April 28, 2012

DENGAN MUSYAWARAH; BUDAYAKAN DISKUSI, BERDAYAKAN POTENSI, RAIH PRESTASI


I.          MUQADDIMAH
Pesantren, adalah lembaga pendidikan asli Indonesia (indigenous) yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan Nusantara yang bergerak secara khusus di bidang keagamaan (tafaqquh fi addien) sejak era Walisanga (abad 15 M.), dan sebelum era penjajahan kolonial Belanda (abad 18 M.).
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri yang sulit dijumpai di lembaga pendidikan lain. Orientasi pendidikan pesantren tidak hanya terpusat pada usaha mencerdaskan aspek intelektualitas anak didik (ta’lîm), melainkan sekaligus concern dalam pembentukan karakter dan kepribadian (tarbiyah). Santri tidak hanya disiapkan menjadi figur yang cerdas secara intelektual, melainkan sekaligus dicetak menjadi pribadi yang memiliki kepekaan moral-spiritual. Orientasi pendidikan yang mensinergikan aspek intelektual dan moral-spiritual seperti ini, menjadikan pesantren sebagai lembaga yang mecerdaskan anak bangsa dan mencetak generasi bermoral akhlaqul karimah. Ini sekaligus membedakan dengan orientasi lembaga pendidikan formal pada umumnya yang cenderung hanya mementingkan aspek intelektual dan keterampilan berbasis duniawi belaka.
Di usianya yang semakin dewasa, pesantren kian menemukan kematangan dalam sistem belajar-mengajarnya. Apabila dahulu di pesantren hanya dikenal sistem belajar yang bersifat monologis (sepihak), seperti ngaji weton, bandongan, dan sorogan, dewasa ini, di banyak pesantren besar, telah diterapkan sistem belajar musyawarah sebagai sistem penting untuk pemberdayaan kualitas keilmuan dan prestasi santri-santrinya.

Sistem musyawarah adalah sistem belajar yang bersifat dialogis-emansipatoris. Yaitu sistem yang menuntut santri tidak sekedar diposisikan sebagai obyek pasif dalam aktifitas belajar-mengajar, yang hanya mendengar, menulis, dan dicekoki keterangan-keterangan atau doktrin-doktrin dari pengajar, melainkan dilibatkan secara langsung sebagai subyek (pemain) yang aktif. Santri sejak dini dilatih kritis berpikir, menganalisis, berpendapat, dan berdebat adu argumentasi secara ilmiah dan bebas. Sebuah sistem belajar yang sangat efektif untuk membangun intelektualitas dan prestasi santri. Penerapan sistem musyawarah ini, sekaligus menandai geliat kebangkitan intelektualitas kaum sarungan dalam mengkaji khazanah turâts berupa kitab kuning secara kritis dan progresif. Geliat ini bisa dilihat dari semarak forum-forum diskusi ilmiah (bahtsul masa’il) baik inter atau antar pesantren, khususnya di Jawa Timur.
Dalam perjalan salanjutnya, seiring dengan desakan modernitas, banyak pesantren yang kemudian memodernisasi pendidikannya. Diantaranya dengan membuka sekolah formal atau memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya. Kebijakan ini memang dinilai efektif sebagai alternatif menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum selama ini. Akan tetapi, diakui atau tidak, kualitas prestasi siswa kemudian relatif setengah-setengah. Atau kalaupun tidak, penguasaan terhadap ilmu agama menjadi praktis menurun. Penilaian seperti ini bisa dilihat dengan membandingkan kemampuan prestasi antara santri pesantren salaf dengan santri pesantren modern atau terpadu dalam penguasaannya terhadap literatur kitab kuning.
Di sinilah kiranya sangat penting sistem belajar musyawarah digalakkan di pesantren-pesantren modern sebagai program penanggulangan atas penurunan kualitas prestasi dan penguasaan santri terhadap bidang ilmu agama.  

II.          MANFAAT SISTEM BELAJAR MUSYAWARAH
 Setidaknya, terdapat tiga manfaat atau fungsi urgen dari sistem belajar musyawarah yang bersifat dialogis-emansipatoris seperti yang dipaparkan di atas. Yaitu:
Pertama, musyawarah akan memberikan pemahaman yang mendalam, luas, dan maksimal, yang sangat mengesankan dan tidak akan mudah hilang dari ingatan. Hal ini logis. Sebab, disamping sistem musyawarah menuntut untuk benar-benar memahami materi dan berpikir secara keras, musyawarah juga merupakan sistem belajar yang melibatkan banyak pemikiran. Hal-hal yang mungkin tak terpikirkan ketika belajar secara individual, bisa jadi akan mengalir begitu saja dari pikiran orang lain. Demikian juga permasalahan yang mungkin tidak bisa atau sulit dipecahkan secara personal, akan sangat terbantu apabila dikaji dan dibahas secara kolektif. Dalam sebuah kalam hikmah dikatakan:

“Separuh akalmu terdapat pada saudaramu. Maka bermusyawarahlah agar engkau memiliki akal yang utuh dan sempurna”.

Kedua, musyawarah akan mengasah ketajaman inteligensi dan daya analitis, yang pada gilirannya akan mampu membentuk karakter dan nalar keilmuan yang kritis, kreatif dan profesional. Fungsi penting seperti ini akan sulit didapati, apabila diupayakan hanya melalui proses belajar-mengajar di dalam kelas, atau hanya melalui kegiatan sorogan dan ngaji bandongon atau weton. Pengajaran di dalam kelas lebih bersifat tutorial, yakni mentransver makna gandul, menghapal, dan keterangan alakadarnya. Sistem demikian jelas terlalu sederhana dan kurang maksimal untuk memberdayakan potensi dan prestasi santri. Demikian juga dalam sistem sorogan, ngaji bandongan atau weton. Betapapun dalam tataran tertentu dipercaya penting, namun sistem-sistem pengajaran demikian bersifat monologis, yang tidak cukup efektif untuk memungkinkan membangun daya analitis santri yang tajam, kritis, dan membentuk karakter intelektualitasnya yang matang dan mapan. Ketajaman analisis, kematangan pemikiran, dan kemapanan keilmuan, hanya akan efektif apabila dibangun dan diberdayakan melalui pergulatan panjang (istiqamah) dalam sistem belajar musyawarah yang dialogis-emansipatoris. Yakni sistem belajar berupa aktivitas olah inteligensi: dialog, diskusi, berdebat, dan berpolemik secara kompetitif dan sportif, dengan basis ilmiah.
Ketiga, musyawarah akan melatih seseorang memiliki kecakapan dalam retorika berbicara. Intensitas berpikir, berpendapat, berdebat dan berpolemik secara argumentatif dalam forum-forum musyawarah, pada gilirannya akan menjadikan seseorang memiliki kepiawian retorika menyampaikan statemen, ide, gagasan, wacana atau pandangannya secara tertata, teratur, lugas dan mudah dipahami. Keberhasilan seperti ini sangat besar sekali manfaatnya, karena akan dapat menghapus kesan atau stigma buruk selama ini bahwa, santri itu tidak memiliki kepiawian berbicara dan beretorika yang baik meskipun sebenarnya kaya akan referensi dan dalil. Kesan ini berbanding terbalik dengan kepiawian mahasiswa yang relatif vokal dan komunikatif kendati sebenarnya miskin rujukan dalil. Dalam bahasa Jawa kerap disindir: “santri iku kakean dalil gak biso ngomong, mahasiswa iku kakean ngomong ora biso ndalil”. Dengan istiqamah dan intensif belajar lewat sistem musyawarah, santri tentu sangat potensial untuk bisa tampil menjadi sosok yang ideal, yaitu sosok yang kaya dalil sekaligus cakap berbicara.

III.       PRA-SYARAT KONDUSIFITAS MUSYAWARAH
Suasana musyawarah akan bisa hidup dan kondusif, apabila didukung beberapa hal berikut ini.

1.         Kesiapan Mengangkat Permasalahan Penting
Musyawarah adalah aktivitas diskusi untuk mencari pemahaman terbaik dari permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam materi pelajaran. Suasana musyawarah akan dingin, vakum, dan tidak kondusif apabila peserta musyawarah tidak memiliki kesiapan mengangkat permasalahan-permasalahan penting dari materi untuk didiskusikan. Karenanya, setiap peserta sebelum musyawarah dituntut terlebih dulu mempersiapkan pertanyaan atau permasalahan yang layak diangkat untuk didiskusikan. Kesiapan mengangkat permasalahan penting seperti ini memiliki dua keuntungan, yaitu:
  1. Menghindarkan kefakuman suasana musyawarah karena kekurangan topik pembahasan.
  2. Menghindarkan jalannya musyawarah terjebak pada pembahasan masalah-masalah yang kurang penting didiskusikan.

2.         Kesiapan Merespon Permasalahan
Keberhasilan mengangkat permasalahan penting belum cukup untuk menjamin suasana musyawarah hidup dan kondusif, apabila tidak didukung dengan kesiapan peserta dalam merespon permasalahan yang diangkat. Permasalahan yang sangat bagus akan hilang begitu saja, jika peserta tidak siap merespon dengan memberikan jawaban atau tanggapannya. Untuk menjadi peserta yang senantiasa siap merespon setiap permasalahan yang diangkat, minimal harus sudah memahami materi dasar sebelum musyawarah. Dan akan lebih maksimal apabila sebelumnya menyiapkan diri dengan mengembangkan pemahaman dari kitab-kitab syarah. Dengan begitu, kedatangannya di forum musyawarah benar-benar untuk berdiskusi, dan bukan sekedar untuk memahami materi dasar.

3.         Agresifitas Peserta
Agresifitas peserta musyawarah dalam merespon masalah yang didiskusikan sangat menentukan suasana musyawarah yang hidup dan bergairah. Tanpa ada unsur agresifitas ini, forum musyawarah hanya akan menjadi pertemuan yang vakum, pasif, dingin, dan membosankan. Ada beberapa tips untuk merangsang dan menumbuhkan agresifitas peserta dalam bermusyawarah.

a.         Cita-cita Luhur (Ambisius)
Tinggi-rendahnya cita-cita atau obsesi seseorang, sangat mempengaruhi gigih tidaknya usaha atau perjuangan yang dilakukannya. Seorang yang bekerja dengan obsesi atau cita-cita bisa membeli mobil, tentu akan berusaha keras jauh lebih gigih dibanding seorang yang bekerja hanya dengan obsesi bisa membeli sepeda motor. Begitulah, seorang yang memiliki cita-cita luhur dalam menuntut ilmu, pasti akan bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berjuang meraihnya. Semua kesempatan dan media yang menunjang kesuksesan cita-citanya, seperti musyawarah, akan senantiasa ia jalani dengan sepenuh hati. Ilmu tidak akan berhasil dikuasai kecuali dengan himmah sepenuh hati. Dalam Ihya’ Ulumiddien Imam Alghazali mengatakan:

الْعِلْمُ لَا يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
“Ilmu tidak sudi memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga kamu bersedia mempersebahkan dirimu untuk ilmu sepenuhnya.”

Hal ini akan berbeda dengan seorang yang memiliki cita-cita rendah. Musyawarah yang sangat menunjang kesuksesannya, akan dipandang sebelah mata, dilakukan dengan setengah hati dan bahkan disia-siakan begitu saja. Musyawarah yang sangat besar manfaatnya, akan ia ikuti bukan sebagai ‘kebutuhan’ (media) meraih cita-cita, melainkan sekedar untuk menggugurkan ‘kewajiban’ dan menghindari hukuman ta’zir. Lumrah saja jika yang menjadi prinsip musyawarah orang seperti ini adalah prinsip 3D, yakni Datang-Duduk-Diam.
Cita-cita luhur (ambisius) peserta musyawarah akan mendorong sikap agresif dalam bermusyawarah. Orang yang memiliki cita-cita luhur sangat dicintai oleh Allah swt. Nabi saw. bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الأُمُورِ وأَشْرَافَهَا وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَ
Sesungguhnya Allah mencintai perkara-perkara yang luhur dan mulia, dan membenci perkara-perkara yang rendah. (HR. Aththabrani)

b.        Memiliki TO (Target Operasi)
Agar peserta musyawarah agresif berdialog, setiap peserta harus memiliki TO jelas yang ingin didapatkan (istifâdah) dari forum musyawarah. Target ini bersifat kondisional sesuai tingkat kemampuan peserta. Misalnya, dalam forum musyawarah harus berbicara dengan target: sekedar bisa bertanya, berpendapat, atau dengan target harus bisa menjawab segala kemungkinan isykâl yang mengemuka dalam forum, atau bahkan dengan target sanggup berdebat secara argumentatif.
Dengan TO yang jelas seperti ini, setiap peserta akan termotivasi untuk berbicara, baik sekedar bertanya, berpendapat, menjawab atau bahkan berdebat, sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya masing-masing, sehingga tercipta suasana musyawarah yang agresif dan hidup.

c.         Semangat Bersaing (Kompetitif)
Forum diskusi atau musyawarah seharusnya dipahami sebagai kawah candradimuka yang menjadi tempat menempa pemikiran untuk membentuk karakter intelektualitasnya. Atau, dipahami sebagai medan pergulatan pemikiran, yang akan mematangkan kualitas keilmuannya.
Dengan pemahaman demikian, maka akan memicu terjadinya semangat kompetisi dan persaingan sportif dalam forum musyawarah, berlomba-lomba untuk tampil menjadi yang terbaik sebagai sang maestro. Allah swt. berfirman:

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS. Alma'idah: 48)

d.         Bermental Baja (Apatis)
Bagi aktifis musyawarah tingkat pemula, mental baja atau sikap apatis, cuek-bebek, atau tidak peduli, merupakan sikap positif untuk membangun keberanian dan mengusir jauh-jauh rasa minder, malu, grogi atau demam forum, yang kerap menghantui perasaan dan mengacaukan pikiran ketika dialog interaktif atau berdebat adu argument di tengah forum. Karenanya, tak perlu menuruti perasaan-perasan malu, grogi, tidak PD, dan perasaan-perasaan minder lainnya. Seorang aktivis musyawarah pemula harus berpikir, lebih baik malu sekarang dari pada kelak menjadi orang yang memalukan.

e.         Punya Selera Berbeda (Kontroversial)
Kiat lain untuk merangsang sikap agresif dalam berdiskusi ialah, punya selera berbeda, atau berani berpendapat kontroversial dan menentang pendapat sekuat apapun. Selera seperti ini akan dapat membantu menumbuhkan sikap kritis dan ketajaman penalaran.
Sikap kontroversial demikian dimaksudkan untuk melatih berpolemik secara kritis, argumentatif, dan yang lebih penting adalah, untuk menguji kekuatan kebenaran suatu pendapat agar benar-benar meyakinkan. Sebab, kebenaran akan semakin jelas dan kuat ketika tak terbantahkan oleh segala kritik dan kontroversi yang menentangnya.

f.          Tak Kenal Kompromi
Sikap tak kenal kompromi juga akan membangkitkan agresifitas berdiskusi. Sebab sikap demikian akan memotifasi seseorang mempertahankan pendapatnya mati-matian. Sebagai seorang aktifis musyawarah sejati (bertanggung jawab), sepanjang pendapatnya masih ia yakini sebagai kebenaran, maka pantang baginya untuk menyerah begitu saja tanpa memberikan pembelaan untuk mempertahankan pendapatnya. Kebenaran harus dibela meski apapun resiko dan taruhannya. Rasulullah saw. bersabda:

قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا
Katakanlah kebenaran itu, meskipun terasa pahit. (HR. Ibn Hibban)

IV.        KRITERIA IDEAL RA’IS, MODERATOR, DAN PESERTA
 Dalam sebuah forum musyawarah, akan melibatkan aksi tiga pihak, yakni ra’is, moderator, dan peserta. Untuk menciptakan musyawarah yang berkualitas, ketiganya harus memiliki kriteria edial sebagai berikut.

1.     Ra’is
Sebagai figur yang telah dipercaya untuk tampil mempresentasikan materi musyawarah, seorang ra’is harus memiliki sikap bertanggung jawab untuk menjaga kepercayaan tersebut. Adalah sangat tidak bertanggung jawab jika seorang ra’is tidak memiliki kesiapan yang lebih maksimal dibanding peserta musyawarah lain. Sikap tanggung jawab seorang ra’is ini bisa diwujudkan dalam bentuk:
a.     Persiapan matang dengan memahami materi secara detail dan menyeluruh;
b.     Benar-benar siap untuk menyampaikan atau mempresentasikan materi musyawarah;
c.  Mengerti poin-poin penting materi musyawarah yang perlu digarisbawahi saat presentasi;
d.  Sanggup menyampaikan materi dengan bahasa yang lugas, menarik dan mudah dimengerti peserta musyawarah;
e.   Mampu memberikan keterangan-keterangan suplementer (tambahan) yang berkaitan dengan materi; dan
f.     Mampu membuat kesimpulan sederhana dari seluruh materi.

Apabila tanggung jawab ini berhasil dipenuhi dengan baik oleh seorang ra’is, maka penampilannya akan menarik dan mampu memikat peserta musyawarah, sehingga konsentrasi dan perhatian seluruh peserta akan dengan sendirinya terpusat pada apa yang disampaikannya.

2.     Moderator
Figur moderator memiliki peran sangat penting dalam musyawarah. Dialah nahkoda diskusi yang akan mengendalikan arah perdebatan untuk bisa dilabuhkan di dermaga kesimpulan akhir. Nahkoda yang profesional harus bisa memilih mana arah yang tepat untuk diarunginya, dan mampu mengarahkan bahtera menuju dermaga dengan mulus. Hal ini akan berbeda dengan nahkoda yang tidak profesional. Ia akan terombang-ambing oleh ombak dan gelombang hingga kahilangan arah.
Demikianlah, seorang moderator harus memiliki kepiawian dalam memimpin jalannya diskusi. Ia harus mampu memahami arah perdebatan dan bisa mengendalikan jalannya diskusi secara teratur dan sistematis serta bisa memainkan season i’tiradl (sanggahan) dan i’tidladl (dukungan) secara dramatis, sehingga alur diskusi benar-benar berjalan secara dinamis dan tidak kacau. Untuk itu, idealnya seorang moderator harus memiliki kriteria berikut:
a.     Responsif
Agar musyawarah bisa berkualitas, moderator harus mampu menangkap dan respek atau tanggap dengan segala kemungkinan pendapat, argumentasi, ide dan pemikiran peserta. Untuk itu, seorang moderator dituntut memiliki pemahaman yang baik terhadap materi dan pokok pembahasan yang didiskusikan.
b.     Moderat
Seorang moderator harus bisa bersikap moderat dan netral terhadap seluruh peserta musyawarah, sehingga ia benar-benar bisa tampil sebagai mediator yang mendialogkan antar pendapat peserta secara adil dan profesional.
c.     Selektif
Moderator harus dapat memilah secara selektif mana pendapat peserta yang relevan untuk didialogkan dan mana pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan pokok pembahasan, dan harus segera dikotak. Di sini dibutuhkan sikap tegas dan bijaksana dari seorang moderator agar diskusi berjalan dinamis dan tidak terjebak dalam hal-hal yang tidak penting (i’râdl an almaqshûd).
d.     Obyektif
Dalam memutuskan mana pendapat yang harus didialogkan dan mana yang harus dikotak, moderator harus obyektif. Demikian juga dalam mengambil kesimpulan. Dalam arti, keputusan dan kesimpulan harus didasarkan pada substansi pendapat peserta, bukan berdasarkan subyektifitas moderator.    
e.     Komunikatif
Antara pendapat yang pro dan yang kontra, harus bisa dipilah oleh moderator untuk selanjutnya didialogkan. Di sini dibutuhkan seorang moderator yang komunikatif. Artinya, memiliki kemampuan untuk mendramatisir musyawarah agar terjadi dialog antar peserta yang pro dengan peserta yang kontra secara sistematis dan dinamis. Dalam hal ini, moderator perlu mengatur alur musyawarah menjadi dua seson, yakni seson i’tirâdl dan seson i’tidlâdl.
Seson i’tirâdl ialah seson mepersilakan peserta yang tidak setuju terhadap suatu pendapat, agar memberikan sanggahan, bantahan, atau kritikan secara argumentatif. Ketika semua sanggahan, bantahan, dan kritik dirasa sudah cukup kuat, maka saatnya memasuki seson i’tidlâdl. Yaitu seson mencari dukungan argumen untuk menguatkan pendapat yang dibantah dan dikritik. Begitu seterusnya sampai bisa diketahui mana pendapat yang kuat (benar) dan mana pendapat yang lemah (salah).    
f.      Representatif
Di akhir musyawarah, moderator harus bisa menarik kesimpulan secara benar dan utuh yang bisa merepresentasikan seluruh hasil diskusi dan perdebatan, sehingga pendapat dan pemikiran-pemikiran segar yang mencuat dalam forum tidak terabaikan dengan sia-sia.

3.     Peserta Musyawarah
Sebuah musyawarah bisa dinilai hidup, berkualitas dan produktif, apabila antar peserta terjadi diskusi, dialog, dan adu pendapat secara argumentatif. Karena itu, antar peserta musyawarah harus memiliki semangat bersaing satu dengan lainnya secara sportif. Untuk menumbuhkan semangat persaingan dalam forum musyawarah, bisa disiasati dengan cara:
a.      Membagi peserta musyawarah dalam beberapa kelompok;
b.     Mempertarungkan antar kelompok dalam perdebatan dan adu argument;
c.      Setiap kelompok harus menyiapkan pertanyaan;
d.     Setiap kelompok harus menyiapkan jawaban;
e.   Setiap anggota kelompok harus kompak dan bahu-membahu atau gotong royong membela pendapat kelompoknya masing-masing;
f.  Setiap anggota kelompok harus menjaga solideritas, sentimental dan martabat kelompoknya masing-masing.

Demikianlah beberapa kriteria ideal yang penting dimiliki oleh tiga komponen yang terlibat dalam forum musyawarah. Beberapa kriteria di atas akan sangat mendukung untuk membangun musyawarah menjadi media belajar yang sangat menyenangkan, media diskusi yang bergensi, dan media yang prospektif untuk meraih prestasi. Namun, yang paling esensial untuk memungkinkan peserta dapat berdiskusi secara argumentatif dan berkualitas, tidak lain adalah persiapan maksimal sebelum musyawarah. Dan persiapan ini bisa dilakukan dengan cara:
  1. Memahami materi dasar yang hendak dimusyawarahkan;
  2. Mencari keterangan-keterangan tambahan dari sumber-sumber referensial yang lebih luas (kitab-kitab sarah);
  3. Mengantisipasi poin-poin yang berpotensi diperdebatkan, dengan mempersiapkan jawaban dan argumentasinya;
  4. Menyiapkan isykâl-isykâl yang berbobot untuk diangkat dalam musyawarah. Dan;
  5. Bersedia menindaklanjuti masalah yang mauqûf dalam forum untuk dicarikan pemecahannya, baik dengan mencari referensi atau bertanya kepada pihak yang lebih senior.
V.        PENUTUP
 Aktivitas musyawarah atau belajar dengan sistem diskusi, merupakan metode belajar yang penuh tantangan, dan menuntut militansi serta kreatifitas tinggi. Hanya orang-orang yang memiliki nyali, selera tinggi dan keinginan besar menjadi orang maju yang dapat merasakan musyawarah sebagai aktivitas menarik dan menyenangkan. Orang-orang seperti inilah yang memiliki kesempatan besar bisa sukses dalam thalabul ilmi. Dan hampir bisa dipastikan, orang-orang sukses dalam bidang keilmuan, memiliki track record sebagai aktifis musyawarah. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila dikatakan: JIKA INGIN SUKSES DALAM THALABUL ILMI, KUNCINYA ADALAH: MENJADI AKTIVIS MUSYAWARAH YANG ISTIQAMAH.
Meraih kesuksesan prestasi keilmuan melalui forum musyawarah, kecerdasan inteligensi bukanlah faktor utama, melainkan faktor istiqamahnya. Kedewasaan pemikiran, kematangan keilmuan, dan terbentuknya karakter intelektualitas seseorang, tidak bisa hanya mengandalkan kecerdassan otak semata, atau hanya diusahakan melaui cara-cara instan. Tetapi, harus melalui proses pergulatan pemikiran yang panjang dalam forum-forum ilmiah yang bersifat dialogis. Sudah tak terhitung buktinya, orang-orang yang tingkat inteligensinya biasa namun memiliki prestasi keilmuan yang jauh lebih gemilang dari orang yang cerdas namun tidak istiqamah bermusyawarah. Maka benarlah sabda Nabi saw.:

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ
Tidak akan rugi orang yang istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang musyawarah. (HR. Aththabrani)

Demikianlah makalah yang bisa penulis persembahkan. Semoga bisa menginisiasi dan menginspirasi para pelajar untuk membudayakan diskusi, memberdayakan potensi, dan meraih prestasi melalui ikhtiar aktif dan istiqamah bermusyawarah. Amien. KD




___________________
Disampaikan Oleh:
Daimullah Goeztav, dalam Diklat Sistem Musyawarah di Pon. Pes. Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang, Jawa Timur, tanggal 05 November 2011.

Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet