Pesantren adalah institusi pendidikan Islam khas Nusantara yang sulit
dijumpai padanannya di manca negara. Pesantren lahir dari rahim peradaban Nusantara
yang dibidani oleh model dakwah Walisongo yang elegan dan permisif. Dakwah Islamisasi
yang dilakukan Walisongo menempuh pendekatan pribumisasi, bukan Arabisasi. Pendekatan
pribumisasi Islam mensyaratkan kearifan terhadap nilai-nilai luhur budaya lokal,
untuk selanjutnya mengawinkan secara harmonis dengan nilai-nilai Islam melalui proses
asimilasi maupun akulturasi. Kearifan terhadap tradisi dan budaya lokal inilah
yang membentuk wajah Islam Indonesia hingga memiliki identitasnya sendiri, yang
tidak lagi khas Arab. Dan, pesantren merupakan warisan sekaligus simbol
supremasi dakwah pribumisasi Islam di Nusantara oleh Walisogo.
Pada awalnya, pesantren didisain dengan khittah sebagai sentral
pendidikan Islam yang integral (kâffah), yang concern terhadap bidang
agama dan non agama. Penilaian ini tidak semata didasarkan pada idealisme ajaran
Islam itu sendiri yang dipercaya kâffah, melainkan juga bisa dilihat dari
fakta historis peran pesantren di era Walisongo dan era kerajaan Islam. Di era-era
tersebut, pesantren tidak hanya concern di bidang ilmu agama, melainkan juga
menjadi sentral dinamika sosial. Pesantren menjadi pusat pergerakan sosial, pendidikan,
politik, perdagangan, pertanian, seni, budaya, dll. Bahkan di era kolonial dan
era perang kemerdekaan, pesantren menjadi medan heroisme perlawanan rakyat
mengusir penjajah.
Namun pasca kemerdekaan, sejak pemerintah mengambil kebijakan nasionalisasi
lembaga pendidikan warisan kolonial (sekolah umum) sebagai institusi pendidikan
formal, posisi sentralitas pesantren perlahan mulai tergeser dan terpinggirkan menjadi
institusi informal.
Realitas terpinggirnya pesantren dalam percaturan dunia pendidikan
nasional yang berlarut-larut sejak Orla, Orba, hingga era reformasi, menyeret
pesantren pada posisi oposan yang berhadap-hadapan (vis a vis) dengan
lembaga pendidikan formal yang dibacking pemerintah. Jika lembaga pendidikan
formal concern terhadap pendidikan yang berorientasi skill,
keterampilan, dan profesionalisme kerja (ilmu umum), maka pesantren memilih concern
terhadap pendidikan yang berbasis agama (moral). Tak ayal, pesantren pun
bergeser dari khittahnya yang mengusung misi pendidikan integral (kâffah),
dan menegaskan identitas barunya sebagai lembaga tafaqquh fî ad-dîn
dalam pengertian yang sempit.
Jika menilik sejarah awalnya, pilihan pesantren ini agaknya bukan
pilihan ideal yang benar-benar diinginkan, melainkan sebuah pilihan sejarah yang
terpaksa. Sebab, disamping telah bergeser dari khittahnya, pilihan ini juga tidak
terlepas dari pengaruh politik nasional pasca era kemerdekaan yang cenderung menganaktirikan
pesantren. Di tengah kebijakan politik nasional yang kurang bersahabat, pesantren
tidak punya pilihan selain mempertahankan eksistensinya meskipun hanya dengan memainkan
peran minimalis, yakni mengisi kekosongan bidang agama (moral) yang diabaikan
dalam lembaga pendidikan formal.
Pilihan ini memang tidak salah, sebab urusan agama dan moral merupakan
aspek yang sangat fundamental. Namun masalahnya adalah, ketika pesantren terus mengambil
posisi oposan terhadap pendidikan formal, dalam pengertian pesantren hanya concern
dalam bidang agama dan tidak ambil bagian dalam bidang-bidang umum, maka publik
akan memberi stigma pesantren sebagai lembaga pendidikan yang abai dalam mencetak
generasi yang siap menantang realitas zaman yang keras dan kompetitif.
Faktor inilah yang paling membuat pesantren tidak manarik bagi
kebanyakan masyarakat modern yang rasional. Masyarakat modern yang rasional, akan
dihantui spekulasi masa depan yang menakutkan ketika memilih lembaga pendidikan
yang hanya concern dalam bidang agama, pesantren. Maka lumrah, jika
dalam perjalanan selanjutnya, pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif.
Alternatif dalam konotasi yang negatif, yakni pesantren hanya menjadi pilihan
bagi siswa-siswa yang mengalami masalah dengan lembaga pendidikan formal, baik
masalah moral, masalah finansial, maupun masalah prestasi.
Ketakutan-ketakutan yang melanda masyarakat modern demikian, jika
jujur, sebenarnya juga terbersit dan dirasakan oleh banyak santri pesantren sendiri.
Tidak sedikit santri yang kehilangan rasa percaya diri dan minder ketika dihadapkan
dengan prestasi-prestasi konkret dari siswa-siswa lembaga pendidikan formal di bidang
sains, teknologi, managemen, dll. Betapapun percaya sebagai manusia religius,
santri tetap saja merasa terbelakang dan terasing dengan zamannya dibanding
siswa-siswa lembaga pendidikan formal. Banyak santri juga dilanda kegalauan serius
tentang masa depan yang tidak jelas. Sebab santri sadar jika ilmu agama saja
tidak akan cukup untuk menantang masa depan, lebih-lebih di era yang serba
formalitas. Bahkan tidak sedikit, beberapa pemangku pesantren sendiri yang
seperti kapok dan krisis kepercayaan terhadap relevansi pendidikan pesantren,
sehingga putera-puterinya tidak lagi dipesantrenkan.
Untuk memberikan solusi atas krisis percaya diri dan
kegalauan-kegalauan yang melanda santri demikian, dibutuhkan kearifan dan obyektivitas
dalam melihat realitas ini. Solusi berupa doktrin-doktrin yang merefleksikan
sikap-sikap eksklusif, tentu tidak akan memuaskan dan meyakinkan. Sebab, secara
psikologis, rasa minder atau tidak percaya diri muncul akibat kesadaran akan
kelemahan dan kekurangan dalam diri sendiri. Mau tidak mau, diperlukan
reorientasi terhadap jatidiri santri yang sesungguhnya, sehingga santri “tahu
diri”, apakah dirinya benar-benar pantas menjadi manusia minder, atau
sebaliknya, ternyata santri tak senaif seperti yang mereka sadari selama ini. Di
sinilah kiranya sangat penting untuk mengetahui dan menghayati filosofi santri.
Filosofi santri adalah pandangan hidup tentang seluruh sistem kepercayaan
dan keyakinan santri. Jika dilihat sejarah, doktrin, ajaran, dan kepercayaan
santri, maka setidaknya ada tiga filosofi santri yang paling mendasar. Pertama,
santri adalah manusia lahir-batin; kedua, santri adalah manusia sejarah;
dan ketiga, santri adalah manusia dunia-akhirat.
1.Santri adalah Manusia Lahir-Batin
Santri disebut manusia lahir-batin karena santri percaya bahwa manusia
terdiri dari dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi lahir dan dimensi batin.
Dimensi lahir manusia adalah aspek-aspek kehidupannya yang bersifat inderawi,
kasat mata, dan logis, seperti intelektual, skill, keterampilan, etos kerja
(ikhtiar), prestasi, dll. Sedangkan dimensi batin adalah, hal-hal yang tidak
kasat mata atau sama sekali gaib, seperti moralitas dan spiritualitas.
Filosofi seperti ini, tidak mengizinkan santri memandang sebelah mata
terhadap aspek-aspek lahiriah,
sebagaimana santri tidak boleh mengabaikan aspek-aspek batiniah. Santri
dituntut menjadi manusia ideal secara lahir dan batin: secara intelektual dan
moral-spiritual; secara etos kerja (ikhtiyâr) dan kepasrahan (tawakkal).
Filosofi seperti inilah yang kemudian menelurkan khittah sistem
pendidikan pesantren berorientasi pada dua demensi manusia. Yaitu sistem tarbiyyah
yang berorientasi pada aspek batin manusia: moral-spiritual, dan sistem ta’lîm
yang berorientasi pada aspek lahir manusia: skill dan intelektualitas. Khittah
sistem pendidikan pesantren yang concern terhadap aspek lahir dan aspek batin
seperti ini, tentu sangat ideal menjadi pilihan, di saat lembaga-lembaga
pendidikan formal hanya concern terhadap aspek lahir manusia belaka.
Sayangnya, sejauh ini, belum banyak pesantren yang benar-benar serius merealisasikan
idealisme sistem ini, sehingga ketimpangan masih kita saksikan di mana-mana: betapa banyak orang pintar namun jahat dan membodohi umat,
orang kaya namun justru memeras rakyat jelata, dan orang berkuasa namun justru berlaku
aniaya. Sebaliknya, betapa banyak orang berhati baik, shalih, bertaqwa, namun
tidak kaya, tidak berkuasa, tidak cerdas, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa yang
berarti bagi peradaban.
Peradaban madani membutuhkan manusia-manusia dengan integritas
keilmuan lahir-batin: saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir
yang ahli dzikir, filsuf yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang
beriman, budayawan yang budiman, artis yang agamis, hartawan yang zuhud dan
dermawan. Semua ini, sejalan dengan filosofi santri dan khittah sistem
pendidikan pesantren. Hanya santri yang bisa melakukan!
2.Santri adalah Manusia Sejarah
Santri disebut manusia sejarah karena santri percaya bahwa penciptaan
manusia untuk menjalankan misi keTuhanan di muka bumi (khalîfah).
Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS.
Albaqarah: 30)
Sebagai ‘khalifah’
di bumi, manusia diharuskan membangun kemakmuran peradaban bumi dan tidak
berbuat kerusakan dalam sejarahnya. Kepercayaan ini mengharuskan santri
memiliki pandangan hidup bahwa, santri harus menguasai dan memimpin sejarah
peradaban manusia. Sebab tanpa penguasaan dan kepemimpinan, tugas
‘kekhalifahan’ tidak akan berjalan.
Filosofi ini tidak mengizinkan santri menjadi manusia masa lalu (kuno),
yang terasing dengan zamannya, dan tidak memiliki prestasi untuk warisan masa
depan. Filosofi ini menuntut santri menjadi manusia yang memiliki kearifan
terhadap tradisi dan masa lalu, namun tidak terasing dengan zamannya sendiri.
Manusia dengan tipikal seperti inilah, yang akan mampu menjadi jembatan
transvormatif antar zaman (khalifah). Santri harus mewarisi khazanah
masa klasik, dan mampu bersaing di masa kini (modern) secara kompetitif, dan memiliki
prestasi sejarah yang bisa diwariskan untuk masa depan.
Inilah yang disebut manusia sejarah, atau putra zaman. Sebuah filosofi
yang menegaskan bahwa santri bukanlah manusia yang hanya pintar membanggakan
masa lalu, namun terasing dan tak berdaya menghadapi zamannya sendiri. Sebuah
kalam syair mengatakan:
Generasi muda bukanlah
mereka yang hanya bisa membanggakan leluhurnya (masa lalu), tetapi generasi
muda adalah mereka yang sanggup membuktikan prestasi dirinya sendiri (modern).
Filosofi ini pula yang menjadi dasar maqâlah
populer yang kerap dikumandangkan di pesantren, namun masih terkesan malu-malu merealisasikan
secara konkret. Yaitu:
Melestarikan
warisasn nilai-nilai tradisional yang baik, dan mengadopsi nilai-nilai
modernitas yang lebih baik.
3.Santri adalah Manusia Dunia-Akhirat
Santri disebut sebagai manusia dunia-akhirat karena santri percaya
bahwa dunia adalah ladang surga (mazra’ah al-‘âkhirah). Artinya,
kehidupan dunia harus di-hasanah-kan agar gemerlap kemegahan duniawi
tidak menjadi fitnah bagi manusia, melainkan menjadi sarana dan fasilitas untuk
menggapai keselamatan dan keberuntungan ukhrawi.
Filosofi demikian akan menuntut santri memiliki obsesi kesuksesan
duniawi (fî ad-dunyâ hasanah) sekaligus kesuksesan ukhrawi (fî
al-‘âkhirah hasanah). Filosofi demikian tidak mengizinkan santri hanya menjadi
manusia ndunyo bloko ataupun akherot bloko. Karena filosofi itulah,
doa Sapu Jagad sangat populer di lingkungan santri:
Tuhan, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungi kami dari siksa
neraka.
Dengan mengetahui filosofi santri ini, diharapkan santri memahami
khittah dan jatidiri santri yang sesungguhnya, sehingga muncul
inspirasi-inspirasi untuk merevolusi diri menjadi generasi pesantren yang memiliki
rasa percaya diri, obsesi, dan prestasi masa depan yang cemerlang. Amien. | KD
___________
Disampaikan:
Oleh: Ust.
Mudaimullah Azza, dalam seminar: Membangun Keunggulan Di Tengah Keterbatasan,
di Jam’iyyah Al-Khidmah, Pon. Pes. Lirboyo Kota Kediri, pada tanggal 14 November
2013.
JASSPRO (Jaringan Santri dan Mahasiswa Progresif) adalah suatu ikatan emosional dan intelektual talenta-talenta putera zaman (Santri dan Mahasiswa) dalam mewujudkan obsesi, mimpi, dan visi-visi masa depan yang humanis, inklusif, dan progresif.
V I S I
Gerak dinamika sejarah terus melesat sporadis, yang tidak memberi ampun menggilas dan melempar generasi yang terasing dengan zamannya. Zaman sebagai kanvas peradaban, terlalu luas untuk sekedar dilukis dengan satu macam warna. Butuh inklusivitas yang harmonis terhadap aneka warna kebenaran (logika) dan kebaikan (etika), untuk mencipta keindahan (estetika) peradaban kemanusiaan yang madani.
Pesantren dan kampus, dua basis pendidikan intelektualdan moral-spiritual bangsa Indonesia, betapa dewasa ini terjebak dalam lingkaran dekotomis. Pesantren menjadi kian terukhrawikan, dan sebaliknya kampus menjadi sangat terduniawikan. Pesantren cenderung eksklusif, bahkan skeptis dan melarikan diri dari kenyataan modernitas yang seharusnya ia berada di garda terdepan memimpinnya. Sementara kampus, mengalami gejala leberalisasi intelektual yang membawanya kering spiritualitas.
Dalam konteks demikian, santri dan mahasiswa, sebagai representasi generasi terdidik, sangat perlu merapatkan barisan untuk membangun suatu keakraban intelektual dan emosional, agar termungkinkan mendialogkan kekayaan khazanah kepesantrenan dan nilai-nilai akademik dunia kampus secara harmonis dan progresif, sehingga tercipta aras pemikiran generasi-generasi yang ideal, integral, dan holistik.
M I S I
Mobilisasi progresivitas talenta-talenta putra zaman (Santri dan Mahasiswa) menjadi generasi-generasi ilmuwan (profesional), budiman (bermoral), dan seniman (visioner), yang secara massif akan bergerak menjadi agen-agen perubahan positif dalam mewarnai sejarah peradaban kemanusiaan seindah MEJIKUHIBINIU.
G E R A K A N
JASSPRO akan bergerak di tiga bidang penting: keIslaman, kemanusiaan dan keIndonesiaan. Ketiganya akan direalkan dalam bentuk gerakan pendidikan, pemikiran, sosial, dan ekonomi.