modernisme pertama kali muncul pada tahun 1950-an dalam dunia sastra, ketika Charles Olson, seorang penyair Amerika, menggunakannya untuk menyebut gerakan anti-modernisme dan anti-rasionalitas modern dalam dunia puisi kontemporer Amerika (Bertens, 1995: 20). Gerakan anti-modernisme, yang dipelopori oleh John Cage, Robert Rauschenberg, Merce Cunningham, ini adalah gerakan yang mencoba membangun kesadaran untuk keluar dari kungkungan dan kuasa rasionalitas seni modern.
Para seniman dan penyair saat itu mulai merasa jenuh berada dalam ketertutupan dan kekakuan rasionalitas instrumental dunia modern. Dalam tulisannya Human Universe (1951), Olson menyatakan bahwa dunia kebudayaan Barat, karena orientasi ontologisnya yang membabi-buta terhadap rasionalitas modern, telah menyebabkan hilangnya otentisitas kehidupan dan kesejatian pengalaman manusia.
Sebagai akibatnya manusia tidak lagi mampu mengalami dan menghayati kekayaan realitas kehidupan dengan segenap keunikannya masing-masing (Bertens, 1995: 21). Hal yang ada hanyalah sebuah realitas tunggal yang monolitik, dogmatis dan ideologis. Sebaliknya, gerakan anti-modernisme menyatakan sikap  penolakan terhadap pandangan rasionalitas modern yang menjunjung tinggi universalitas, subjek transenden, ego individual, dan merayakan otentisitas kehidupan. Gerakan anti-modernisme hendak mencoba melawan keangkuhan nilai dan estetika sastra modern.
Perbincangan mengenai post modernisme selanjutnya berkembang dalam lapangan seni. Pada kurun waktu tahun 1960-an, muncul tulisan-tulisan tentang post modernisme dengan artikulasi dan pemihakan yang lebih jelas. Dalam dunia sastra, Ihab Hassan dan Susan Sontag menyatakan mulai bangkitnya dunia sastra yang terdiam. Sontag juga menyatakan telah lahirnya sensibilitas baru, yaitu suatu sikap yang lebih terbuka menerima keberagaman gaya dan bentuk, serta tidak lagi menuntut penghormatan terhadap seniman dan karya seni.
Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang post modernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur post modernisme. Arsitektur post modern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna arsitektural.
Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur post modern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur post modern. Ia memaparkan bahwa arsitektur post modern adalah konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur post modern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).
Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur post modern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur post modern. Beberapa atribut tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme, parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur post modern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks,terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris.
Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur post modern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur post modern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur post modern yang menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi, Barat/Timur, atau sederhana/complicated.

FILSAFAT POST MODERNISME

Memasuki rentang tahun 1980-an, tema post modernisme mulai mendapat perhatian yang lebih serius. Upaya membangun kerangka teoritis terhadap tema ini terutama berlangsung dalam lapangan filsafat. Dalam bidang filsafat, istilah post modernisme kerap dipergunakan dengan acuan yang sangat beragam. Walaupun karya masterpiece Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), tetap menjadi acuan kunci, namun banyak kalangan mengaitkan istilah itu dengan Teori Dekonstruksi Derrida, semiologi Barthes, semiotika Eco, post strukturalisme Foucault, hermeneutika Gadamer sampai kepada pemikiran holistisisme Capra, Prigogine dan Whitehead.
Istilah post modernisme juga sering dirujukkan pada berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer sebagai masyarakat post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda (semiurgy society). Sementara kalangan memandang post modernisme sebagai bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen  Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua), sementara kalangan yang lain memandang post modernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault).
Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Post modernism and Social Sciences (1992), membedakan post modernisme menjadi dua bentuk. Pertama, post modernisme sebagai paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, post modernisme meliputi tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut post modernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Kedua, post modernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran post modernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard).
Dari  arah yang agak berbeda, Frederic Jameson menyatakan bahwa post modernisme  tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik.
Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.
Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk memahami post modernisme secara mendasar terutama pada dataran ontologism dan epistemologis adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara post modernisme dalam wilayah filsafat.
Jean Francois Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles Perancis yang mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus post modernisme. Melalui bukunya yang segera menjadi klasik, The Condition of Postmodern: A Report on Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa ciri utama kebudayaan post modern. Menurutnya, kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
Masyarakat komputerisasi adalah sebutan yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala post-industrial masyarakat Barat menuju the information technology era. Realitas sosial budaya masyarakat dewasa ini seperti yang ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada adalah masyarakat yang hidup dengan ditopang oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer.
Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi, konsumsi dan transformasi mengalami revolusi radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan data dan informasi yang mampu mengubah bahkan memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989: 118).
Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio, hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar, otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai dengan perubahan karakter masyarakat post modernisme. Realitas masyarakat seperti inilah yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai baru post modernisme.
Menggaris bawahi sifat transformatif masyarakat komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi besar (Grand Narratives) modernisme sebagai metanarasi  kini telah kehilangan legitimasinya.  Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi homolog (homo: satu, dan logi: tertib nalar), melainkan paralog (para: beragam, dan logi: tertib nalar) (Awuy, 1995: 161).
Pengetahuan dan kebenaran kini menyebar dan plural. Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme harus dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Dengan delegitimasi, berarti diakui adanya berbagai unsur realitas yang memiliki logikanya sendiri. Dengan delegitimasi, menurut Lyotard, prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa diterima ketimbang prinsip konsensus seperti ditawarkan Juergen Habermas. Karena disensus adalah prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika dan hak hidupnya sendiri.
Dengan titik perhatian yang berbeda namun sampai pada kesimpulan yang sama, Michel Foucault, seorang filsuf post strukturalis Perancis, mencatat beberapa karakter khas kebudayaan post modern. Berangkat dari Kant, Foucault bersepakat bahwa Era Pencerahan adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah satu cara untuk menanggapi situasi zaman saat itu. Menurutnya terdapat tanggapan lain terhadap Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. Ironi adalah keberanian, yang disertai kegetiran, untuk terlibat secara aktif dengan situasi kini dan disini, historis dan lokal (locally determined), tanpa harus mencantolkan diri pada status-status khusus dari kebenaran-kebenaran absolut, di luar diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau yang lainnya. Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa dibebani oleh prinsip baku, yang sudah terpatok sebelumnya (Ahmad Sahal, 1994: 16).
Dengan ironi, Foucault menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas bukanlah sejarah tunggal, dengan narasi besar yang monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah mistifikasi yang bersifat ideologis dan semu. Ia misalnya, menolak pandangan para  filsuf Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault, manusia modern sebagai subjek ataupun objek  sebenarnya tidak lebih dari individu yang lahir dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan penguasaan diri (Ahmad Sahal, 1994: 16-17).
Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda sama sekali dengan yang dipahami oleh kaum Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan menekan kelas lain.
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau struktur yang bersifat menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja. Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih memilih untuk menyibuki persoalan-persoalan kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan. Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila dan para kriminal menjadi titik perhatian utama selama karir kefilsafatannya.
Dengan upaya ini, Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap post modernisme. Pertama, keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan diperhatikan.
Seorang filsuf lain yang mencoba menyingkap sifat paradoks modernisme adalah Jacques Derrida. Melalui Derrida terbongkar karakter kekerasan dan teror yang disebar oleh modernisme semenjak dikeluarkannya prinsip logosentrisme.
Dalam logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat hierarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/imanen, positif/negatif, lisan/tulisan, konsep/metafor) dengan anggapan bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara berpikir ini mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat totaliter karena menganggap bahwa yang bukan pusat, yang pinggiran, yang lain, the others, harus disubordinasikan ke dalamnya.
Mencermati hal itu, Derrida lantas melakukan strategi dekonstruksi terhadap cara berpikir oposisi biner. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui pembalikan hierarki oposisi biner secara terus-menerus (Ahmad Sahal, 1994: 21).
Dengan dekonstruksi hendak dimunculkan kembali dimensi-dimensi metaforis dan figuratif dari bahasa yang menjadi pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai melumernya batas-batas antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat dan puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Melalui dekonstruksi Derrida mencoba meletakkan kembali kedudukan struktur dalam keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas kehidupan yang membeku dan tertindas selama masa modernisme kembali terhampar.
Sampai di sini bisa disederhanakan bahwa, post modernisme bisa disebut sebagai bentuk kritik atas kegagalan modernisme, atau merupakan wajah baru modernisme yang telah sadar menjadi lebih bijak, atau bahkan sebuah spektrum abstrak yang benar-benar membingungkan. | KD

 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet