I. MUQADDIMAH
Pesantren,
adalah lembaga pendidikan asli Indonesia (indigenous) yang lebih tua
dari Indonesia itu sendiri. Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan
Nusantara yang bergerak secara khusus di bidang keagamaan (tafaqquh fi
addien) sejak era Walisanga (abad 15 M.), dan sebelum era penjajahan
kolonial Belanda (abad 18 M.).
Sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki keunikan dan kekhasan
tersendiri yang sulit dijumpai di lembaga pendidikan lain. Orientasi pendidikan
pesantren tidak hanya terpusat pada usaha mencerdaskan aspek intelektualitas
anak didik (ta’lîm), melainkan sekaligus concern dalam
pembentukan karakter dan kepribadian (tarbiyah). Santri tidak hanya
disiapkan menjadi figur yang cerdas secara intelektual, melainkan sekaligus dicetak
menjadi pribadi yang memiliki kepekaan moral-spiritual. Orientasi pendidikan
yang mensinergikan aspek intelektual dan moral-spiritual seperti ini,
menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mecerdaskan anak bangsa dan mencetak
generasi bermoral akhlaqul karimah. Ini sekaligus membedakan dengan orientasi
lembaga pendidikan formal pada umumnya yang cenderung hanya mementingkan aspek
intelektual dan keterampilan berbasis duniawi belaka.
Di
usianya yang semakin dewasa, pesantren kian menemukan kematangan dalam sistem belajar-mengajarnya.
Apabila dahulu di pesantren hanya dikenal sistem belajar yang bersifat
monologis (sepihak), seperti ngaji weton, bandongan, dan sorogan,
dewasa ini, di banyak pesantren besar, telah diterapkan sistem belajar musyawarah
sebagai sistem penting untuk pemberdayaan kualitas keilmuan dan prestasi santri-santrinya.
Sistem
musyawarah adalah sistem belajar yang bersifat dialogis-emansipatoris. Yaitu sistem
yang menuntut santri tidak sekedar diposisikan sebagai obyek pasif dalam
aktifitas belajar-mengajar, yang hanya mendengar, menulis, dan dicekoki
keterangan-keterangan atau doktrin-doktrin dari pengajar, melainkan dilibatkan secara
langsung sebagai subyek (pemain) yang aktif. Santri sejak dini dilatih kritis
berpikir, menganalisis, berpendapat, dan berdebat adu argumentasi secara
ilmiah dan bebas. Sebuah sistem belajar yang sangat efektif untuk membangun
intelektualitas dan prestasi santri. Penerapan sistem musyawarah ini, sekaligus
menandai geliat kebangkitan intelektualitas kaum sarungan dalam mengkaji
khazanah turâts berupa kitab kuning secara kritis dan progresif. Geliat
ini bisa dilihat dari semarak forum-forum diskusi ilmiah (bahtsul masa’il) baik
inter atau antar pesantren, khususnya di Jawa Timur.
Dalam
perjalan salanjutnya, seiring dengan desakan modernitas, banyak pesantren yang
kemudian memodernisasi pendidikannya. Diantaranya dengan membuka sekolah formal
atau memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Kebijakan ini memang dinilai
efektif sebagai alternatif menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum selama ini. Akan tetapi, diakui atau tidak, kualitas prestasi siswa kemudian
relatif setengah-setengah. Atau kalaupun tidak, penguasaan terhadap ilmu agama
menjadi praktis menurun. Penilaian seperti ini bisa dilihat dengan
membandingkan kemampuan prestasi antara santri pesantren salaf dengan santri
pesantren modern atau terpadu dalam penguasaannya terhadap literatur kitab
kuning.
Di
sinilah kiranya sangat penting sistem belajar musyawarah digalakkan di
pesantren-pesantren modern sebagai program penanggulangan atas penurunan
kualitas prestasi dan penguasaan santri terhadap bidang ilmu agama.
II. MANFAAT SISTEM BELAJAR MUSYAWARAH
Setidaknya,
terdapat tiga manfaat atau fungsi urgen dari sistem belajar musyawarah yang bersifat
dialogis-emansipatoris seperti yang dipaparkan di atas. Yaitu:
Pertama, musyawarah akan memberikan pemahaman yang mendalam, luas, dan
maksimal, yang sangat mengesankan dan tidak akan mudah hilang dari ingatan. Hal
ini logis. Sebab, disamping sistem musyawarah menuntut untuk benar-benar
memahami materi dan berpikir secara keras, musyawarah juga merupakan sistem
belajar yang melibatkan banyak pemikiran. Hal-hal yang mungkin tak terpikirkan
ketika belajar secara individual, bisa jadi akan mengalir begitu saja dari pikiran
orang lain. Demikian juga permasalahan yang mungkin tidak bisa atau sulit
dipecahkan secara personal, akan sangat terbantu apabila dikaji dan dibahas secara
kolektif. Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan:
“Separuh akalmu terdapat
pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal yang utuh dan
sempurna”.
Kedua, musyawarah akan mengasah ketajaman inteligensi dan daya analitis,
yang pada gilirannya akan mampu membentuk karakter dan nalar keilmuan yang
kritis, kreatif dan profesional. Fungsi penting seperti ini akan sulit didapati,
apabila diupayakan hanya melalui proses belajar-mengajar di dalam kelas, atau hanya
melalui kegiatan sorogan dan ngaji bandongon atau weton.
Pengajaran di dalam kelas lebih bersifat tutorial, yakni mentransver makna
gandul, menghapal, dan keterangan alakadarnya. Sistem demikian jelas terlalu
sederhana dan kurang maksimal untuk memberdayakan potensi dan prestasi santri. Demikian
juga dalam sistem sorogan, ngaji bandongan atau weton.
Betapapun dalam tataran tertentu dipercaya penting, namun sistem-sistem
pengajaran demikian bersifat monologis, yang tidak cukup efektif untuk
memungkinkan membangun daya analitis santri yang tajam, kritis, dan membentuk
karakter intelektualitasnya yang matang dan mapan. Ketajaman analisis,
kematangan pemikiran, dan kemapanan keilmuan, hanya akan efektif apabila dibangun
dan diberdayakan melalui pergulatan panjang (istiqamah) dalam sistem
belajar musyawarah yang dialogis-emansipatoris. Yakni sistem belajar berupa
aktivitas olah inteligensi: dialog, diskusi, berdebat, dan berpolemik secara
kompetitif dan sportif, dengan basis ilmiah.
Ketiga, musyawarah akan melatih seseorang memiliki kecakapan dalam retorika
berbicara. Intensitas berpikir, berpendapat, berdebat dan berpolemik secara
argumentatif dalam forum-forum musyawarah, pada gilirannya akan menjadikan
seseorang memiliki kepiawian retorika menyampaikan statemen, ide, gagasan,
wacana atau pandangannya secara tertata, teratur, lugas dan mudah dipahami. Keberhasilan
seperti ini sangat besar sekali manfaatnya, karena akan dapat menghapus kesan
atau stigma buruk selama ini bahwa, santri itu tidak memiliki kepiawian
berbicara dan beretorika yang baik meskipun sebenarnya kaya akan referensi dan
dalil. Kesan ini berbanding terbalik dengan kepiawian mahasiswa yang relatif
vokal dan komunikatif kendati sebenarnya miskin rujukan dalil. Dalam bahasa
Jawa kerap disindir: “santri iku kakean dalil gak biso ngomong, mahasiswa
iku kakean ngomong ora biso ndalil”. Dengan istiqamah dan intensif
belajar lewat sistem musyawarah, santri tentu sangat potensial untuk bisa tampil
menjadi sosok yang ideal, yaitu sosok yang kaya dalil sekaligus cakap
berbicara.
III.
PRA-SYARAT KONDUSIFITAS MUSYAWARAH
Suasana
musyawarah akan bisa hidup dan kondusif, apabila didukung beberapa hal berikut
ini.
1. Kesiapan Mengangkat Permasalahan
Penting
Musyawarah
adalah aktivitas diskusi untuk mencari pemahaman terbaik dari permasalahan-permasalahan
yang terdapat dalam materi pelajaran. Suasana musyawarah akan dingin, vakum,
dan tidak kondusif apabila peserta musyawarah tidak memiliki kesiapan mengangkat
permasalahan-permasalahan penting dari materi untuk didiskusikan. Karenanya, setiap
peserta sebelum musyawarah dituntut terlebih dulu mempersiapkan pertanyaan atau
permasalahan yang layak diangkat untuk didiskusikan. Kesiapan mengangkat
permasalahan penting seperti ini memiliki dua keuntungan, yaitu:
- Menghindarkan
kefakuman suasana musyawarah karena kekurangan topik pembahasan.
- Menghindarkan
jalannya musyawarah terjebak pada pembahasan masalah-masalah yang kurang
penting didiskusikan.
2. Kesiapan Merespon Permasalahan
Keberhasilan
mengangkat permasalahan penting belum cukup untuk menjamin suasana musyawarah
hidup dan kondusif, apabila tidak didukung dengan kesiapan peserta dalam
merespon permasalahan yang diangkat. Permasalahan yang sangat bagus akan hilang
begitu saja, jika peserta tidak siap merespon dengan memberikan jawaban atau
tanggapannya. Untuk menjadi peserta yang senantiasa siap merespon setiap
permasalahan yang diangkat, minimal harus sudah memahami materi dasar sebelum
musyawarah. Dan akan lebih maksimal apabila sebelumnya menyiapkan diri dengan
mengembangkan pemahaman dari kitab-kitab syarah. Dengan begitu, kedatangannya
di forum musyawarah benar-benar untuk berdiskusi, dan bukan sekedar untuk
memahami materi dasar.
3. Agresifitas Peserta
Agresifitas
peserta musyawarah dalam merespon masalah yang didiskusikan sangat menentukan
suasana musyawarah yang hidup dan bergairah. Tanpa ada unsur agresifitas ini,
forum musyawarah hanya akan menjadi pertemuan yang vakum, pasif, dingin, dan
membosankan. Ada beberapa tips untuk merangsang dan menumbuhkan agresifitas
peserta dalam bermusyawarah.
a.
Cita-cita Luhur (Ambisius)
Tinggi-rendahnya
cita-cita atau obsesi seseorang, sangat mempengaruhi gigih tidaknya usaha atau
perjuangan yang dilakukannya. Seorang yang bekerja dengan obsesi atau cita-cita
bisa membeli mobil, tentu akan berusaha keras jauh lebih gigih dibanding
seorang yang bekerja hanya dengan obsesi bisa membeli sepeda motor. Begitulah,
seorang yang memiliki cita-cita luhur dalam menuntut ilmu, pasti akan
bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berjuang meraihnya. Semua kesempatan dan
media yang menunjang kesuksesan cita-citanya, seperti musyawarah, akan
senantiasa ia jalani dengan sepenuh hati. Ilmu tidak akan berhasil dikuasai
kecuali dengan himmah sepenuh hati. Dalam Ihya’ Ulumiddien Imam Alghazali
mengatakan:
الْعِلْمُ لَا يُعْطِيْكَ
بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
|
“Ilmu tidak sudi
memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga kamu bersedia mempersebahkan
dirimu untuk ilmu sepenuhnya.”
|
Hal
ini akan berbeda dengan seorang yang memiliki cita-cita rendah. Musyawarah yang
sangat menunjang kesuksesannya, akan dipandang sebelah mata, dilakukan dengan
setengah hati dan bahkan disia-siakan begitu saja. Musyawarah yang sangat besar
manfaatnya, akan ia ikuti bukan sebagai ‘kebutuhan’ (media) meraih cita-cita,
melainkan sekedar untuk menggugurkan ‘kewajiban’ dan menghindari hukuman ta’zir.
Lumrah saja jika yang menjadi prinsip musyawarah orang seperti ini adalah prinsip
3D, yakni Datang-Duduk-Diam.
Cita-cita
luhur (ambisius) peserta musyawarah akan mendorong sikap agresif dalam
bermusyawarah. Orang yang memiliki cita-cita luhur sangat dicintai oleh Allah
swt. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
مَعَالِيَ الأُمُورِ وأَشْرَافَهَا وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَ
|
Sesungguhnya Allah
mencintai perkara-perkara yang luhur dan mulia, dan membenci perkara-perkara
yang rendah. (HR. Aththabrani)
|
b. Memiliki TO (Target Operasi)
Agar
peserta musyawarah agresif berdialog, setiap peserta harus memiliki TO jelas
yang ingin didapatkan (istifâdah) dari forum musyawarah. Target ini
bersifat kondisional sesuai tingkat kemampuan peserta. Misalnya, dalam forum musyawarah
harus berbicara dengan target: sekedar bisa bertanya, berpendapat, atau dengan
target harus bisa menjawab segala kemungkinan isykâl yang mengemuka
dalam forum, atau bahkan dengan target sanggup berdebat secara argumentatif.
Dengan
TO yang jelas seperti ini, setiap peserta akan termotivasi untuk berbicara,
baik sekedar bertanya, berpendapat, menjawab atau bahkan berdebat, sesuai
dengan kapasitas dan kebutuhannya masing-masing, sehingga tercipta suasana
musyawarah yang agresif dan hidup.
c.
Semangat Bersaing (Kompetitif)
Forum
diskusi atau musyawarah seharusnya dipahami sebagai kawah candradimuka yang
menjadi tempat menempa pemikiran untuk membentuk karakter intelektualitasnya.
Atau, dipahami sebagai medan pergulatan pemikiran, yang akan mematangkan kualitas
keilmuannya.
Dengan
pemahaman demikian, maka akan memicu terjadinya semangat kompetisi dan
persaingan sportif dalam forum musyawarah, berlomba-lomba untuk tampil menjadi
yang terbaik sebagai sang maestro. Allah swt. berfirman:
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS. Alma'idah: 48)
d. Bermental Baja (Apatis)
Bagi
aktifis musyawarah tingkat pemula, mental baja atau sikap apatis, cuek-bebek,
atau tidak peduli, merupakan sikap positif untuk membangun keberanian dan
mengusir jauh-jauh rasa minder, malu, grogi atau demam forum, yang kerap
menghantui perasaan dan mengacaukan pikiran ketika dialog interaktif atau
berdebat adu argument di tengah forum. Karenanya, tak perlu menuruti
perasaan-perasan malu, grogi, tidak PD, dan perasaan-perasaan minder lainnya.
Seorang aktivis musyawarah pemula harus berpikir, lebih baik malu sekarang dari
pada kelak menjadi orang yang memalukan.
e.
Punya Selera Berbeda
(Kontroversial)
Kiat
lain untuk merangsang sikap agresif dalam berdiskusi ialah, punya selera
berbeda, atau berani berpendapat kontroversial dan menentang pendapat sekuat
apapun. Selera seperti ini akan dapat membantu menumbuhkan sikap kritis dan
ketajaman penalaran.
Sikap
kontroversial demikian dimaksudkan untuk melatih berpolemik secara kritis,
argumentatif, dan yang lebih penting adalah, untuk menguji kekuatan kebenaran
suatu pendapat agar benar-benar meyakinkan. Sebab, kebenaran akan semakin jelas
dan kuat ketika tak terbantahkan oleh segala kritik dan kontroversi yang
menentangnya.
f. Tak Kenal Kompromi
Sikap
tak kenal kompromi juga akan membangkitkan agresifitas berdiskusi. Sebab sikap
demikian akan memotifasi seseorang mempertahankan pendapatnya mati-matian.
Sebagai seorang aktifis musyawarah sejati (bertanggung jawab), sepanjang
pendapatnya masih ia yakini sebagai kebenaran, maka pantang baginya untuk
menyerah begitu saja tanpa memberikan pembelaan untuk mempertahankan
pendapatnya. Kebenaran harus dibela meski apapun resiko dan taruhannya.
Rasulullah saw. bersabda:
قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ
مُرًّا
|
Katakanlah kebenaran
itu, meskipun terasa pahit. (HR. Ibn Hibban)
|
IV. KRITERIA IDEAL RA’IS, MODERATOR,
DAN PESERTA
Dalam
sebuah forum musyawarah, akan melibatkan aksi tiga pihak, yakni ra’is,
moderator, dan peserta. Untuk menciptakan musyawarah yang berkualitas,
ketiganya harus memiliki kriteria edial sebagai berikut.
1. Ra’is
Sebagai
figur yang telah dipercaya untuk tampil mempresentasikan materi musyawarah,
seorang ra’is harus memiliki sikap bertanggung jawab untuk menjaga kepercayaan tersebut.
Adalah sangat tidak bertanggung jawab jika seorang ra’is tidak memiliki
kesiapan yang lebih maksimal dibanding peserta musyawarah lain. Sikap tanggung
jawab seorang ra’is ini bisa diwujudkan dalam bentuk:
a. Persiapan
matang dengan memahami materi secara detail dan menyeluruh;
b. Benar-benar
siap untuk menyampaikan atau mempresentasikan materi musyawarah;
c. Mengerti
poin-poin penting materi musyawarah yang perlu digarisbawahi saat presentasi;
d. Sanggup
menyampaikan materi dengan bahasa yang lugas, menarik dan mudah dimengerti
peserta musyawarah;
e. Mampu
memberikan keterangan-keterangan suplementer (tambahan) yang berkaitan dengan
materi; dan
f. Mampu
membuat kesimpulan sederhana dari seluruh materi.
Apabila
tanggung jawab ini berhasil dipenuhi dengan baik oleh seorang ra’is, maka
penampilannya akan menarik dan mampu memikat peserta musyawarah, sehingga konsentrasi
dan perhatian seluruh peserta akan dengan sendirinya terpusat pada apa yang
disampaikannya.
2. Moderator
Figur
moderator memiliki peran sangat penting dalam musyawarah. Dialah nahkoda
diskusi yang akan mengendalikan arah perdebatan untuk bisa dilabuhkan di
dermaga kesimpulan akhir. Nahkoda yang profesional harus bisa memilih mana arah
yang tepat untuk diarunginya, dan mampu mengarahkan bahtera menuju dermaga
dengan mulus. Hal ini akan berbeda dengan nahkoda yang tidak profesional. Ia
akan terombang-ambing oleh ombak dan gelombang hingga kahilangan arah.
Demikianlah,
seorang moderator harus memiliki kepiawian dalam memimpin jalannya diskusi. Ia
harus mampu memahami arah perdebatan dan bisa mengendalikan jalannya diskusi
secara teratur dan sistematis serta bisa memainkan season i’tiradl
(sanggahan) dan i’tidladl (dukungan) secara dramatis, sehingga alur diskusi
benar-benar berjalan secara dinamis dan tidak kacau. Untuk itu, idealnya
seorang moderator harus memiliki kriteria berikut:
a. Responsif
Agar musyawarah bisa berkualitas,
moderator harus mampu menangkap dan respek atau tanggap dengan segala
kemungkinan pendapat, argumentasi, ide dan pemikiran peserta. Untuk itu,
seorang moderator dituntut memiliki pemahaman yang baik terhadap materi dan
pokok pembahasan yang didiskusikan.
b. Moderat
Seorang moderator harus bisa
bersikap moderat dan netral terhadap seluruh peserta musyawarah, sehingga ia
benar-benar bisa tampil sebagai mediator yang mendialogkan antar pendapat
peserta secara adil dan profesional.
c. Selektif
Moderator harus dapat memilah
secara selektif mana pendapat peserta yang relevan untuk didialogkan dan mana
pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan pokok pembahasan, dan harus
segera dikotak. Di sini dibutuhkan sikap tegas dan bijaksana dari seorang
moderator agar diskusi berjalan dinamis dan tidak terjebak dalam hal-hal yang
tidak penting (i’râdl an almaqshûd).
d. Obyektif
Dalam memutuskan mana pendapat yang
harus didialogkan dan mana yang harus dikotak, moderator harus obyektif. Demikian
juga dalam mengambil kesimpulan. Dalam arti, keputusan dan kesimpulan harus
didasarkan pada substansi pendapat peserta, bukan berdasarkan subyektifitas moderator.
e. Komunikatif
Antara pendapat yang pro dan yang
kontra, harus bisa dipilah oleh moderator untuk selanjutnya didialogkan. Di
sini dibutuhkan seorang moderator yang komunikatif. Artinya, memiliki kemampuan
untuk mendramatisir musyawarah agar terjadi dialog antar peserta yang pro
dengan peserta yang kontra secara sistematis dan dinamis. Dalam hal ini,
moderator perlu mengatur alur musyawarah menjadi dua seson, yakni seson i’tirâdl
dan seson i’tidlâdl.
Seson i’tirâdl ialah seson mepersilakan
peserta yang tidak setuju terhadap suatu pendapat, agar memberikan sanggahan,
bantahan, atau kritikan secara argumentatif. Ketika semua sanggahan, bantahan,
dan kritik dirasa sudah cukup kuat, maka saatnya memasuki seson i’tidlâdl.
Yaitu seson mencari dukungan argumen untuk menguatkan pendapat yang dibantah
dan dikritik. Begitu seterusnya sampai bisa diketahui mana pendapat yang kuat
(benar) dan mana pendapat yang lemah (salah).
f. Representatif
Di akhir musyawarah, moderator
harus bisa menarik kesimpulan secara benar dan utuh yang bisa merepresentasikan
seluruh hasil diskusi dan perdebatan, sehingga pendapat dan pemikiran-pemikiran
segar yang mencuat dalam forum tidak terabaikan dengan sia-sia.
3. Peserta
Musyawarah
Sebuah
musyawarah bisa dinilai hidup, berkualitas dan produktif, apabila antar peserta
terjadi diskusi, dialog, dan adu pendapat secara argumentatif. Karena itu,
antar peserta musyawarah harus memiliki semangat bersaing satu dengan lainnya
secara sportif. Untuk menumbuhkan semangat persaingan dalam forum musyawarah, bisa
disiasati dengan cara:
a. Membagi
peserta musyawarah dalam beberapa kelompok;
b. Mempertarungkan
antar kelompok dalam perdebatan dan adu argument;
c. Setiap
kelompok harus menyiapkan pertanyaan;
d. Setiap
kelompok harus menyiapkan jawaban;
e. Setiap
anggota kelompok harus kompak dan bahu-membahu atau gotong royong membela pendapat
kelompoknya masing-masing;
f. Setiap
anggota kelompok harus menjaga solideritas, sentimental dan martabat
kelompoknya masing-masing.
Demikianlah
beberapa kriteria ideal yang penting dimiliki oleh tiga komponen yang terlibat
dalam forum musyawarah. Beberapa kriteria di atas akan sangat mendukung untuk membangun
musyawarah menjadi media belajar yang sangat menyenangkan, media diskusi yang
bergensi, dan media yang prospektif untuk meraih prestasi. Namun, yang paling
esensial untuk memungkinkan peserta dapat berdiskusi secara argumentatif dan
berkualitas, tidak lain adalah persiapan maksimal sebelum musyawarah. Dan persiapan
ini bisa dilakukan dengan cara:
- Memahami materi
dasar yang hendak dimusyawarahkan;
- Mencari
keterangan-keterangan tambahan dari sumber-sumber referensial yang lebih
luas (kitab-kitab sarah);
- Mengantisipasi
poin-poin yang berpotensi diperdebatkan, dengan mempersiapkan jawaban dan
argumentasinya;
- Menyiapkan isykâl-isykâl
yang berbobot untuk diangkat dalam musyawarah. Dan;
- Bersedia
menindaklanjuti masalah yang mauqûf dalam forum untuk dicarikan
pemecahannya, baik dengan mencari referensi atau bertanya kepada pihak
yang lebih senior.
V. PENUTUP
Aktivitas
musyawarah atau belajar dengan sistem diskusi, merupakan metode belajar yang
penuh tantangan, dan menuntut militansi serta kreatifitas tinggi. Hanya
orang-orang yang memiliki nyali, selera tinggi dan keinginan besar menjadi
orang maju yang dapat merasakan musyawarah sebagai aktivitas menarik dan
menyenangkan. Orang-orang seperti inilah yang memiliki kesempatan besar bisa
sukses dalam thalabul ilmi. Dan hampir bisa dipastikan, orang-orang
sukses dalam bidang keilmuan, memiliki track record sebagai aktifis
musyawarah. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan: JIKA INGIN
SUKSES DALAM THALABUL ILMI, KUNCINYA ADALAH: MENJADI AKTIVIS MUSYAWARAH
YANG ISTIQAMAH.
Meraih
kesuksesan prestasi keilmuan melalui forum musyawarah, kecerdasan inteligensi
bukanlah faktor utama, melainkan faktor istiqamahnya. Kedewasaan pemikiran,
kematangan keilmuan, dan terbentuknya karakter intelektualitas seseorang, tidak
bisa hanya mengandalkan kecerdassan otak semata, atau hanya diusahakan melaui
cara-cara instan. Tetapi, harus melalui proses pergulatan pemikiran yang panjang
dalam forum-forum ilmiah yang bersifat dialogis. Sudah tak terhitung buktinya,
orang-orang yang tingkat inteligensinya biasa namun memiliki prestasi keilmuan
yang jauh lebih gemilang dari orang yang cerdas namun tidak istiqamah
bermusyawarah. Maka benarlah sabda Nabi saw.:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ
وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ
|
Tidak akan rugi orang
yang istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang musyawarah. (HR. Aththabrani)
|
Demikianlah
makalah yang bisa penulis persembahkan. Semoga bisa menginisiasi dan menginspirasi
para pelajar untuk membudayakan diskusi, memberdayakan potensi, dan meraih
prestasi melalui ikhtiar aktif dan istiqamah bermusyawarah. Amien. KD
___________________
Disampaikan Oleh:
Daimullah Goeztav, dalam Diklat Sistem
Musyawarah di Pon. Pes. Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang, Jawa Timur,
tanggal 05 November 2011.