Menggelorakan Semangat
Kebangsaan dan Religiusitas Generasi Bhinneka Tunggal Ika
Membaca
wajah Indonesia pasca reformasi 1998, kita menyaksikan fenomena kehidupan
generasi bangsa yang murung dilanda krisis multidimensi. Fenomena krisis yang nyaris
merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia dalam beragama, berbangsa
dan bernegara, lebih-lebih krisis moralitas dan krisis semangat kebangsaan atau
nasionalisme. Tawuran antar pelajar, konflik sektarian, bentrokan antar warga,
budaya korupsi, mafia hukum, budak ekstasi, pornografi dan pornoaksi, menjadi
gejala serius kerusakan sosial yang menunjukkan betapa rapuhnya rasa ukhuwwah
antar golongan dan rendahnya moralitas anak bangsa.
Pasca reformasi,
bangsa Indonesia juga dikejutkan dengan sejumlah isu kebangsaan berupa
meledaknya ideologi-ideologi trans-nasional. Secara literal, trans-nasional berarti lintas negara,
atau lintas bangsa. Trans-nasional juga bisa berarti: bukan asli Indonesia (indigenous),
asing atau imporan. Dengan
demikian, ideologi
trans-nasional adalah ideologi
yang tidak lahir dari pergumulan identitas keIndonesiaan yang otentik,
melainkan diimpor dari negara lain sehingga cenderung tidak bersedia
mengIndonesia. Era reformasi yang penuh dengan euvoria keterbukan dan
kebebasan, menjadi lahan subur bagi perkecambahan ideologi-ideologi
trans-nasional, baik yang bersifat keagamaan, politik, pemikiran, budaya,
maupun ekonomi.
Ideologi
trans-nasional yang bersifat politik-keagamaan, bisa dilihat dari merebaknya
kelompok-kelompok yang mengusung paham berbasis fundamentalisme Islam.
Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis oleh Badan Intelijen Nasional (BIN),
diantara kelompok-kelompok Islam yang diidentivikasi mengusung ideologi trans-nasional
adalah: Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jihadi, dan Salafi/Wahhabi.
Setidaknya, terdapat tiga ciri menonjol yang dimiliki oleh paham ini.
a.
Didominasi corak pemikiran keagamaan skripturalis-konservatif;
b.
Didominasi perilaku dan sikap keagamaan emosional:
radikal-anarkhis; dan sektarian: intoleran, gemar mengkafirkan dan mengklaim
bid’ah amaliah di luar kelompoknya;
c.
Mengusung agenda internasional, penegakan khilafah.
Hadir dan berkembangnya ideologi-ideologi
trans-nasional di bumi Pancasila pasca reformasi ini, telah banyak mencederai
identitas kehidupan keagamaan bangsa Indonesia yang bersedia hidup toleran,
rukun, santun, dan saling menghormati. Toleransi keagamaan dikoyak oleh
aksi-aksi radikalisme, anarkhisme, dan terorisme yang diperankan sebagian umat
Islam yang teracuni ideologi trans-nasional. Bahkan ideologi trans-nasional
yang mengusung ide khilafah, agenda jangka panjangnya menjadi bahaya laten yang
mengancam integritas NKRI, yang ditegakkan dengan tetesan kringat dan aliran
darah para syuhada’ bangsa.
Fenomena
krisis moralitas dan krisis kebangsaan inilah yang belakangan ini sedang
menggempur identitas dan karakter kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai generasi
Bhinneka Tunggal Ika, kita bertanggung jawab untuk melawan gelombang krisis
ini, dengan menanamkan nilai-nilai religiusitas dan menggelorakan kembali
semangat Islam kebangsaan. Untuk kepentingan memberi solusi atas krisis-krisis
ini, tulisan dalam makalah berikut akan menawarkan alternatif melalui
pendekatan: internalisasi ajaran ihsan dan pemahaman terhadap tantangan Islam kebangsaan.
II.
INTERNALISASI AJARAN IHSAN
Dekadensi moral yang merundung kehidupan anak bangsa dewasa
ini, merupakan keganjilan yang ironis dialami oleh sebuah bangsa yang
menyatakan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana tidak,
moralitas yang menjadi aspek terpenting dari ajaran setiap agama, gagal
termanifestasikan dalam kehidupan sebuah bangsa yang beriman. Agama seolah
tinggal sekedar indentitas formal yang sama sekali kering tanpa memberikan
refleksi religiusitas dan keshalehan konkret dalam kehidupan sosial. Umat
Islam, sebagai penduduk Indonesia mayoritas, adalah umat yang paling patut
dimintai pertanggungjawaban atas realitas ganjil ini. Pasti ada yang salah
dalam memahami dan mengamalkan Islam sebagai agama moral. Di sinilah kiranya
umat Islam sangat penting mengadakan koreksi dan reinternalisai (penghayatan
kembali) ajaran Islam secara holistik (kâffah), sehingga agama yang diimani,
bisa menjadi ruh pembangun moralitas kehidupan, seperti yang menjadi cita-cita
dan misi kenabiaan.
إِنَّمَا بُعِثْتُ
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. (رواه البيهقي)
Aku diutus untuk misi penyempurnaan
kemuliaan moral. (HR. Albaihaqi)
Secara garis besar, ada tiga dimensi
ajaran dalam agama yang dibawa Rasulullah saw., yaitu iman, islam, dan ihsan.
Ketiga dimensi keagamaan ini merupakan satu kesatuan dari risalah kenabian,
yang tidak boleh dipisahkan dalam praktek keagamaan seseorang. Sebab, ketiganya
merupakan universalitas agama yang menghadirkan aspek lahiriah (eksoterisme)
dan aspek batiniah (esoterisme), relasi vertikal (hablun minaLlah)
dan relasi horizontal (hablun minannas).
Dimensi
iman, yang mencakup enam rukun: pembenaran (tashdîq) kepada Allah,
Malaikat, Nabi, Kitab, Hari Kiamat, dan Qadla’-Qadar, merupakan domain aqîdah
(keyakinan) yang menjadi dasar agama (ushûluddîn), dimana seluruh bangunan
konsepnya diformulasikan dalam disiplin kalam (teologi). Di atas dimensi iman, ditegakkan
dua pilar agama, islam dan ihsan. Dimensi islam yang mencakup lima rukun:
syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, merupakan domain syarî’ah
(jalan pengabdian), baik yang bersifat ritual (ubûdiyyah) maupun sosial
(mu’âmalah). Seluruh metodologi dan konsep dimensi keislaman, dikaji
dalam disiplin fiqih. Sedangkan dimensi ihsan, merupakan domain akhlâq (moral)
yang menjadi puncak prestasi religiusitas. Amaliah keagamaan yang tanpa
disertai keihsanan, akan menjadi gersang dari nilai-nilai hikmah, sehingga
agama akan kehilangan fungsinya sebagai ruh pembangun keshalehan dan moralitas kehidupan.
Praktek dan amaliah keagamaan yang kering dari nilai-nilai keihsanan inilah
agaknya yang menjadi akar penyebab degradasi moral yang melanda anak bangsa. Karena
itu, sebagai generasi harapan bangsa, menjadi sangat urgen untuk menghayati
ajaran ihsan.
Secara sederhana, konsep ihsan dirumuskan
dari sebuah hadits panjang riwayat Sahabat Umar bin Khatthab ra., yang
menceritakan dialog antara Nabi dengan Malaikat Jibril, untuk menjelaskan
ajaran-ajaran agama kepada para Sahabat. Setelah Nabi menjawab pertanyaan
Jebril tentang iman dan islam, Jibril melanjutkan pertanyaannya, “beri
tahukan kepadaku, tentang apa itu ihsan?”, tanya Jibril. Nabi saw.
menjawab:
الإِحْسَانُ أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ.
(رواه مسلم)
|
Ihsan
adalah pengabdianmu kepada Allah seolah engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
|
Sabda singkat Nabi sebagai jawaban
pertanyaan Jibril tentang ihsan ini, mengandung makna spiritual yang sangat luar
biasa. Penghayatan dan penjiwaan terhadap makna ajaran ihsan ini, akan mampu
merevolusi perilaku kehidupan seseorang. Coba bayangkan, dalam sebuah firman
dikatakan, Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (QS.
Adz-dzariyat 56), sementara ajaran ihsan yang dijelaskan oleh Nabi tersebut,
mengharuskan ibadah seseorang dilakukan seolah dihadapan Tuhan secara langsung
hingga keberadaan-Nya bisa dilihat.
Melihat Tuhan di sini, tentu bukan dalam
pengertian yang sebenarnya, melainkan sebagai ungkapan hiperbolis dari kondisi
kesadaran spiritual seseorang yang senantiasa terpusat kepada kehadiran Allah.
Ibadah yang dikehendaki dalam sabda Nabi tersebut, juga bukan ibadah dalam pengertian
sempit, seperti shalat, puasa, haji, atau sedekah saja, melainkan seluruh gerak-gerik
lahir-batin kehidupan seseorang, sebab totalitas kehidupan seseorang memang
diproyeksikan oleh Tuhan untuk semata-mata beribadah. Kehidupan seseorang yang
memiliki kesadaran spiritual keagamaan seperti ini (ihsan), akan mampu menghindarkannya
dari melakukan perilaku-perilaku menyimpang yang dilarang Tuhan, entah dalam
keadaan sendiri maupun di depan publik, sebab kapan dan di manapun, ia tidak sanggup
berpaling dari ‘melihat’ Tuhan.
قَالَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ
الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ. (رواه البخاري)
|
Nabi
saw. bersabda, pezina tidak akan berzina jika saat zina ia beriman, pemabuk
tidak akan mabuk jika saat mabuk ia beriman, dan pencuri tidak akan mencuri
jika saat mencuri ia beriman. (HR. Bukhari)
|
Penghayatan terhadap dimensi keihsanan
seperti inilah kiranya yang akan merevolusi keagamaan seseorang hingga keimanannya
bisa memanifestasikan nilai-nilai keshalehan. Dan untuk memungkinkan
penghayatan demikian, dibutuhkan pemahaman terhadap ajaran-ajaran tasawuf. Sebab
tasawuf merupakan pengejawantahan dari dimensi ihsan yang menjadikan
penjernihan hati (tazkiyyah annafs) sebagai proyeknya. Proyek tasawuf
ini sekaligus membedakan dengan obsesi dalam dunia filsafat. Jika para filsuf
sibuk menajamkan akal untuk mencari kebenaran Tuhan, maka para sufi berusaha
membeningkan hatinya agar bisa menyaksikan Tuhan.
Secara
garis besar, esensi dari ajaran tasawuf meliputi tiga ritus penting, yaitu takhalli,
tahalli, dan tajalli. Takhalli adalah upaya mengosongkan
atau melepaskan hati dari belitan nafsu-nafsu tercela, seperti sombong, dendam,
benci, emosional, marah, permusuhan, hasud, munafik, ujub, riya’, sum’ah, gila
hormat, gila pujian, gila harta, gila jabatan, serakah, dll. Tahalli
adalah usaha menghiasi hati dan perilaku dengan pakerti-pakerti luhur, seperti
rendah hati, murah hati, lapang dada, hormat, qana’ah, zuhud, jujur, sabar,
pemaaf, welas-asih, cinta damai, dll. Sedangkan tajalli adalah kondisi
spiritual baru yang diperoleh melalui thariqah (proses) takhalli
dan tahalli yang terus-menerus (istiqâmah), berupa
kesadaran batin akan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak-gerik kehidupan.
Praktek keagamaan yang diintegrasikan secara
sinergis dengan ajaran ihsan seperti inilah yang dibutuhkan sebagai solusi dari
krisis moralitas yang melanda anak bangsa. Karena praktek keagamaan yang kering
dari spirit keihsanan, hanya akan menciptakan iklim kehidupan umat beragama
yang keras, munafik, dipenuhi rasa egoisme, kebencian, dan keangkuhan beragama,
sehingga agama hanya akan menjadi candu masyarakat dan gagal menghadirkan
rahmat bagi kemanusiaan. Keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi iman
(akidah) saja, agama akan menjadi keras, sebab meruang dalam urusan iman-kafir.
Demikian juga keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi Islam (fiqih) saja,
agama akan menjadi kaku, sebab hanya berkutat dalam halal-haram. Hanya melalui
praktek keagamaan yang diintegrasikan dengan nilai-nilai keihsanan akan mampu
menghadirkan agama di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sumber
keshalehan, sebab esensi agama adalah nilai-nilai moralitas. Berkali-kali Nabi
saw. ditanya:
مَا الدِّينُ؟
قَالَ: حُسْنُ الْخُلُقِ
|
Apakah
(esensi) agama itu? Beliau menjawab, moralitas. (HR. Abi Al-‘Ala`)
|
Hanya saja, yang penting diketahui,
masalah moralitas merupakan masalah yang berhubungan dengan aspek hati,
karakter atau kepribadian, bukan aspek skill atau intelektual. Untuk membentuk
kepribadian generasi bangsa yang bermoral, dibutuhkan sistem pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, skill, atau
profesionalisme. Sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan
intelektual (ta’lîm), tidak menjanjikan keshalehan sosial dan moral anak
didik. Bahkan, kecerdasan intelektual yang tidak diintegrasikan dengan
kecerdasan moral-spiritual, lebih berbahaya dari kebodohan sekalipun. Oleh
karena itu, sangat diperlukan sistem pendidikan penyeimbang yang berbasis pada
pembentukan karakter (tarbiyah), sehingga kecerdasan intelektual anak
bangsa bisa tumbuh sinergis bersama kecerdasan moral-spiritualnya.
III.
TANTANGAN ISLAM KEBANGSAAN
Istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia
merupakan terjemahan dari kata nation dalam bahasa Latin, dari akar kata
natio yang berarti sesuatu yang lahir. Pada perkembangan selanjutnya, terminologi
bangsa memiliki pengertian dalam arti sosiologis-antropologis dan politis. Dalam
terminologi sosiologis-antropologis, bangsa didefinisikan sebagai sebuah perkumpulan
orang-orang yang saling membutuhkan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan
bersama dalam suatu wilayah. Bangsa dalam pengertian sosiologis-antropologis
dijalin oleh ikatan-ikatan seperti ras, sejarah, tradisi, adat-istiadat, bahasa,
agama atau kepercayaan, sehingga jalinan ini disebut ikatan primordial. Sedangkan
dalam terminologi politis, bangsa diartikan sebagai suatu masyarakat yang
disatukan oleh kehendak atau cita-cita yang kuat untuk hidup bersama sebagai
warga negara, terlepas dari perbedaan latar belakang, ras, etnik, agama,
ataupun golongan. Bangsa dalam arti politis diikat oleh ketundukan pada
kedaulatan negara sebagai satu kekuasaan tertinggi, kesatuan wilayah nasional,
hukum dan perundangan yang berlaku.
Dalam perspektif Islam, istilah bangsa
baik dalam pengertian sosiologis-antropologis maupun dalam pengertian politis,
memiliki landasan pembenaran dari Alquran. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)
|
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat: 13)
|
Ayat ini menandaskan bahwa, kebangsaan
merupakan fitrah dalam penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang
berbangsa-bangsa, bersuku-suku, juga merupakan kenyataan sejarah manusia.
Penciptaan suku-bangsa demikian ini, bukan dimaksudkan sebagai alasan
berpecah-belah atas dasar rasisme kebangsaan atau fanatisme kesukuan, melainkan
agar bersedia membangun hubungan kemanusiaan secara arif (ta’âruf) dan
saling berkompetisi menjadi manusia terbaik di sisi Tuhan (atqâkum).
Indonesia,
resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928. Sebuah ikrar persatuan luhur pemuda-pemudi Indonesia yang bertekad untuk
satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia
untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil
diperoleh 17 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ikatan
kebangsaan yang diikrarkan bangsa Indonesia, tidak semata dibangun atas dasar kesamaan
perangai, melainkan lebih pada kesadaran geopolitik, cita-cita, dan nilai-nilai
luhur yang hidup mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Bung
Karno, kebangsaan yang dibangun hanya atas dasar kesamaan perangai lahiriah,
seperti ras, etnis, tradisi, agama, bahasa, merupakan ikatan kebangsaan yang
usang. Kebangsaan harus tidak hanya memandang perangainya, melainkan harus
memperhatikan geopolitiknya, yaitu tempat manusia tersebut berpijak. Prinsip seperti
inilah yang selanjutnya melahirkan wajah bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal
Ika. Sebuah bangsa yang majmuk yang terdiri dari pluralitas suku, bahasa,
agama, adat-istiadat, namun memiliki kehendak, cita-cita, dan komitmen untuk hidup
mencapai tujuan bersama dalam satu bangsa, Indonesia merdeka.
Bangsa
Indonesia lahir setelah melewati perjuangan panjang dengan mempersembahkan
segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan
jalan yang ditempohnya sendiri, yang merupakan hasil antara proses sejarah,
tantangan perjuangan, dan cita-cita masa depan, yang secara keseluruhan
membentuk karakter kepribadiannya. Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah
yang selanjutnya ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara,
Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak lahir secara tiba-tiba pada 1 Juni 1945.
Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah
hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah filsafat atau pandangan
hidup yang digali melalui pemikiran yang sedalam-dalamnya dari akar budaya,
sifat-sifat, dan cita-cita bangsa Indonesia yang diyakini sebagai kenyataan
norma-norma dan nilai-nilai yang paling benar, paling adil, paling baik, dan
paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila yang memuat nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan, kerakyatan, dan permusyawatan,
tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pancasila yang dicurigai
oleh sebagian kelompok sebagai pengaruh ajaran Budha atau Yahudi, sama sekali
tidak memiliki relevansi. Karena itu, bagi Indonesia, fungsi Pancasila menjadi:
pandangan hidup bangsa Indonesia; dasar negara Republik Indonesia; dan jiwa
kepribadian bangsa Indonesia.
Sebuah
bangsa yang bersedia membangun persatuan di atas realitas kemajmukan atau
pluralitas, merupakan bangsa yang berperadaban luhur, sebab telah memiliki
kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa yang memiliki kesadaran kemanusiaan
akan sanggup mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial,
seperti rasisme, fanatisme dan sektarianisme. Tingginya kesadaran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan tersebut, mengilhami bangsa Indonesia di awal kemerdekaannya untuk
menolak bentuk negara-agama yang sektarian, dan sepakat memilih bentuk
negara-bangsa (nation-state). Pilihan ini merupakan perjanjian luhur dari
kebijaksanaan dan kearifan para pendiri bangsa (founding fathers)
sehingga Pancasila dan integritas NKRI bagi bangsa Indonesia merupakan harga
mati. Inilah yang menjadi tanggung jawab dan tantangan generasi bangsa saat
ini, menjaga segala ancaman yang merongrong keutuhan NKRI yang berdasarkan
Pancasila.
Seperti
telah disinggung dalam prolog di atas, bahwa hadir dan berkembangnya ideologi
trans-nasional yang cenderung konservatif, radikal, gemar mengkafirkan, dan
mengusung agenda penegakan khilafah, menjadi bahaya laten yang mengancam keutuhan
NKRI. Indikasi kehadiran ideologi trans-nasional di Indonesia, ditandai dengan
munculnya aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, seperti pengkafiran,
konflik antar aliran, aksi terorisme, peledakan bom dengan mengincar aset dan
pemeluk Nasrani, dll. Setelah dilakukan investigasi oleh beberapa instansi,
semua pelaku aksi-aksi kekerasan tersebut telah terpengaruhi oleh pemikiran dan
ideologi dari luar Indonesia, khususnya Timur Tengah. Di sinilah umat Islam
harus cerdas dan kritis dalam mengenali dan merespon gerakan trans-nasional ini,
agar tidak mudah terpedaya oleh ideologi yang akan merongrong keutuhan bangsa
Indonesia. Untuk mengenali ideologi trans-nasional secara kritis, kita bisa
menggunakan pendekatan historis dan sosiologis, yang membentuk radikalisme ideologi
Islam trans-nasional.
Dalam
catatan sejarah, kita ketahui umat Islam pernah mengekspansi Eropa dalam waktu
yang cukup lama. Namun pada kurun berikutnya, Eropa balik mengekspansi bahkan
menjajah negara-negara Islam Timur Tengah. Peperangan Eropa melawan imperium
Islam berlangsung ribuan tahun, yang diakhiri dengan kehancuran Turki Utsmani. Perang
kemudian dilanjutkan Afganistan melawan Rusia dan Amerika, lalu perang Irak,
Libya, dan Alqaeda di bawah pimpinan Usama bin Laden, yang semuanya melawan
Amerika. Dalam suasana perang seperti itu, secara alamiah, untuk tujuan
kemenangan peperangan, umat Islam Timur Tengah akan menggelorakan semangat
internalnya, seperti menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap agama,
budaya, pemikiran, dan seluruh produk bangsa Eropa dan Amerika (Barat).
Ayat-ayat perang dan Hadis tentang keburukan kekafiran, akan dijadikan sebagai
legitimasi. Demikian juga ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jihad dan pahala
mati syahid, akan dikobarkan untuk membakar militansi umat Islam menjadi mujahid
yang tak takut mati. Sanksi kafir, thaghut, akan dicapkan kepada umat Islam dan
siapapun yang enggan melawan Barat.
Dalam
kurun waktu yang lama, tanpa disadari umat Islam akan memandang bahwa ajaran
Islam adalah melawan kekafiran dengan segala cara. Pemikiran dan kondisi psikologis
umat Islam Timur Tengah yang telah terkonstruksi sedemikian rupa, akan menjadi
masalah ketika ditransver ke negara-negara Islam di luar Timur Tengah, yang
hidup damai dan tidak ada masalah dengan umat lain. Negara yang sebelumnya
hidup damai dan bersedia menghormati perbedaan keyakinan, akan bergolak menjadi
medan kebencian, permusuhan, caci maki, fitnah, aksi-aksi kekerasan bahkan
pembunuhan atau peledakan bom dengan sasaran rakyat sipil yang tidak tahu
apa-apa. Hidup dan tumbuh besar di bawah suasana peperangan seperti inilah yang
menjadikan ideologi trans-nasional cenderung radikal dan mudah mengkafirkan.
Umat Islam yang arif-bijak, tentu bisa membedakan dan memilah kondisi
sosial-politik umat Islam dalam suatu negara, tidak menempatkan semua negara
dalam kondisi perang. Karena Alquran dan Hadis juga mengatur secara detail tentang
varian situasi dan kondisi masyarakat.
Di luar
itu, kelompok yang mengusung ide penegakan khilafah dengan mengkonversi NKRI
menjadi negara Islam, juga memicu aksi radikalisme dan kekerasan kepada
keyakinan kelompok lain. Gerakan kelompok ini berusaha mendirikan sebuah sistem
pemerintahan global. Para penganut gerakan ini selalu mengkampanyekan
jargon-jargon general yang indah-indah, mengibarkan simbol-simbol agama, dan
meneriakkan kalimat-kalimat ketuhanan. Jargon-jargon yang general, tentu tidak
ada yang salah. Siapa yang akan menyalahkan atau menolak jika dikatakan: “Hukum
Tuhan adalah yang paling benar. Hukum Tuhan pasti membawa kemaslahatan?”.
Siapa yang tidak membenci kekafiran? Seluruh umat beriman, pasti membenarkannya.
Lebih-lebih di tengah kondisi masyarakat yang dihimpit keterbelakangan, kebodohan,
dan kemiskinan, maka jargon-jargon dan simbol-simbol suci yang menjajikan surga
demikian, tentu sangat menarik dan mempesona.
Akan
tetapi, giliran pendefinisian terma-terma keagamaan, seperti siapa yang disebut
muslim, kafir, sesat, kâffah dan seterusnya, maka jawabannya menjadi tidak
sederhana. Demikian juga pada tataran realisasi gagasan khilafah yang diusung.
Bagaimana, misalnya, sistem suksesi khalifah? Hukum Islam yang akan diundangkan,
Islam versi siapa? Apakah ada jaminan rakyat memiliki kontrol kekuasaan, dan
lain sebagainya. Tetapi segera pula, jawabannya adalah mengiblat pada sistem
politik, sistem ekonomi, dan kebudayaan Islam konvensional di jazirah Arabia
abad pertengahan, khilafah. Dengan sistem khilafah, komunitas internasional
akan dipimpin oleh seorang manusia yang bukan Nabi. Seluruh kekuasaan negara
dan pemerintahan terpusat di tangan sang khalifah. Dialah yang membuat aturan
hukum, mengontrol, mengadili, dan rakyat dunia wajib tunduk, tanpa kewenangan
mengkritik, karena hukum yang dibuatnya akan diklaim sebagai kebenaran Tuhan.
Di tangan dia yang bukan Nabi itu, Alquran dan Hadis ditafsirkan menurut
perspektifnya sendiri, kemudian mengatakan: “Barangsiapa tidak berhukum
dengan hukum Tuhan, maka dia kafir, zalim dan fasik”.
Kalimat-kalimat
suci seperti ini, dijadikan senjata paling ampuh untuk menumpas lawan-lawan
politik atau ideologinya, seperti dalam banyak fakta sejarah pemerintahan yang
didasarkan pada kekuasaan agama tertentu. Ideologi trans-nasional, dengan begitu, mengobsesikan
sebuah negara otoriterianisme gaya baru. Sebuah negara yang ditegakkan melalui
kekuasaan sentralistik, sektarian, represif, dan despotik. Dalam konteks
politik kebangsaan yang kompromistik, ideologi trans-nasional menjadi ancaman
bagi keutuhan NKRI. Lantaran itulah, umat Islam tidak perlu terpesona dengan
jargon dan simbol-simbol keagamaan yang dikampanyekan pengusung ideologi
trans-nasional yang sebenarnya tidak lebih hanya sekedar intrik-intrik politik.
Yakinlah, bangsa Indonesia bisa religius meskipun tanpa formalisasi syariat maupun
penegakan khilafah. Kemiskinan, korupsi, dekadensi moral, tidak ada hubungannya
dengan khilafah.
IV.
PENUTUP
Sebagai penutup, akan kami sampaikan
beberapa poin penting dari makalah ini, dan beberapa saran untuk generasi
Bhinneka Tunggal Ika.
Pertama, pasca-reformsi, bangsa Indonesia dilanda
oleh krisis moralitas dan krisis semangat kebangsaan.
Kedua, dalam tinjauan agama, krisis moralitas
anak bangsa diakibatkan oleh praktek keagamaan yang tidak diintegrasikan dengan
nilai-nilai keihsanan secara sinergis, sehingga agama menjadi kering dan gagal
menghadirkan keshalehan kehidupan.
Ketiga, krisis kebangsaan, yang ditandai dengan
munculnya aksi-aksi intoleran seperti kekerasan, radikalisme, terorisme, dan
ancaman integritas NKRI, diakibatkan oleh gempuran ideologi-ideologi
trans-nasional.
Keempat, sebagai solusi dari krisis moralitas
anak bangsa, dibutuhkan internalisasi ajaran ihsan. Keagamaan yang hanya fokus
pada aspek dimensi iman (akidah) saja, agama akan menjadi keras, sebab meruang
dalam urusan iman-kafir. Dan keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi
Islam (fiqih) saja, agama akan menjadi kaku, sebab hanya berkutat dalam
halal-haram. Ihsan sebagai puncak religiusitas, dibutuhkan untuk menjadi sumber
moralitas.
Kelima, fenomena kebangsaan atau nasionalisme,
merupakan kenyataan sejarah manusia yang tidak bisa dipungkiri, bahkan
merupakan fitrah dalam penciptaan manusia, yang memperoleh pembenaran Alquran.
Keenam, ikatan kebangsaan yang diikrarkan bangsa
Indonesia, tidak semata dibangun atas dasar kesamaan perangai lahiriah yang
usang, melainkan lebih pada kesadaran geopolitik, cita-cita, dan nilai-nilai
luhur yang hidup mengakar dalam jiwa kepribadian bangsa Indonesia. Dari situ,
lahir semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketujuh, Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang,
dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kedelapan, pilihan bentuk negara-bangsa merupakan
perjanjian luhur dari kebijaksanaan dan kearifan para pendiri bangsa (founding
fathers) sehingga Pancasila dan integritas NKRI bagi bangsa Indonesia
merupakan harga mati.
Kesembilan, ideologi trans-nasional merupakan
gerakan organisasi politik yang terlahir sebagai pemecahan dari
persoalan-persoalan yang muncul di Timur Tengah. Keberadaan Islam
trans-nasional menjadi anti-tesis terhadap model Islam kebangsaan atau
keIndonesiaan. Sebab Islam kebangsaan merupakan organisasi politik-keagamaan
yang lahir dari pergumulan dan pemecahan persoalan-persoalan yang terkait
dengan bangsa Indonesia. Islam kebangsaan menggunakan Alquran dan Hadis untuk
pemacahan masalah-masalah di Indonesia, sedangkan Islam trans-nasional
menggunakan Alquran dan Hadis untuk pemecahan masalah di Timur Tengah. Problem pasti
akan muncul ketika rumusan pemecahan masalah Timur Tengah dipaksakan sebagai
pemecahan masalah di Indonesia.
Terakhir,
sebagai saran, warga NU dan Muhammadiyah sudah seharusnya bekerjasama untuk
berada di garda terdepan melawan setiap gerakan-gerakan trans-nasional yang
akan mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI. NU dan Muhammadiyah harus menjadi
Dua Sayap Garuda yang akan terus mengawal dan menjaga Pancasila dan NKRI,
untuk mewujudkan cita-cita bersama, menjadi bangsa yang adil, makmur dan
sentosa.
_____________
Disampaikan:
Oleh Ust. Mudaimullah Azza dalam
seminar REVITALISASI ISLAM KEBANGSAAN bersama siswa dan pengajar SMU
Unggulan Se-Malang Raya, Tanggal 29 Juli 2013.
pak daim yang terhormat.
BalasHapuskenapa bapak menggunakan bahasa yang sangat muluk2 atau tinggi untuk arti yang sangat sederhana????
Yach.. biar keren ajah. hehe
HapusThe most intelligent wisdom is in humor.
heheheheh
Hapustapi bukankah itu akan menjadi penghambat bagi mereka yang tidak faham akan bahasa yang bapak gunakan?
Retorika, itu bagian dari seni. Lewat tulisan, saya tidak sekedar menyampaikan informasi, tapi mengajak pembaca bermain intuisi. Kepekaan intuisi orang tidak sama. Yang merasa "terhambat", yuk belajar lebih giat. :-)
Hapus