Oktober 05, 2014

MEMBANGUN GENERASI PERCAYA DIRI MELALUI FILOSOFI SANTRI


Pesantren adalah institusi pendidikan Islam khas Nusantara yang sulit dijumpai padanannya di manca negara. Pesantren lahir dari rahim peradaban Nusantara yang dibidani oleh model dakwah Walisongo yang elegan dan permisif. Dakwah Islamisasi yang dilakukan Walisongo menempuh pendekatan pribumisasi, bukan Arabisasi. Pendekatan pribumisasi Islam mensyaratkan kearifan terhadap nilai-nilai luhur budaya lokal, untuk selanjutnya mengawinkan secara harmonis dengan nilai-nilai Islam melalui proses asimilasi maupun akulturasi. Kearifan terhadap tradisi dan budaya lokal inilah yang membentuk wajah Islam Indonesia hingga memiliki identitasnya sendiri, yang tidak lagi khas Arab. Dan, pesantren merupakan warisan sekaligus simbol supremasi dakwah pribumisasi Islam di Nusantara oleh Walisogo.

Pada awalnya, pesantren didisain dengan khittah sebagai sentral pendidikan Islam yang integral (kâffah), yang concern terhadap bidang agama dan non agama. Penilaian ini tidak semata didasarkan pada idealisme ajaran Islam itu sendiri yang dipercaya kâffah, melainkan juga bisa dilihat dari fakta historis peran pesantren di era Walisongo dan era kerajaan Islam. Di era-era tersebut, pesantren tidak hanya concern di bidang ilmu agama, melainkan juga menjadi sentral dinamika sosial. Pesantren menjadi pusat pergerakan sosial, pendidikan, politik, perdagangan, pertanian, seni, budaya, dll. Bahkan di era kolonial dan era perang kemerdekaan, pesantren menjadi medan heroisme perlawanan rakyat mengusir penjajah.
Namun pasca kemerdekaan, sejak pemerintah mengambil kebijakan nasionalisasi lembaga pendidikan warisan kolonial (sekolah umum) sebagai institusi pendidikan formal, posisi sentralitas pesantren perlahan mulai tergeser dan terpinggirkan menjadi institusi informal.
Realitas terpinggirnya pesantren dalam percaturan dunia pendidikan nasional yang berlarut-larut sejak Orla, Orba, hingga era reformasi, menyeret pesantren pada posisi oposan yang berhadap-hadapan (vis a vis) dengan lembaga pendidikan formal yang dibacking pemerintah. Jika lembaga pendidikan formal concern terhadap pendidikan yang berorientasi skill, keterampilan, dan profesionalisme kerja (ilmu umum), maka pesantren memilih concern terhadap pendidikan yang berbasis agama (moral). Tak ayal, pesantren pun bergeser dari khittahnya yang mengusung misi pendidikan integral (kâffah), dan menegaskan identitas barunya sebagai lembaga tafaqquh fî ad-dîn dalam pengertian yang sempit. 
Jika menilik sejarah awalnya, pilihan pesantren ini agaknya bukan pilihan ideal yang benar-benar diinginkan, melainkan sebuah pilihan sejarah yang terpaksa. Sebab, disamping telah bergeser dari khittahnya, pilihan ini juga tidak terlepas dari pengaruh politik nasional pasca era kemerdekaan yang cenderung menganaktirikan pesantren. Di tengah kebijakan politik nasional yang kurang bersahabat, pesantren tidak punya pilihan selain mempertahankan eksistensinya meskipun hanya dengan memainkan peran minimalis, yakni mengisi kekosongan bidang agama (moral) yang diabaikan dalam lembaga pendidikan formal.
Pilihan ini memang tidak salah, sebab urusan agama dan moral merupakan aspek yang sangat fundamental. Namun masalahnya adalah, ketika pesantren terus mengambil posisi oposan terhadap pendidikan formal, dalam pengertian pesantren hanya concern dalam bidang agama dan tidak ambil bagian dalam bidang-bidang umum, maka publik akan memberi stigma pesantren sebagai lembaga pendidikan yang abai dalam mencetak generasi yang siap menantang realitas zaman yang keras dan kompetitif.
Faktor inilah yang paling membuat pesantren tidak manarik bagi kebanyakan masyarakat modern yang rasional. Masyarakat modern yang rasional, akan dihantui spekulasi masa depan yang menakutkan ketika memilih lembaga pendidikan yang hanya concern dalam bidang agama, pesantren. Maka lumrah, jika dalam perjalanan selanjutnya, pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif. Alternatif dalam konotasi yang negatif, yakni pesantren hanya menjadi pilihan bagi siswa-siswa yang mengalami masalah dengan lembaga pendidikan formal, baik masalah moral, masalah finansial, maupun masalah prestasi.
Ketakutan-ketakutan yang melanda masyarakat modern demikian, jika jujur, sebenarnya juga terbersit dan dirasakan oleh banyak santri pesantren sendiri. Tidak sedikit santri yang kehilangan rasa percaya diri dan minder ketika dihadapkan dengan prestasi-prestasi konkret dari siswa-siswa lembaga pendidikan formal di bidang sains, teknologi, managemen, dll. Betapapun percaya sebagai manusia religius, santri tetap saja merasa terbelakang dan terasing dengan zamannya dibanding siswa-siswa lembaga pendidikan formal. Banyak santri juga dilanda kegalauan serius tentang masa depan yang tidak jelas. Sebab santri sadar jika ilmu agama saja tidak akan cukup untuk menantang masa depan, lebih-lebih di era yang serba formalitas. Bahkan tidak sedikit, beberapa pemangku pesantren sendiri yang seperti kapok dan krisis kepercayaan terhadap relevansi pendidikan pesantren, sehingga putera-puterinya tidak lagi dipesantrenkan.
Untuk memberikan solusi atas krisis percaya diri dan kegalauan-kegalauan yang melanda santri demikian, dibutuhkan kearifan dan obyektivitas dalam melihat realitas ini. Solusi berupa doktrin-doktrin yang merefleksikan sikap-sikap eksklusif, tentu tidak akan memuaskan dan meyakinkan. Sebab, secara psikologis, rasa minder atau tidak percaya diri muncul akibat kesadaran akan kelemahan dan kekurangan dalam diri sendiri. Mau tidak mau, diperlukan reorientasi terhadap jatidiri santri yang sesungguhnya, sehingga santri “tahu diri”, apakah dirinya benar-benar pantas menjadi manusia minder, atau sebaliknya, ternyata santri tak senaif seperti yang mereka sadari selama ini. Di sinilah kiranya sangat penting untuk mengetahui dan menghayati filosofi santri.
Filosofi santri adalah pandangan hidup tentang seluruh sistem kepercayaan dan keyakinan santri. Jika dilihat sejarah, doktrin, ajaran, dan kepercayaan santri, maka setidaknya ada tiga filosofi santri yang paling mendasar. Pertama, santri adalah manusia lahir-batin; kedua, santri adalah manusia sejarah; dan ketiga, santri adalah manusia dunia-akhirat.

1.   Santri adalah Manusia Lahir-Batin
Santri disebut manusia lahir-batin karena santri percaya bahwa manusia terdiri dari dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir manusia adalah aspek-aspek kehidupannya yang bersifat inderawi, kasat mata, dan logis, seperti intelektual, skill, keterampilan, etos kerja (ikhtiar), prestasi, dll. Sedangkan dimensi batin adalah, hal-hal yang tidak kasat mata atau sama sekali gaib, seperti moralitas dan spiritualitas.
Filosofi seperti ini, tidak mengizinkan santri memandang sebelah mata terhadap aspek-aspek lahiriah,  sebagaimana santri tidak boleh mengabaikan aspek-aspek batiniah. Santri dituntut menjadi manusia ideal secara lahir dan batin: secara intelektual dan moral-spiritual; secara etos kerja (ikhtiyâr) dan kepasrahan (tawakkal).
Filosofi seperti inilah yang kemudian menelurkan khittah sistem pendidikan pesantren berorientasi pada dua demensi manusia. Yaitu sistem tarbiyyah yang berorientasi pada aspek batin manusia: moral-spiritual, dan sistem ta’lîm yang berorientasi pada aspek lahir manusia: skill dan intelektualitas. Khittah sistem pendidikan pesantren yang concern terhadap aspek lahir dan aspek batin seperti ini, tentu sangat ideal menjadi pilihan, di saat lembaga-lembaga pendidikan formal hanya concern terhadap aspek lahir manusia belaka. Sayangnya, sejauh ini, belum banyak pesantren yang benar-benar serius merealisasikan idealisme sistem ini, sehingga ketimpangan masih kita saksikan di mana-mana: betapa banyak orang pintar namun jahat dan membodohi umat, orang kaya namun justru memeras rakyat jelata, dan orang berkuasa namun justru berlaku aniaya. Sebaliknya, betapa banyak orang berhati baik, shalih, bertaqwa, namun tidak kaya, tidak berkuasa, tidak cerdas, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa yang berarti bagi peradaban.
Peradaban madani membutuhkan manusia-manusia dengan integritas keilmuan lahir-batin: saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir yang ahli dzikir, filsuf yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang beriman, budayawan yang budiman, artis yang agamis, hartawan yang zuhud dan dermawan. Semua ini, sejalan dengan filosofi santri dan khittah sistem pendidikan pesantren. Hanya santri yang bisa melakukan!

2.   Santri adalah Manusia Sejarah
Santri disebut manusia sejarah karena santri percaya bahwa penciptaan manusia untuk menjalankan misi keTuhanan di muka bumi (khalîfah).

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً (البقرة : 30)
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah: 30)
 Sebagai ‘khalifah’ di bumi, manusia diharuskan membangun kemakmuran peradaban bumi dan tidak berbuat kerusakan dalam sejarahnya. Kepercayaan ini mengharuskan santri memiliki pandangan hidup bahwa, santri harus menguasai dan memimpin sejarah peradaban manusia. Sebab tanpa penguasaan dan kepemimpinan, tugas ‘kekhalifahan’ tidak akan berjalan.
Filosofi ini tidak mengizinkan santri menjadi manusia masa lalu (kuno), yang terasing dengan zamannya, dan tidak memiliki prestasi untuk warisan masa depan. Filosofi ini menuntut santri menjadi manusia yang memiliki kearifan terhadap tradisi dan masa lalu, namun tidak terasing dengan zamannya sendiri. Manusia dengan tipikal seperti inilah, yang akan mampu menjadi jembatan transvormatif antar zaman (khalifah). Santri harus mewarisi khazanah masa klasik, dan mampu bersaing di masa kini (modern) secara kompetitif, dan memiliki prestasi sejarah yang bisa diwariskan untuk masa depan.
Inilah yang disebut manusia sejarah, atau putra zaman. Sebuah filosofi yang menegaskan bahwa santri bukanlah manusia yang hanya pintar membanggakan masa lalu, namun terasing dan tak berdaya menghadapi zamannya sendiri. Sebuah kalam syair mengatakan:

لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَذَا أَبِي     *     وَلَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَأَنَا ذَا
Generasi muda bukanlah mereka yang hanya bisa membanggakan leluhurnya (masa lalu), tetapi generasi muda adalah mereka yang sanggup membuktikan prestasi dirinya sendiri (modern).
Filosofi ini pula yang menjadi dasar maqâlah populer yang kerap dikumandangkan di pesantren, namun masih terkesan malu-malu merealisasikan secara konkret. Yaitu:
 المُحَفَظَةُ عَلى الْقَدِيمِ الصَّالِح وَالأَخْذُ بِالجَدِيدِ الأَصْلَح
Melestarikan warisasn nilai-nilai tradisional yang baik, dan mengadopsi nilai-nilai modernitas yang lebih baik.
                      
3.   Santri adalah Manusia Dunia-Akhirat
Santri disebut sebagai manusia dunia-akhirat karena santri percaya bahwa dunia adalah ladang surga (mazra’ah al-‘âkhirah). Artinya, kehidupan dunia harus di-hasanah-kan agar gemerlap kemegahan duniawi tidak menjadi fitnah bagi manusia, melainkan menjadi sarana dan fasilitas untuk menggapai keselamatan dan keberuntungan ukhrawi.
Filosofi demikian akan menuntut santri memiliki obsesi kesuksesan duniawi (fî ad-dunyâ hasanah) sekaligus kesuksesan ukhrawi (fî al-‘âkhirah hasanah). Filosofi demikian tidak mengizinkan santri hanya menjadi manusia ndunyo bloko ataupun akherot bloko. Karena filosofi itulah, doa Sapu Jagad sangat populer di lingkungan santri:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Tuhan, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungi kami dari siksa neraka.

Dengan mengetahui filosofi santri ini, diharapkan santri memahami khittah dan jatidiri santri yang sesungguhnya, sehingga muncul inspirasi-inspirasi untuk merevolusi diri menjadi generasi pesantren yang memiliki rasa percaya diri, obsesi, dan prestasi masa depan yang cemerlang. Amien. | KD





___________
Disampaikan:
Oleh: Ust. Mudaimullah Azza, dalam seminar: Membangun Keunggulan Di Tengah Keterbatasan, di Jam’iyyah Al-Khidmah, Pon. Pes. Lirboyo Kota Kediri, pada tanggal 14 November 2013.


Bagikan Tulisan Ini



Label:

 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet