Juli 26, 2013

REVITALISASI ISLAM KEBANGSAAN


Menggelorakan Semangat Kebangsaan dan Religiusitas Generasi Bhinneka Tunggal Ika
Oleh: Mudaimullah Azza*


 
         I.         
PROLOG
Membaca wajah Indonesia pasca reformasi 1998, kita menyaksikan fenomena kehidupan generasi bangsa yang murung dilanda krisis multidimensi. Fenomena krisis yang nyaris merasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia dalam beragama, berbangsa dan bernegara, lebih-lebih krisis moralitas dan krisis semangat kebangsaan atau nasionalisme. Tawuran antar pelajar, konflik sektarian, bentrokan antar warga, budaya korupsi, mafia hukum, budak ekstasi, pornografi dan pornoaksi, menjadi gejala serius kerusakan sosial yang menunjukkan betapa rapuhnya rasa ukhuwwah antar golongan dan rendahnya moralitas anak bangsa.
Pasca reformasi, bangsa Indonesia juga dikejutkan dengan sejumlah isu kebangsaan berupa meledaknya ideologi-ideologi trans-nasional. Secara literal, trans-nasional berarti lintas negara, atau lintas bangsa. Trans-nasional juga bisa berarti: bukan asli Indonesia (indigenous), asing atau imporan. Dengan demikian, ideologi trans-nasional adalah ideologi yang tidak lahir dari pergumulan identitas keIndonesiaan yang otentik, melainkan diimpor dari negara lain sehingga cenderung tidak bersedia mengIndonesia. Era reformasi yang penuh dengan euvoria keterbukan dan kebebasan, menjadi lahan subur bagi perkecambahan ideologi-ideologi trans-nasional, baik yang bersifat keagamaan, politik, pemikiran, budaya, maupun ekonomi.
Ideologi trans-nasional yang bersifat politik-keagamaan, bisa dilihat dari merebaknya kelompok-kelompok yang mengusung paham berbasis fundamentalisme Islam. Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis oleh Badan Intelijen Nasional (BIN), diantara kelompok-kelompok Islam yang diidentivikasi mengusung ideologi trans-nasional adalah: Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jihadi, dan Salafi/Wahhabi. Setidaknya, terdapat tiga ciri menonjol yang dimiliki oleh paham ini.

a.         Didominasi corak pemikiran keagamaan skripturalis-konservatif;
b.         Didominasi perilaku dan sikap keagamaan emosional: radikal-anarkhis; dan sektarian: intoleran, gemar mengkafirkan dan mengklaim bid’ah amaliah di luar kelompoknya;
c.          Mengusung agenda internasional, penegakan khilafah.
Hadir dan berkembangnya ideologi-ideologi trans-nasional di bumi Pancasila pasca reformasi ini, telah banyak mencederai identitas kehidupan keagamaan bangsa Indonesia yang bersedia hidup toleran, rukun, santun, dan saling menghormati. Toleransi keagamaan dikoyak oleh aksi-aksi radikalisme, anarkhisme, dan terorisme yang diperankan sebagian umat Islam yang teracuni ideologi trans-nasional. Bahkan ideologi trans-nasional yang mengusung ide khilafah, agenda jangka panjangnya menjadi bahaya laten yang mengancam integritas NKRI, yang ditegakkan dengan tetesan kringat dan aliran darah para syuhada’ bangsa.
Fenomena krisis moralitas dan krisis kebangsaan inilah yang belakangan ini sedang menggempur identitas dan karakter kehidupan bangsa Indonesia. Sebagai generasi Bhinneka Tunggal Ika, kita bertanggung jawab untuk melawan gelombang krisis ini, dengan menanamkan nilai-nilai religiusitas dan menggelorakan kembali semangat Islam kebangsaan. Untuk kepentingan memberi solusi atas krisis-krisis ini, tulisan dalam makalah berikut akan menawarkan alternatif melalui pendekatan: internalisasi ajaran ihsan dan pemahaman terhadap tantangan Islam kebangsaan.

II.        INTERNALISASI AJARAN IHSAN
Dekadensi moral yang merundung kehidupan anak bangsa dewasa ini, merupakan keganjilan yang ironis dialami oleh sebuah bangsa yang menyatakan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana tidak, moralitas yang menjadi aspek terpenting dari ajaran setiap agama, gagal termanifestasikan dalam kehidupan sebuah bangsa yang beriman. Agama seolah tinggal sekedar indentitas formal yang sama sekali kering tanpa memberikan refleksi religiusitas dan keshalehan konkret dalam kehidupan sosial. Umat Islam, sebagai penduduk Indonesia mayoritas, adalah umat yang paling patut dimintai pertanggungjawaban atas realitas ganjil ini. Pasti ada yang salah dalam memahami dan mengamalkan Islam sebagai agama moral. Di sinilah kiranya umat Islam sangat penting mengadakan koreksi dan reinternalisai (penghayatan kembali) ajaran Islam secara holistik (kâffah), sehingga agama yang diimani, bisa menjadi ruh pembangun moralitas kehidupan, seperti yang menjadi cita-cita dan misi kenabiaan.
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. (رواه البيهقي)
Aku diutus untuk misi penyempurnaan kemuliaan moral. (HR. Albaihaqi)
Secara garis besar, ada tiga dimensi ajaran dalam agama yang dibawa Rasulullah saw., yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga dimensi keagamaan ini merupakan satu kesatuan dari risalah kenabian, yang tidak boleh dipisahkan dalam praktek keagamaan seseorang. Sebab, ketiganya merupakan universalitas agama yang menghadirkan aspek lahiriah (eksoterisme) dan aspek batiniah (esoterisme), relasi vertikal (hablun minaLlah) dan relasi horizontal (hablun minannas).
Dimensi iman, yang mencakup enam rukun: pembenaran (tashdîq) kepada Allah, Malaikat, Nabi, Kitab, Hari Kiamat, dan Qadla’-Qadar, merupakan domain aqîdah (keyakinan) yang menjadi dasar agama (ushûluddîn), dimana seluruh bangunan konsepnya diformulasikan dalam disiplin kalam (teologi). Di atas dimensi iman, ditegakkan dua pilar agama, islam dan ihsan. Dimensi islam yang mencakup lima rukun: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, merupakan domain syarî’ah (jalan pengabdian), baik yang bersifat ritual (ubûdiyyah) maupun sosial (mu’âmalah). Seluruh metodologi dan konsep dimensi keislaman, dikaji dalam disiplin fiqih. Sedangkan dimensi ihsan, merupakan domain akhlâq (moral) yang menjadi puncak prestasi religiusitas. Amaliah keagamaan yang tanpa disertai keihsanan, akan menjadi gersang dari nilai-nilai hikmah, sehingga agama akan kehilangan fungsinya sebagai ruh pembangun keshalehan dan moralitas kehidupan. Praktek dan amaliah keagamaan yang kering dari nilai-nilai keihsanan inilah agaknya yang menjadi akar penyebab degradasi moral yang melanda anak bangsa. Karena itu, sebagai generasi harapan bangsa, menjadi sangat urgen untuk menghayati ajaran ihsan.
Secara sederhana, konsep ihsan dirumuskan dari sebuah hadits panjang riwayat Sahabat Umar bin Khatthab ra., yang menceritakan dialog antara Nabi dengan Malaikat Jibril, untuk menjelaskan ajaran-ajaran agama kepada para Sahabat. Setelah Nabi menjawab pertanyaan Jebril tentang iman dan islam, Jibril melanjutkan pertanyaannya, “beri tahukan kepadaku, tentang apa itu ihsan?”, tanya Jibril. Nabi saw. menjawab:
الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. (رواه مسلم)
Ihsan adalah pengabdianmu kepada Allah seolah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. (HR. Muslim)
Sabda singkat Nabi sebagai jawaban pertanyaan Jibril tentang ihsan ini, mengandung makna spiritual yang sangat luar biasa. Penghayatan dan penjiwaan terhadap makna ajaran ihsan ini, akan mampu merevolusi perilaku kehidupan seseorang. Coba bayangkan, dalam sebuah firman dikatakan, Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (QS. Adz-dzariyat 56), sementara ajaran ihsan yang dijelaskan oleh Nabi tersebut, mengharuskan ibadah seseorang dilakukan seolah dihadapan Tuhan secara langsung hingga keberadaan-Nya bisa dilihat.
Melihat Tuhan di sini, tentu bukan dalam pengertian yang sebenarnya, melainkan sebagai ungkapan hiperbolis dari kondisi kesadaran spiritual seseorang yang senantiasa terpusat kepada kehadiran Allah. Ibadah yang dikehendaki dalam sabda Nabi tersebut, juga bukan ibadah dalam pengertian sempit, seperti shalat, puasa, haji, atau sedekah saja, melainkan seluruh gerak-gerik lahir-batin kehidupan seseorang, sebab totalitas kehidupan seseorang memang diproyeksikan oleh Tuhan untuk semata-mata beribadah. Kehidupan seseorang yang memiliki kesadaran spiritual keagamaan seperti ini (ihsan), akan mampu menghindarkannya dari melakukan perilaku-perilaku menyimpang yang dilarang Tuhan, entah dalam keadaan sendiri maupun di depan publik, sebab kapan dan di manapun, ia tidak sanggup berpaling dari ‘melihat’ Tuhan.
قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ. (رواه البخاري)
Nabi saw. bersabda, pezina tidak akan berzina jika saat zina ia beriman, pemabuk tidak akan mabuk jika saat mabuk ia beriman, dan pencuri tidak akan mencuri jika saat mencuri ia beriman. (HR. Bukhari)
Penghayatan terhadap dimensi keihsanan seperti inilah kiranya yang akan merevolusi keagamaan seseorang hingga keimanannya bisa memanifestasikan nilai-nilai keshalehan. Dan untuk memungkinkan penghayatan demikian, dibutuhkan pemahaman terhadap ajaran-ajaran tasawuf. Sebab tasawuf merupakan pengejawantahan dari dimensi ihsan yang menjadikan penjernihan hati (tazkiyyah annafs) sebagai proyeknya. Proyek tasawuf ini sekaligus membedakan dengan obsesi dalam dunia filsafat. Jika para filsuf sibuk menajamkan akal untuk mencari kebenaran Tuhan, maka para sufi berusaha membeningkan hatinya agar bisa menyaksikan Tuhan.
Secara garis besar, esensi dari ajaran tasawuf meliputi tiga ritus penting, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli adalah upaya mengosongkan atau melepaskan hati dari belitan nafsu-nafsu tercela, seperti sombong, dendam, benci, emosional, marah, permusuhan, hasud, munafik, ujub, riya’, sum’ah, gila hormat, gila pujian, gila harta, gila jabatan, serakah, dll. Tahalli adalah usaha menghiasi hati dan perilaku dengan pakerti-pakerti luhur, seperti rendah hati, murah hati, lapang dada, hormat, qana’ah, zuhud, jujur, sabar, pemaaf, welas-asih, cinta damai, dll. Sedangkan tajalli adalah kondisi spiritual baru yang diperoleh melalui thariqah (proses) takhalli dan tahalli yang terus-menerus (istiqâmah), berupa kesadaran batin akan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak-gerik kehidupan.  
Praktek keagamaan yang diintegrasikan secara sinergis dengan ajaran ihsan seperti inilah yang dibutuhkan sebagai solusi dari krisis moralitas yang melanda anak bangsa. Karena praktek keagamaan yang kering dari spirit keihsanan, hanya akan menciptakan iklim kehidupan umat beragama yang keras, munafik, dipenuhi rasa egoisme, kebencian, dan keangkuhan beragama, sehingga agama hanya akan menjadi candu masyarakat dan gagal menghadirkan rahmat bagi kemanusiaan. Keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi iman (akidah) saja, agama akan menjadi keras, sebab meruang dalam urusan iman-kafir. Demikian juga keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi Islam (fiqih) saja, agama akan menjadi kaku, sebab hanya berkutat dalam halal-haram. Hanya melalui praktek keagamaan yang diintegrasikan dengan nilai-nilai keihsanan akan mampu menghadirkan agama di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sumber keshalehan, sebab esensi agama adalah nilai-nilai moralitas. Berkali-kali Nabi saw. ditanya:
مَا الدِّينُ؟ قَالَ: حُسْنُ الْخُلُقِ
Apakah (esensi) agama itu? Beliau menjawab, moralitas. (HR. Abi Al-‘Ala`)
Hanya saja, yang penting diketahui, masalah moralitas merupakan masalah yang berhubungan dengan aspek hati, karakter atau kepribadian, bukan aspek skill atau intelektual. Untuk membentuk kepribadian generasi bangsa yang bermoral, dibutuhkan sistem pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, skill, atau profesionalisme. Sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual (ta’lîm), tidak menjanjikan keshalehan sosial dan moral anak didik. Bahkan, kecerdasan intelektual yang tidak diintegrasikan dengan kecerdasan moral-spiritual, lebih berbahaya dari kebodohan sekalipun. Oleh karena itu, sangat diperlukan sistem pendidikan penyeimbang yang berbasis pada pembentukan karakter (tarbiyah), sehingga kecerdasan intelektual anak bangsa bisa tumbuh sinergis bersama kecerdasan moral-spiritualnya.  

III.      TANTANGAN ISLAM KEBANGSAAN
Istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata nation dalam bahasa Latin, dari akar kata natio yang berarti sesuatu yang lahir. Pada perkembangan selanjutnya, terminologi bangsa memiliki pengertian dalam arti sosiologis-antropologis dan politis. Dalam terminologi sosiologis-antropologis, bangsa didefinisikan sebagai sebuah perkumpulan orang-orang yang saling membutuhkan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama dalam suatu wilayah. Bangsa dalam pengertian sosiologis-antropologis dijalin oleh ikatan-ikatan seperti ras, sejarah, tradisi, adat-istiadat, bahasa, agama atau kepercayaan, sehingga jalinan ini disebut ikatan primordial. Sedangkan dalam terminologi politis, bangsa diartikan sebagai suatu masyarakat yang disatukan oleh kehendak atau cita-cita yang kuat untuk hidup bersama sebagai warga negara, terlepas dari perbedaan latar belakang, ras, etnik, agama, ataupun golongan. Bangsa dalam arti politis diikat oleh ketundukan pada kedaulatan negara sebagai satu kekuasaan tertinggi, kesatuan wilayah nasional, hukum dan perundangan yang berlaku.
Dalam perspektif Islam, istilah bangsa baik dalam pengertian sosiologis-antropologis maupun dalam pengertian politis, memiliki landasan pembenaran dari Alquran. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menandaskan bahwa, kebangsaan merupakan fitrah dalam penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa, bersuku-suku, juga merupakan kenyataan sejarah manusia. Penciptaan suku-bangsa demikian ini, bukan dimaksudkan sebagai alasan berpecah-belah atas dasar rasisme kebangsaan atau fanatisme kesukuan, melainkan agar bersedia membangun hubungan kemanusiaan secara arif (ta’âruf) dan saling berkompetisi menjadi manusia terbaik di sisi Tuhan (atqâkum).
Indonesia, resmi sebagai sebuah bangsa, lahir sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebuah ikrar persatuan luhur pemuda-pemudi Indonesia yang bertekad untuk satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Peristiwa Sumpah Pemuda merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil diperoleh 17 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ikatan kebangsaan yang diikrarkan bangsa Indonesia, tidak semata dibangun atas dasar kesamaan perangai, melainkan lebih pada kesadaran geopolitik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur yang hidup mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, kebangsaan yang dibangun hanya atas dasar kesamaan perangai lahiriah, seperti ras, etnis, tradisi, agama, bahasa, merupakan ikatan kebangsaan yang usang. Kebangsaan harus tidak hanya memandang perangainya, melainkan harus memperhatikan geopolitiknya, yaitu tempat manusia tersebut berpijak. Prinsip seperti inilah yang selanjutnya melahirkan wajah bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah bangsa yang majmuk yang terdiri dari pluralitas suku, bahasa, agama, adat-istiadat, namun memiliki kehendak, cita-cita, dan komitmen untuk hidup mencapai tujuan bersama dalam satu bangsa, Indonesia merdeka.
Bangsa Indonesia lahir setelah melewati perjuangan panjang dengan mempersembahkan segenap pengorbanan dan penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempohnya sendiri, yang merupakan hasil antara proses sejarah, tantangan perjuangan, dan cita-cita masa depan, yang secara keseluruhan membentuk karakter kepribadiannya. Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah yang selanjutnya ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara, Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak lahir secara tiba-tiba pada 1 Juni 1945. Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah filsafat atau pandangan hidup yang digali melalui pemikiran yang sedalam-dalamnya dari akar budaya, sifat-sifat, dan cita-cita bangsa Indonesia yang diyakini sebagai kenyataan norma-norma dan nilai-nilai yang paling benar, paling adil, paling baik, dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila yang memuat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan, kerakyatan, dan permusyawatan, tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pancasila yang dicurigai oleh sebagian kelompok sebagai pengaruh ajaran Budha atau Yahudi, sama sekali tidak memiliki relevansi. Karena itu, bagi Indonesia, fungsi Pancasila menjadi: pandangan hidup bangsa Indonesia; dasar negara Republik Indonesia; dan jiwa kepribadian bangsa Indonesia.
Sebuah bangsa yang bersedia membangun persatuan di atas realitas kemajmukan atau pluralitas, merupakan bangsa yang berperadaban luhur, sebab telah memiliki kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Bangsa yang memiliki kesadaran kemanusiaan akan sanggup mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial, seperti rasisme, fanatisme dan sektarianisme. Tingginya kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan tersebut, mengilhami bangsa Indonesia di awal kemerdekaannya untuk menolak bentuk negara-agama yang sektarian, dan sepakat memilih bentuk negara-bangsa (nation-state). Pilihan ini merupakan perjanjian luhur dari kebijaksanaan dan kearifan para pendiri bangsa (founding fathers) sehingga Pancasila dan integritas NKRI bagi bangsa Indonesia merupakan harga mati. Inilah yang menjadi tanggung jawab dan tantangan generasi bangsa saat ini, menjaga segala ancaman yang merongrong keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Seperti telah disinggung dalam prolog di atas, bahwa hadir dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang cenderung konservatif, radikal, gemar mengkafirkan, dan mengusung agenda penegakan khilafah, menjadi bahaya laten yang mengancam keutuhan NKRI. Indikasi kehadiran ideologi trans-nasional di Indonesia, ditandai dengan munculnya aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama, seperti pengkafiran, konflik antar aliran, aksi terorisme, peledakan bom dengan mengincar aset dan pemeluk Nasrani, dll. Setelah dilakukan investigasi oleh beberapa instansi, semua pelaku aksi-aksi kekerasan tersebut telah terpengaruhi oleh pemikiran dan ideologi dari luar Indonesia, khususnya Timur Tengah. Di sinilah umat Islam harus cerdas dan kritis dalam mengenali dan merespon gerakan trans-nasional ini, agar tidak mudah terpedaya oleh ideologi yang akan merongrong keutuhan bangsa Indonesia. Untuk mengenali ideologi trans-nasional secara kritis, kita bisa menggunakan pendekatan historis dan sosiologis, yang membentuk radikalisme ideologi Islam trans-nasional.
Dalam catatan sejarah, kita ketahui umat Islam pernah mengekspansi Eropa dalam waktu yang cukup lama. Namun pada kurun berikutnya, Eropa balik mengekspansi bahkan menjajah negara-negara Islam Timur Tengah. Peperangan Eropa melawan imperium Islam berlangsung ribuan tahun, yang diakhiri dengan kehancuran Turki Utsmani. Perang kemudian dilanjutkan Afganistan melawan Rusia dan Amerika, lalu perang Irak, Libya, dan Alqaeda di bawah pimpinan Usama bin Laden, yang semuanya melawan Amerika. Dalam suasana perang seperti itu, secara alamiah, untuk tujuan kemenangan peperangan, umat Islam Timur Tengah akan menggelorakan semangat internalnya, seperti menanamkan kebencian dan permusuhan terhadap agama, budaya, pemikiran, dan seluruh produk bangsa Eropa dan Amerika (Barat). Ayat-ayat perang dan Hadis tentang keburukan kekafiran, akan dijadikan sebagai legitimasi. Demikian juga ayat-ayat dan hadis-hadis tentang jihad dan pahala mati syahid, akan dikobarkan untuk membakar militansi umat Islam menjadi mujahid yang tak takut mati. Sanksi kafir, thaghut, akan dicapkan kepada umat Islam dan siapapun yang enggan melawan Barat.
Dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari umat Islam akan memandang bahwa ajaran Islam adalah melawan kekafiran dengan segala cara. Pemikiran dan kondisi psikologis umat Islam Timur Tengah yang telah terkonstruksi sedemikian rupa, akan menjadi masalah ketika ditransver ke negara-negara Islam di luar Timur Tengah, yang hidup damai dan tidak ada masalah dengan umat lain. Negara yang sebelumnya hidup damai dan bersedia menghormati perbedaan keyakinan, akan bergolak menjadi medan kebencian, permusuhan, caci maki, fitnah, aksi-aksi kekerasan bahkan pembunuhan atau peledakan bom dengan sasaran rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa. Hidup dan tumbuh besar di bawah suasana peperangan seperti inilah yang menjadikan ideologi trans-nasional cenderung radikal dan mudah mengkafirkan. Umat Islam yang arif-bijak, tentu bisa membedakan dan memilah kondisi sosial-politik umat Islam dalam suatu negara, tidak menempatkan semua negara dalam kondisi perang. Karena Alquran dan Hadis juga mengatur secara detail tentang varian situasi dan kondisi masyarakat.
Di luar itu, kelompok yang mengusung ide penegakan khilafah dengan mengkonversi NKRI menjadi negara Islam, juga memicu aksi radikalisme dan kekerasan kepada keyakinan kelompok lain. Gerakan kelompok ini berusaha mendirikan sebuah sistem pemerintahan global. Para penganut gerakan ini selalu mengkampanyekan jargon-jargon general yang indah-indah, mengibarkan simbol-simbol agama, dan meneriakkan kalimat-kalimat ketuhanan. Jargon-jargon yang general, tentu tidak ada yang salah. Siapa yang akan menyalahkan atau menolak jika dikatakan: “Hukum Tuhan adalah yang paling benar. Hukum Tuhan pasti membawa kemaslahatan?”. Siapa yang tidak membenci kekafiran? Seluruh umat beriman, pasti membenarkannya. Lebih-lebih di tengah kondisi masyarakat yang dihimpit keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, maka jargon-jargon dan simbol-simbol suci yang menjajikan surga demikian, tentu sangat menarik dan mempesona.
Akan tetapi, giliran pendefinisian terma-terma keagamaan, seperti siapa yang disebut muslim, kafir, sesat, kâffah dan seterusnya, maka jawabannya menjadi tidak sederhana. Demikian juga pada tataran realisasi gagasan khilafah yang diusung. Bagaimana, misalnya, sistem suksesi khalifah? Hukum Islam yang akan diundangkan, Islam versi siapa? Apakah ada jaminan rakyat memiliki kontrol kekuasaan, dan lain sebagainya. Tetapi segera pula, jawabannya adalah mengiblat pada sistem politik, sistem ekonomi, dan kebudayaan Islam konvensional di jazirah Arabia abad pertengahan, khilafah. Dengan sistem khilafah, komunitas internasional akan dipimpin oleh seorang manusia yang bukan Nabi. Seluruh kekuasaan negara dan pemerintahan terpusat di tangan sang khalifah. Dialah yang membuat aturan hukum, mengontrol, mengadili, dan rakyat dunia wajib tunduk, tanpa kewenangan mengkritik, karena hukum yang dibuatnya akan diklaim sebagai kebenaran Tuhan. Di tangan dia yang bukan Nabi itu, Alquran dan Hadis ditafsirkan menurut perspektifnya sendiri, kemudian mengatakan: “Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Tuhan, maka dia kafir, zalim dan fasik”.
Kalimat-kalimat suci seperti ini, dijadikan senjata paling ampuh untuk menumpas lawan-lawan politik atau ideologinya, seperti dalam banyak fakta sejarah pemerintahan yang didasarkan pada kekuasaan agama tertentu.  Ideologi trans-nasional, dengan begitu, mengobsesikan sebuah negara otoriterianisme gaya baru. Sebuah negara yang ditegakkan melalui kekuasaan sentralistik, sektarian, represif, dan despotik. Dalam konteks politik kebangsaan yang kompromistik, ideologi trans-nasional menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI. Lantaran itulah, umat Islam tidak perlu terpesona dengan jargon dan simbol-simbol keagamaan yang dikampanyekan pengusung ideologi trans-nasional yang sebenarnya tidak lebih hanya sekedar intrik-intrik politik. Yakinlah, bangsa Indonesia bisa religius meskipun tanpa formalisasi syariat maupun penegakan khilafah. Kemiskinan, korupsi, dekadensi moral, tidak ada hubungannya dengan khilafah.

IV.      PENUTUP
Sebagai penutup, akan kami sampaikan beberapa poin penting dari makalah ini, dan beberapa saran untuk generasi Bhinneka Tunggal Ika.
Pertama, pasca-reformsi, bangsa Indonesia dilanda oleh krisis moralitas dan krisis semangat kebangsaan.
Kedua, dalam tinjauan agama, krisis moralitas anak bangsa diakibatkan oleh praktek keagamaan yang tidak diintegrasikan dengan nilai-nilai keihsanan secara sinergis, sehingga agama menjadi kering dan gagal menghadirkan keshalehan kehidupan.
Ketiga, krisis kebangsaan, yang ditandai dengan munculnya aksi-aksi intoleran seperti kekerasan, radikalisme, terorisme, dan ancaman integritas NKRI, diakibatkan oleh gempuran ideologi-ideologi trans-nasional.
Keempat, sebagai solusi dari krisis moralitas anak bangsa, dibutuhkan internalisasi ajaran ihsan. Keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi iman (akidah) saja, agama akan menjadi keras, sebab meruang dalam urusan iman-kafir. Dan keagamaan yang hanya fokus pada aspek dimensi Islam (fiqih) saja, agama akan menjadi kaku, sebab hanya berkutat dalam halal-haram. Ihsan sebagai puncak religiusitas, dibutuhkan untuk menjadi sumber moralitas.
Kelima, fenomena kebangsaan atau nasionalisme, merupakan kenyataan sejarah manusia yang tidak bisa dipungkiri, bahkan merupakan fitrah dalam penciptaan manusia, yang memperoleh pembenaran Alquran.
Keenam, ikatan kebangsaan yang diikrarkan bangsa Indonesia, tidak semata dibangun atas dasar kesamaan perangai lahiriah yang usang, melainkan lebih pada kesadaran geopolitik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur yang hidup mengakar dalam jiwa kepribadian bangsa Indonesia. Dari situ, lahir semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketujuh, Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang, dan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kedelapan, pilihan bentuk negara-bangsa merupakan perjanjian luhur dari kebijaksanaan dan kearifan para pendiri bangsa (founding fathers) sehingga Pancasila dan integritas NKRI bagi bangsa Indonesia merupakan harga mati.
Kesembilan, ideologi trans-nasional merupakan gerakan organisasi politik yang terlahir sebagai pemecahan dari persoalan-persoalan yang muncul di Timur Tengah. Keberadaan Islam trans-nasional menjadi anti-tesis terhadap model Islam kebangsaan atau keIndonesiaan. Sebab Islam kebangsaan merupakan organisasi politik-keagamaan yang lahir dari pergumulan dan pemecahan persoalan-persoalan yang terkait dengan bangsa Indonesia. Islam kebangsaan menggunakan Alquran dan Hadis untuk pemacahan masalah-masalah di Indonesia, sedangkan Islam trans-nasional menggunakan Alquran dan Hadis untuk pemecahan masalah di Timur Tengah. Problem pasti akan muncul ketika rumusan pemecahan masalah Timur Tengah dipaksakan sebagai pemecahan masalah di Indonesia.
Terakhir, sebagai saran, warga NU dan Muhammadiyah sudah seharusnya bekerjasama untuk berada di garda terdepan melawan setiap gerakan-gerakan trans-nasional yang akan mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI. NU dan Muhammadiyah harus menjadi Dua Sayap Garuda yang akan terus mengawal dan menjaga Pancasila dan NKRI, untuk mewujudkan cita-cita bersama, menjadi bangsa yang adil, makmur dan sentosa.







_____________
Disampaikan:
Oleh Ust. Mudaimullah Azza dalam seminar REVITALISASI ISLAM KEBANGSAAN bersama siswa dan pengajar SMU Unggulan Se-Malang Raya, Tanggal 29 Juli 2013.


* Adalah santri Lirboyo yang masih aktif menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Pon. Pes. Lirboyo Kota Kediri. Penulis juga merupakan aktivis Bahtsul Masa’il dengan pemikiran progresif, visioner dan kosmopolit.

Bagikan Tulisan Ini




  1. pak daim yang terhormat.
    kenapa bapak menggunakan bahasa yang sangat muluk2 atau tinggi untuk arti yang sangat sederhana????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yach.. biar keren ajah. hehe
      The most intelligent wisdom is in humor.

      Hapus
    2. heheheheh
      tapi bukankah itu akan menjadi penghambat bagi mereka yang tidak faham akan bahasa yang bapak gunakan?

      Hapus
    3. Retorika, itu bagian dari seni. Lewat tulisan, saya tidak sekedar menyampaikan informasi, tapi mengajak pembaca bermain intuisi. Kepekaan intuisi orang tidak sama. Yang merasa "terhambat", yuk belajar lebih giat. :-)

      Hapus

 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet