Maret 17, 2014

TEMA DEBAT AKHIR TAHUN | PP. Lirboyo Kota Kediri 2014

1. SANTRI HARUS BERANI MISKIN ATAU HARUS KAYA?

Abstraksi 
Sabda Nabi, “kefakiran nyaris menyebabkan kekafiran”. Sahabat Ali mengatakan, “kalau saja kemiskinan itu berwujud manusia, pasti aku yang akan membunuhnya”. Nabi bersabda, “Ya Allah, matikan aku dalam keadaan miskin”. Mbah KH. Abdul Karim dawuh, “santriku kudu wani melarat”. Sebagai orang pesantren, manakah yang harus kita jadikan pilihan hidup, berani miskin, atau harus kaya?

2. PERLUKAH RELEVANSI FIQIH PESANTREN?

Abstraksi 
Rumusan hukum Islam yang terkodifikasi dalam khazanah fiqih pesantren, adalah produk dari interpretasi para fuqaha sebagai refleksi terhadap dinamika sosial-politik dan sosial-ekonomi di abad pertengahan yang berada di bawah bayang-bayang eksistensi pemerintahan Islam Timur Tengah. Karena itu, hari ini, di Indonesia, tidak sedikit rumusan-rumusan fiqih pesantren, khususnya tentang hukum publik, yang dirasa kehilangan relevansi. 

Sekedar menyebut contoh, dalam tema siyasah masih mengacu pada konsep negara-agama, padahal paham negara-bangsa (nation-state) sudah diterima hampir semua masyarakat dunia; klasifikasi non-Muslim menjadi harbi, dzimmi, musta’man, dan mu’ahad, dimana masyarakat modern mulai sadar asas kesetaraan, sadar kerukunan, dan merindukan hubungan antar umat beragama yang harmonis dan manusiawi; tentang hukum perbudakan yang masih bertebaran dalam kajian fiqih pesantren dimana masyarakat dunia telah sepakat menolak segala bentuk perbudakan; dll. Akibatnya, banyak isu-isu keIndonesiaan dan isu-isu kontemporer yang sulit dijumpai dalam kajian fiqih pesantren. Fiqih pesantren seolah menyeret para santri hidup di abad pertengahan, dan menjauhkan dari realitas dunia kontemporer. Pertanyaannya, perlukah melakukan usaha relevansi atau peremajaan khazanah fiqih pesantren dengan perspektif kekinian dan keIndonesiaan?

3. MODERNITAS, HARUS DITINGGALKAN ATAU DITAKLUKKAN?

Abstraksi 
Ada sebagian orang yang anti terhadap modernitas, sehingga memilih melarikan diri dari kenyataan dunia modern dengan mengasingkan dan menutup diri (eksklusif) dalam romantisme masa lalu. Dalam mindset kelompok anti-modern, modernitas bukan suatu realitas yang menantang untuk dihadapi, melainkan hantu sejarah yang menakutkan dan harus dijauhi atau ditinggalkan. 

Ada juga orang yang bersikap lain, yakni terbuka (inklusif) terhadap modernitas. Dalam mindset kelompok ini, modernitas bukanlah hantu sejarah yang harus dijauhi, melainkan realitas sejarah yang menantang untuk ditaklukkan. Kendati embrio modernitas lahir dan besar dari rahim peradaban Barat, namun modernitas bukanlah monopoli dunia Barat, sehingga modernisasi tidak berarti westernisasi (pembaratan). Modernisasi adalah fitrah evolusi semua peradaban manusia. Karena itu, kelompok ini tidak menutup diri atau lari dari realitas dunia modern, namun berani menantang dan menaklukkannya. Lantas, santri harus bagaimana?

4. ISLAMISASI, HARUS MELALUI PENDEKATAN ARABISASI ATAU PRIBUMISASI?

Abstraksi
Islamisasi Jawa, bahkan Nusantara, yang diprakarsai oleh Walisanga, menggunakan pendekatan dakwah yang memiliki spirit kearifan lokal, yakni pribumisasi. Pribumisasi Islam adalah upaya memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang disesuaikan dengan konteks tradisi, budaya, dan kultur masyarakat Nusantara, bukan masyarakat Arab, sehingga membidani bagi kelahiran asimilasi dan akulturasi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan tradisi-budaya Nusantara. Pribumisasi lebih menekankan nilai-nilai substantif dari ajaran Islam, bukan simbol-simbol lahiriah-formal yang dipengaruhi oleh budaya Arab.

Namun belakangan, pendekatan dakwah Islam mulai bergeser dari tren pribumisasi menjadi tren Arabisasi. Arabisasi adalah usaha peng-Araban umat Islam. Artinya, umat Islam dipengaruhi untuk melepaskan tradisi-budaya lokalnya berganti dengan tradisi-budaya dan simbol-simbol ke-Arab-an, baik dalam segi gaya, dialek, pakaian, dll. Arabisasi telah menanamkan opini pada masyarakat awam bahwa, seolah segala yang Arab adalah Islam, dan segala yang non-Arab adalah bukan Islam. Sebagai generasi pewaris Walisanga, pendekatan manakah yang harus dipilih santri dalam berdakwah?

5. DEMOKRASI, ISLAMI ATAU JAHILI?

Abstraksi
Dalam wacana politik, demokrasi dikenal sebagai konsep terbaik yang pernah ditemukan manusia dibanding dengan konsep teokrasi maupun oligarki. Demokrasi dipercaya sebagai sistem yang paling efektif untuk menjamin keadilan sosial dan menghindarkan terjadinya tindakan politisasi agama, deskriminasi, dan kezhaliman yang diperankan oleh penguasa, sebab dalam konsep demokrasi kekuasaan berada di tangan rakyat. 

Namun menurut sebagian orang, demokrasi adalah ciptaan manusia, produk Barat, produk kufar, thaghut, sehingga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Kang Santri, demokrasi itu islami atau jahili?

6. DI ALAM MODERN, APAKAH SANTRI MASIH MEMILIKI MASA DEPAN?

Abstraksi
Ada yang memelesetkan lirik lagu kasidah Jilbab Putih menjadi “di balik jilbabmu, ada jiwa yang taqwa... di balik sarungmu, tersimpan masa depan cerah…” . Jika membaca plesetan lirik tersebut, santri diklaim memiliki masa depan yang cerah. Masa depan di sini tentu bukan dalam pengertian ukhrawi, tapi keberadaan, keterlibatan, dan peran strategis santri dalam kancah dunia global-modern. 

Kita tahu, bahwa dunia global-modern dikendalikan setidaknya oleh tiga kelompok: pengusaha, penguasa, dan pemikir. Dengan kata lain, arah peradaban berada di tangan orang-orang kaya, para penguasa, dan orang-orang cerdas atau pemilik ide. Pertanyaan besarnya adalah, apakah santri disiapkan untuk menguasai job-job itu? Jika tidak, apakah santri masih memiliki masa depan yang hebat di alam modern? 

7. BENARKAH OTOKRITIK BERAKIBAT KUWALAT?

Abstraksi
Banyak yang menuding daya kritisisme telah mati di lingkungan santri. Kematian daya kritis ini ditengarai akibat doktrin ta’zhim yang tidak proporsional. Doktrin ta’zhim kepada guru, kyai, ulama-ulama terdahulu yang tidak proporsional, dianggap mempengaruhi psikologi santri menjadi minder, tidak percaya diri, bahkan takut dan dihantui kuwalat ketika hendak melakukan otokritik apapun terhadap internal pesantren. Karena itu, di lingkungan santri sangat familier doktrin-doktrin seperti “aku adalah budak orang yang mengajariku…”, “murid di hadapan guru itu seperti mayit di pangkuan orang yang memandikannya”, kisah Nabi Musa yang tidak boleh bertanya apapun terhadap perilaku Nabi Hidlir, dll. Doktrin-doktrin demikian, disinyalir telah membunuh daya kritisisme santri, sehingga filosofi hidup yang berkembang di lingkungan santri adalah “bilâ kaifa!” dan “sami’nâ wa atha’nâ”. 

8. APAKAH GENERASI SALAF PASTI LEBIH HEBAT DARI GENERASI KHALAF?

Abstraksi
Di kalangan santri memang populer adegium, “al-muhâfazhah alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah”. Yakni, melestarikan produk-produk klasik yang relevan dan adoptif terhadap nilai-nilai modernitas yang positif. Namun, ibarat api jauh dari panggang, kecenderungan santri malah bersikap eksklusif terhadap segala hal yang baru (al-jadîd), dan lebih nyaman dengan romantisme masa lalu (al-qadîm). Dengan kata lain, segala produk masa lalu senantiasa diapresiasi (mu’tabarah), dan segala produk yang baru senantiasa dicurigai (ghairu mu’tabarah). Alibi yang kerap dikemukakan atas kecenderungan tersebut adalah, “khairul qurun qurnî wa mâ yalawnahu…”. Alibi ini menumbuhkan kepercayaan di kalangan santri bahwa karya-karya dan prestasi ulama masa lalu memiliki supremasi kualitas yang tak tertandingi oleh generasi berikutnya.

Pertanyaan nakalnya adalah, apakah supremasi tersebut lantaran terlalu hebatnya ulama-ulama terdahulu sehingga sulit ditandingi oleh generasi berikutnya, ataukah generasi berikutnya yang dilanda krisis kualitas sehingga sulit untuk menandingi kehebatan ulama-ulama terdahulu. Dengan kata lain, apakah generasi salaf pasti lebih hebat dari generasi khalaf?






Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet