Pembicaraan
tentang issu modern, dalam banyak konteks, sering dirujukkan pada historis era Renaissance
(Kebangkitan Kembali) abad ke-15 dan 16 di Eropa, setelah sekian waktu –selama
Abad Pertengahan– bangsa Eropa hidup dalam masa yang mereka sebut Dark Age
(Era Kegelapan). Sebuah masa di bawah dominasi dogma-dogma Gereja yang
mengungkung kemerdekaan dan kebebasan manusia. Era Renaissance menjadi
titik tolak bagi bangsa Eropa menuju peradaban modern yang mereka sebut dengan Enlightenment atau Aufklarung (Era Pencerahan)
pada abad ke-18.
Secara historis,
bergulirnya istilah modern –yang selanjutnya melahirkan derivasi kata turunan: modernisme,
modernisasi, dan modernitas– adalah merupakan fenomena sejarah kudeta sosial-kebudayaan
untuk menghentikan, menyudahi, memutus, dan melepaskan diri dari cengkraman
sejarah sebelumnya yang ‘gelap’, dan menghendaki sesuatu yang baru dan ‘cerah’. Dengan
kata lain, modernisasi adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama (Abad
Pertengahan) oleh nilai-nilai baru (modernitas). Karena itu,
modernisme merupakan
keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang tradisional, bahkan mengambil posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai lama demi terciptanya nilai-nilai baru.
Pada fase berikutnya, term
modernisme mengalami pergeseran dan perluasan makna menjadi: paham, pandangan,
dan sikap hidup yang berbasis pada kekinian untuk menghadapi realitas kontemporer secara relevan sebagai konsekuensi dinamis dari
kematangan manusia. Dalam paham
modernisme, masa kini menjadi titik sentral sebagai sumber sejarah, bukan masa
lalu.
Secara fenomenologis,
era modern ditandai dengan menjadikan rasionalisasi sebagai ruh di setiap
dimensi kehidupan secara massif. Modernisme menempatkan rasio di atas wahyu
(dogma-dogma Gereja), kemajuan di atas kemapanan, dan kekinian di atas tradisi masa
silam. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di
hadapan rasio, supremasi kekuasaan digugat melalui kritik, dan keshahihan tradisi
dipertanyakan berdasarkan relevansi dan harapan
masa depan yang lebih baik.
Di era modern, sejak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan
proses modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan
sikap-sikap naif,
jumud, dogmatis, dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri
dalam suatu proyek sejarah umat manusia mencapai kemajuan-kemajuan masa depan. Karena itu, ledakan revolusi,
evolusi, transvormasi, dan progresivitas, baik di bidang sains, teknologi, industri, ekonomi,
politik, budaya, informasi, pemikiran, dll., dalam era modern melaju pesat
menjadi fenomena dahsyat dan loncatan sejarah.
Realitas dahsyat era modern yang menjadi capaian dan prestasi
sejarah melalui proses
modernisasi
ini, tidak luput menciptakan ekses-ekses negatif yang disebut krisis
modernisme. Bahkan krisis modernisme ini, telah membidani bagi kelahiran era
post-modernisme, yang datang memberikan oto-kritik terhadap kegagalan
modernisme memberikan janji-janji kehidupan yang lebih baik. Setidaknya ada
lima alasan penting terjadinya krisis modernisme:
- Modernisme
dinilai
telah gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis bagi kehidupan seperti
diharapkan oleh para pendukung fanatiknya.
- Terdapat
banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
- Ilmu pengetahuan
modern tidak benar-benar
mampu membebaskan dari kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
- Ada semacam keyakinan
bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi
manusia. Namun ternyata keyakinan tersebut keliru dengan munculnya berbagai
patologi (penyakit) sosial, seperti dekadensi moral, kelaparan,
kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan kerusakan lingkungan, yang terus mengiringi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
- Ilmu-ilmu modern acuh terhadap
dimensi-dimensi mistis, metafisis, dan spiritual manusia, akibat
terlalu mementingkan atribut fisik, materi, dan rasio, sehingga
kegersangan ruhaniah benar-benar melanda manusia modern.
Disamping itu, lunturnya ikatan sosial, melemahnya kekuatan norma
agama, dan runtuhnya etika tradisional, telah memicu munculnya berbagai problem sosial yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Krisis
modernisme telah mencoreng dan menjadikan wajah modernisme menjadi tampak buruk
dan menakutkan.
Bahkan bagi kalangan eksklusif, modernisme telah menjelma sebagai hantu sejarah
yang sangat mengerikan.
Capaian prestasi era
modern yang luar biasa hebat di satu sisi, dan krisis modernisme yang sangat
destruktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan di sisi lain, membuat respon yang
variatif dalam menyikapi kenyataan era modern. Setidaknya, ada tiga kelompok manusia
yang berbeda dalam merespon arus modernitas yang terus bergulir tanpa kompromi
menggilas ruang dan waktu:
1. Anti Modernitas
Anti-modernitas adalah kelompok manusia yang apatis, menolak, dan –bahkan
dalam titik ekstrem– alergi dengan segala produk modernitas, entah dalam bidang
sains, teknologi, ekonomi, politik, budaya, seni, pemikiran, dll. Di mata
kelompok anti-modernitas, yang tampak dari realitas dunia modern adalah wajah buruk
peradaban. Dunia modern dengan segala produk kontemporernya dipandang tidak
sebanding dengan ekses destruktif yang ditimbulkan, yang menghancurkan
supremasi khazanah lama yang diagungkan.
Pandangan hidup manusia anti-modernitas bersifat eksklusif dan
anti-perubahan, yang tertutup terhadap segala yang baru. Kelompok ini mengalami
rasa kecemasan, ketakutan, dan skeptis yang akut dengan modernitas, sehingga memilih
melarikan diri dari kenyataan dunia modern dengan mengasingkan dan menutup diri
dalam romantisme masa lalu. Sederhananya, dalam mindset kelompok manusia
anti-modern, modernitas bukan suatu realitas yang menantang untuk dihadapi,
melainkan hantu sejarah yang menakutkan dan harus dijauhi.
2. Korban Modernitas
Korban modernitas adalah kelompok manusia yang over inklusif terhadap
realitas dan segala produk dunia modern. Saking terbukanya, kelompok ini
praktis mengalami syndrom modernitas. Mereka menjadi abai dan krisis empati dengan
nilai-nilai tradisional dan masa lalu. Bahkan ia kehilangan daya filter untuk
membedakan antara hakikat kemajuan dengan kehancuran. Kondisi demikian, lebih
dikarenakan faktor ketidaksiapan secara mental untuk menghadapi fenomena era
modern, sehingga kelompok inilah sebenarnya yang memainkan peran penting krisis
modernisme.
Dalam dunia teknologi, eksistensi kelompok ini bisa dijumpai pada
tipikal orang-orang gaptek (gagap teknologi) dalam artikulasi yang luas. Gaptek
dalam pengertian yang luas bukan hanya mereka yang terasing dengan istilah dan
kegunaan produk-produk teknologi modern, tapi sekaligus mereka yang akrab
dengan teknologi modern namun tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya
secara produktif. Kelompok ini cenderung memanfaatkan fasilitas teknologi
modern untuk kepentingan-kepentingan yang merugikan. Fenomena pemanfaatan
teknologi modern yang justru menjadi perusak bagi mentalitas, moralitas, dan
produktivitas, adalah indikasi dari ketidaksiapan menghadapi era modern,
sehingga ia menjadi korban dari modernitas itu sendiri.
Dalam dunia ekonomi, eksistensi korban modernitas bisa dijumpai pada
tipikal penganut konsumerisme. Yaitu ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi
secara berlebihan dan berkelanjutan. Tipikal konsumtif menjadikan manusia
pecandu dari suatu produk yang sulit atau tidak bisa dihilangkan, sehingga
menjadi penyakit jiwa yang menjangkiti masyarakat.
Dalam dunia pergaulan sosial, eksistensi korban modernitas bisa dijumpai
pada kelompok masyarakat hedonis-pragmatis. Hedonisme adalah paham gaya hidup
yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan duniawi. Sedangkan pragmatisme
adalah pandangan hidup yang berorientasi pada kegunaan praktis untuk memenuhi
kepentingan subyektif individu, bukan pada pengakuan kebenaran obyektif,
sehingga menjadikan manusia cenderung individualis dan mengabaikan kepentingan
kolektif (gotong-royong). Trend gaya hidup masyarakat yang suka pesta minuman
keras, pesta narkoba, seks bebas, pornografi, porno aksi, korupsi, dll., yang
semua berujung pada kesenangan dan kenikmatan duniawi, adalah ekspos paling
konkrit dari perilaku manusia hedonis-pragmatis.
Dalam dunia pemikiran-keagamaan, eksistensi korban modernitas bisa
dijumpai pada tipikal penganut liberalisme. Kelompok liberalisme pemikiran mentasbihkan
rasio sebagai instrumen utama dalam memahami teks keagamaan. Spirit dari
kelompok liberalis sebenarnya sangat mulia, yaitu melakukan gerakan pembaharuan
dan pembebasan dari hegemoni taqlid buta yang mengakibatkan kejumudan dan
kemunduran umat. Namun, karena dalam penggunaan rasio terlalu bebas, radikal,
dan ekstrem, hingga tak jarang membentur wilayah-wilayah qath’i yang
tidak mengizinkan aktivitas ijtihad, serta superioritas moralnya yang mulai
diragukan, selanjutnya rasionalitas kelompok liberal tidak lagi dianggap
sebagai penjelasan keagamaan yang meyakinkan.
3. Penakluk
Modernitas
Penakluk modernitas adalah kelompok manusia dengan mindset dan pandangan
hidup yang inklusif-selektif dalam merespon arus modernisasi. Bagi kelompok
manusia penakluk modernitas, era modern bukanlah hantu sejarah yang harus
dijauhi, melainkan realitas sejarah yang menantang untuk ditaklukkan.
Kendati embrio modernisme lahir dan besar dari rahim peradaban Barat,
namun modernisme bukanlah monopoli dunia Barat. Karena itu, modernisasi
bukanlah westernisasi (pembaratan). Modernisasi adalah keniscayaan dari
dinamika sejarah setiap umat manusia. Modernisasi merupakan proses evolusi
sejarah menuju kedewasaan peradaban yang sangat fitri. Menolaknya secara total,
sama saja dengan melawan derap perjalanan waktu. Dan itu bukan pilihan cerdas.
Manusia penakluk modernitas percaya bahwa, segala zaman selalu dianggap
modern oleh masanya. Karenanya, manusia penakluk modernitas senantiasa mengapresiasi
secara kritis, adil, dan proporsional kepada semua zaman. Manusia penakluk
modernitas adalah putra zaman, atau manusia sejarah yang arif terhadap tradisi
dan masa lalu, serta tidak skeptis dan melarikan diri dari realitas dunia
modern, namun berani menantang dan menaklukkannya agar sanggup tampil di garda
terdepan memimpin dinamika modernitas menuju peradaban madani.
Ciri paling khas tipikal manusia penakluk modernitas adalah berpandangan
arif dan progresif, namun sekaligus kritis terhadap nilai-nilai destruktif dari
era modern.
Tantangan
dan Sikap Generasi Islam
Dari
analisa sederhana di atas, ada poin penting yang perlu ditegaskan. Bahwa,
modernisme bukanlah degradasi moral, rapuhnya kekuatan norma agama, runtuhnya etika tradisional, lunturnya
ikatan sosial, ataupun mengeringnya dimensi
spiritual. Modernisme bukanlah krisis modernisme. Krisis
modernsime adalah faktor eksternal dari modernisme. Kendatipun wajah modernisme
diwarnai dengan ekses-ekse destruktif, namun tidak berarti modernisme tidak
bisa dipisahkan darinya. Dan di sinilah titik yang menjadi tantangan dan
tanggung jawab sejarah bagi generasi muda Islam.
Generasi muda Islam dilahirkan bukan untuk tunduk, menyerah, dan pasrah menjadi
korban dari kerusakan zamannya. Generasi muda Islam dilahirkan untuk menjalankan
misi besar sebagai pemimpin peradaban zamannya (khalîfah).
إِنَّا جَعَلْنَاكَ
خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ
بِالْحَقِّ (ص: 26)
|
Sesungguhnya
Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil. (QS. Shâd: 26)
|
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
(البقرة : 30)
|
Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah:
30)
|
Generasi muda
Islam dilahirkan bukan untuk menjadi manusia kalah, lemah, hina, dan nestapa, tapi
untuk memenangakan sebuah kemuliaan zaman yang berperadaban luhur.
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (آل عمران: 139)
|
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah
(pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 139)
|
Karena itu,
dari tiga jenis kelompok manusia yang diuraikan di atas, bagi generasi muda
Islam tidak ada pilihan kecuali menjadi manusia penakluk modernitas. Generasi
muda Islam harus memutuskan pilihan cerdas ini. Sebab, sikap demikan merupakan
pilihan sejarah (the history choise). Tanpa keberanian menjadi manusia
penakluk modernitas, sama saja dengan mengizinkan ‘Dajal-Dajal’ sejarah
menghancurkan peradaban manusia.
Menjadi manusia penakluk modernitas bukanlah pilihan yang diharamkan.
Sebab, generasi Islam memiliki landasan ideologis untuk menjadi manusia
penakluk modernitas, yang bersedia mengapresiasi kearifan sejarah dan masa
lalu, serta tidak terasing dengan zamannya.
المُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ
وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيدِ الْأَصْلَحِ
|
Melestarikan khazanah klasik yang
relevan dan bersikap akomodatif-selektif terhadap modernitas yang positif.
|
Landasan
ideologis ini seharusnya memberikan tenaga bagi keberanian generasi muda Islam untuk
menyudahi masa lalu yang dipastikan telah kehilangan relevansi, dan menumbuhkan
rasa percaya diri untuk menantang era modern. Generasi muda Islam tidak bisa
dibenarkan secara ideologis untuk berlama-lama menutup diri dan ketakutan
dengan realitas modern, sebab di atas pundaknya memikul amanah sejarah. Amanah
yang tidak akan terbayar hanya dengan terus-menerus bersikap eksklusif dan
anti-modern. Sikap menutup diri adalah cerminan dari ketakutan, kekalahan, dan
frustasi terhadap kenyataan modernitas. Sikap menutup diri hanyalah usaha
protektif untuk penyelamatan diri sendiri, dan mengabaikan realitas zaman.
Amanah sejarah generasi Islam tidak akan tunai hanya dengan strategi proteksi,
melainkan butuh strategi ekspansi. Yaitu kesediaan untuk bersikap terbuka dan
keluar melibatkan diri menuju medan dinamika modern.
Agar
generasi muda Islam memungkinkan memiliki kepantasan tampil menjadi manusia
penakluk modernitas, ada beberapa kriteria ideal yang harus dipenuhi.
1. Memiliki karakter manusia
lahir-batin
Yaitu
pribadi yang memiliki integritas kecerdasan intelektual (lahiriah) dan
kecerdasan moral-spiritual (batiniah). Kecerdasan intelek (rasio) menjadikan
seseorang memiliki kesiapan bersaing dan menjadi pemenang dalam kompetisi dunia
modern. Sedangkan kecerdasan moral-spiritual (hati) akan melindunginya dari
terjangan krisis modernisme.
Kecerdasan
intelektual tanpa diintegrasikan dengan kecerdasan moral-spiritual, akan membentuk
karakter manusia-manusia timpang, saintis namun tak bermoral, yang jauh lebih
berbahaya dari manusia bodoh sekalipun. Sebaliknya, kecerdasan moral-spiritual
tanpa diintegrasikan dengan kecerdasan intelektual akan membentuk karakter manusia-manusia
ironi, religius namun psikopat. Dan orang-orang dengan karakter timpang dan
ironi seperti inilah yang menghegemoni peradaban modern. Karenanya, di era
modern, betapa banyak orang pintar namun jahat dan membodohi umat, orang kaya
namun justru memeras masyarakat, dan orang berkuasa namun justru menindas
rakyat. Sebaliknya, betapa banyak orang berhati baik, shalih, bertaqwa, namun
tidak kaya, tidak berkuasa, dan tidak bisa berbuat apa-apa yang berarti bagi peradaban
modern.
Era
modern membutuhkan pribadi-pribadi dengan integritas keilmuan lahir-batin:
saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir yang ahli dzikir, filsuf
yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang beriman, budayawan yang
budiman, artis yang agamis, hartawan yang zuhud dan dermawan.
2.
Memiliki karakter
manusia sejarah
Yaitu
pribadi yang memiliki kearifan terhadap tradisi dan masa lalu, serta tidak
terasing dengan zamannya. Manusia dengan tipikal seperti ini akan mampu menjadi
jembatan transvormatif antar zaman. Ia mewarisi khazanah masa klasik, dan ia
juga mampu mengikuti kompetisi masa modern secara progresif dan produktif, sehingga
ia memiliki prestasi sejarah yang bisa diwariskan untuk masa depan.
Inilah yang disebut manusia sejarah, atau putra zaman. Bukan generasi
hebat yang hanya pintar membanggakan masa lalu, namun terasing dan tak berdaya
menghadapi zamannya sendiri. Sebuah kalam syair mengatakan:
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَذَا أَبِي * وَلَكِنَّ
الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَأَنَا ذَا
|
Generasi muda bukanlah mereka yang
hanya bisa membanggakan leluhurnya (masa lalu), tetapi generasi muda adalah
mereka yang sanggup membuktikan prestasi dirinya sendiri (modern).
|
3. Memiliki karakter
manusia dunia-akhirat
Yaitu
pribadi yang memiliki obsesi kesuksesan duniawi (fî ad-dunyâ hasanah) sekaligus
kesuksesan ukhrawi (fî al-‘âkhirah hasanah). Dalam mindset manusia
penakluk modernitas, dunia dipandang sebagai ladang surga (mazra’ah al-‘âkhirah).
Artinya, kehidupan dunia harus di-hasanah-kan agar gemerlap kemegahan
duniawi tidak menjadi fitnah bagi manusia, melainkan menjadi sarana dan fasilitas
untuk menggapai keselamatan ukhrawi.
Islam tidak mengharamkan hal-hal yang bersifat duniawi. Islam juga tidak
mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia “ndonyo bloko” ataupun “akherot
bloko”. Kekayaan, kekuasaan, popularitas, kemajuan, progresivitas, sains,
teknologi, dan produk-produk modernitas lainnya, bukan termasuk sesuatu yang
bernilai duniawi yang harus ditolak dan dijauhi, sepanjang bisa diperalat
sebagai instrumen (wasilah) mencapai prestasi yang bernilai ukhrawi.
Rasulullah saw. bersabda:
كم من عمل يتصور بصورة أعمال الدنيا ويصير بحسن النية
من أعمال الآخرة وكم من عمل يتصور بصورة أعمال الآخرة ثم يصير من أعمال الدنيا
بسوء النية.
|
Betapa banyak aktivitas duniawi
yang menjadi bernilai ukhrawi karena di dasari niat baik, dan betapa banyak
ritual-ritual ukhrawi justru menjadi bernilai duniawi lantaran buruknya niat.
|
___________________
Disampaikan:
Oleh: Daimullah Goeztav, dalam seminar: Menyikapi
Perkembangan dan Pergaulan Remaja Islam Di Era Modern, di Pon. Pes. Terpadu
Arrisalah, Lirboyo Kota Kediri, pada tanggal 20 Januari 2013.
itulah sebenarnya hakikat doktrin "ITTIBA' SALAF" karena tokoh-tokoh kita terdahulu tidak tinggal diam dengan perubahan, pembaharuan serta kemajuan zaman.
BalasHapus