April 30, 2012

PLURALISME AGAMA


Antara Puncak Moralitas Beragama dan Pengkaburan Agama-Agama


Pluralitas Makna Pluralisme Agama

Sejak digulirkannya di abad ke-15, gagasan pluralisme (agama) terus menggelinding menjadi term debatable yang cukup tajam di banyak kalangan. Berbagai ta’rif telah coba diciptakan oleh banyak pemikir, namun justeru menciptakan silang sengkarut definisi dan melahirkan “pluralitas” makna pluralisme itu sendiri. Konflik definitif yang tak kunjung final ini, telah membelah pandangan masyarakat menjadi setidaknya dua kelompok dalam menyikapi isu keagamaan era global ini, yaitu kelompok yang menerima, dan kelompok yang menolak. Di Indonesia, puncak kontroversi dua pandangan masyarakat ini ditandai dengan dikeluarkannya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 yang mengharamkan pluralisme agama di satu pihak, dan penganugerahan gelar Bapak Pluralisme kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Presiden SBY, di pihak lain.
Fatwa pengharaman MUI itu mungkin bisa dimengerti jika pemaknaan pluralisme seperti apa yang didefinisikan MUI secara monolitik (tunggal). Yaitu pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.[1] Namun realitasnya, definisi pluralisme agama tidak bersifat tunggal, bahkan bisa didapati banyak teolog yang memberikan definisi yang “plural” terhadap pluralisme agama. Berikut ini adalah beberapa pandangan para teolog dalam mendeskripsikan makna pluralisme agama.
Pertama, Karl Rahner. Oleh banyak kalangan, Rahner disebut-sebut sebagai teolog agama Katholik terbesar di abad 20. Pemikirannya memiliki pengaruh signifikan terhadap teologi Vatican Council. Diantaranya tentang kehadiran karunia Tuhan di luar gereja setelah sebelumnya Vatican Council ngotot dengan pendirian eksklusifnya yang terkenal: extraeclessiam nulla salus (di luar gereja, tidak ada keselamatan). Lebih jauh lagi, dalam pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian disebut sebagai orang Kristen Anonim (Anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner, masih menjadi norma di mana kebenaran berada, dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan keselamatan itu. Karenanya, Rahner mengatakan, agama lain sebenarnya adalah bentuk implisit dari agama yang kita anut.
Dalam pandangan Karl Rahner ini, pluralisme tidak memandang agama lain setara, namun juga tidak menegasikan (nafyun) sama sekali. Artinya, mempercayai kebenaran dan keselamatan dimungkinkan ada pada Agama lain, namun agama yang dipeluknya tetap dipercaya memiliki kebenaran yang “lebih”.
Kedua, John Harwood Hick. Hick adalah seorang filosof agama kontemporer yang concern terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama musti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran (truht claim) satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan penryataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding kebenaran agama lain. Karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah untuk penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Budha Anonim dan sejenisnya. Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu Realitas Tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar dari pada yang lain, karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari Realitas Tunggal tersebut. Realitas Tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencarinya. Karena Realitas Tunggal itu bersifat Maha Baik, Maha Besar, Maha Luas, Maha Agung, Maha Tak Terbatas, dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenal-Nya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought and experienced (Realitas Tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan dan faktor kulturallah yang selanjutnya menyebabkan respon orang tentang gambaran Realitas Tunggal itu menjadi berbeda-beda. Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama, sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama tersebut musti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan etik bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, Hick menyatakan, bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan.
Dalam pandangan John Hick ini, pluralisme berarti paham pengakuan kesamaan agama-agama. Realitas perbedaan agama-agama menjadi tidak penting, karena disamping dinilai hanya simbol-simbol ekspresi keagamaan lahiriah, yang paling esensial dari umat berTuhan adalah kesanggupan melahirkan fungsi soteriologis agama. Yakni keber-agama-annya mampu memberikan pengaruh positif bagi kehidupan sosial. Inilah yang lalu disebut sebagai aliran paham teologi global (global teology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (transcendent Unity of Relegion) yang menjadi salah satu isu keagamaan era global, dimana keduanya mengharamkan adanya klaim kebenaran (truht claim). Pandangan pluralisme John Hick inilah yang menjadi rujukan banyak akademisi dan pengkaji pluralisme di Barat.
Dalam wacana dunia sufi, pandangan pluralisme Hick demikian sebenarnya bukan suatu wacana yang baru. Kita bisa bandingkan dengan pandangan-pandangan mistikus kontroversial seperti wihdatul adyân (kesatuan agama-agama), wihdatul wujûd (manunggaling kawula-Gusti) dan lain sebagainya. Ini sekaligus menandaskan bahwa, wacana global teology atau transcendent Unity of Relegion tidak hanya pernah hadir dalam domain teologi non-Islam, tetapi juga merupakan bagian dari wacana klasik dalam teologi Islam.
Ketiga, John Cobb Jr. Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme agama versi Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam dialog Kristen dan Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu dan sebagainya adalah menuju Realitas Tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. Selain itu, Cobb Jr juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain, kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama. Dalam hal ini, kalau, misalnya, beberapa agama bertemu (encounter) satu dengan lainnya, maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling diperkaya oleh pengetahuan mereka tentang agama-agama lain. Mereka dapat belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Dalam pandangan Cobb Jr, pluralisme tetap mengakui perbedaan agama-agama. Pluralisme hanya mengajarkan pentingnya dialog antar agama secara jujur dan intim yang melampaui sekedar kebersediaan mentolerir perbedaan antar agama, tapi bahkan bersedia memahami, mengerti, dan peduli kepada umat lain untuk menciptakan ruang interaksi yang humanis-dialogis sehingga memperkaya pengetahuan keagamaan masing-masing. Dengan pemaknaan seperti ini, pluralisme melampaui batas toleransi, sebab bersedia menganggap eksistensi agama lain bernilai. Toleransi bisa menciptakan iklim menahan diri dan menenggang rasa kesalahan orang lain, tapi tidak mengharuskan untuk memahami dan peduli dengan orang lain. Toleransi adalah konsep hubungan kemajemukan yang pasif. Orang lain (sang liyan) diakui ada, tetapi kehadirannya tidak bermakna apa-apa.[2] Interaksi dan dialog kemajemukan yang jujur dan intim, memerlukan pluralisme. Sebab pluralisme mengharuskan keterlibatan tiap entintas keragaman secara aktif agar terbangun perbedaan yang produktif.
Keempat, Raimundo Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). Sejarah keagamaan dan intelektual Pannikar dapat dikatakan sangat kompleks. Dia dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katholik Roma. Panikkar sendiri menjadi seorang pastur Katholik yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang sains, falsafah dan teologi. Dia menuliskan tentang pertemuannya (encounter) dengan agama lain: “saya meninggalkan keKristenan saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Buddha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen.” Pendekatannya terhadap agama lain, merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa kita harus bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasanya sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan men-challenge agama-agama yang lain dalam jaringan interaksi yang dia sebut sebagai dialog antar agama. Karenanya, Panikkar menyatakan, masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan chalengge antara agama yang satu dengan agama lain.
Kelima, Wilfred Cantwell Smith. Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945. Ketika kembali ke Canada dia diangkat menjadi professor untuk studi perbandingan agama di Universitas Mc Gill dan kemudian berhasil mengorganisir berdirinya Mc Gill Institute of Islamic Studies. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions.
Menurut Smith, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu, Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain. Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukan ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion, Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala, dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan, bahwa Tuhan dari setiap agama akan senantiasa diyakini sebagai suatu berhala bagi agama lain. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai Kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia. Dengan pemahaman pluralisme demikian ini, Smith mengharapkan adanya toleransi yang bukan sekedar menerima perbedaan agama, melainkan sebuah perjumpaan positif antar umat beragama yang berbeda-beda.  
Dari pluralitas definisi pluralisme di atas, bisa kita tarik, paling tidak, tiga versi berbeda dalam mendeskripsikan tentang pluralisme agama. Pandangan pertama, cenderung masih malu-malu menyamakan agama-agama, sekaligus tidak tegas menolak adanya kemungkinan kebenaran transenden di agama lain. Pandangan kedua, tegas mengatakan sejatinya semua agama merupakan manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Dan karenanya, haram adanya klaim kebenaran. Sedangkan pandangan ketiga, keempat, dan kelima, relatif sama, bahwa antar umat beragama tidak harus mempercayai kebenaran dan keselamatan ada di agama lain. Pluralisme menurut tiga versi terakhir hanya mengharuskan hubungan antar agama sebagai hubungan yang bernilai positif. Sebuah hubungan yang dibangun atas dasar keinginan saling memahami, mengerti, peduli, dan menguntungkan, bukan atas dasar permusuhan dan kebencian.
Demikianlah potret sederhana kemulut konflik definisi tentang pluralisme agama. Namun sampai di sini, konflik tersebut masih berlangsung di jagad teologi Kristen Eropa. Seiring dengan spektrum pemikiran dunia global, ide pluralisme agama mulai didakwahkan ke ranah teologi agama-agama, termasuk Islam. Bebarapa da’i pluralis Muslim kemudian menyerukan gagasan pluralisme di tengah umat Islam dengan gencar, namun sayangnya, tanpa diimbangi dengan memberikan pengertian definitif yang jelas dan memadai. Bahkan tak jarang mengartikulasikan pluralisme sama dengan istilah pluralitas, atau sama dengan istilah toleransi. Tokoh-tokoh pluralis Muslim lebih disibukkan dengan kampanye nilai-nilai horizontal pluralisme dalam kaintannya dengan hubungan antar umat beragama, dari pada memberikan penjelasan ajaran vertikal pluralisme dalam kaitannya dengan teologi Islam. Padahal, justeru di ajaran kedua inilah titik paling sensitif bagi umat beragama. Karenanya, lumrah apabila kehadiran paham pluralisme agama mengundang kebingungan dan kontroversi umat Islam.

Ajaran dan Misi Pluralisme Agama
Pecahnya konflik antar agama dalam lembaran sejarah manusia, disinyalir timbul dari ajaran setiap agama yang eksklusif. Setiap agama mengajarkan pada pemeluknya untuk mendaku hanya agamanyalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang lain salah dan celaka. Paradigma eksklusif inilah yang ditengarai menjadi faktor berbahaya yang akan terus memicu bencana kemanusiaan dalam sejarah umat beragama.
Banyak teolog percaya, episode berdarah antar umat beragama tidak akan bisa disudahi tanpa merubah teologi eksklusivisme setiap agama. Dibutuhkan sebuah paradigma teologi inklusivisme untuk memungkinkan perjumpaan agama-agama terhindar dari konfrontasi frontal, dan bersedia mengupayakan titik temu kehidupan antar agama. Dari sini, dimulailah pergeseran dari paradigma eksklusivistis-eklesiologis menuju paradigma inklusivistis-universalistis. Sebuah paradigma baru yang menyatakan kebenaran dan keselamatan berlaku universal yang juga hadir dalam agama-agama lain. Paradigma ini memberikan ruang terbuka yang luas bagi perjumpaan kehidupan antar iman dalam iklim yang dialogis.
Kendati demikian, paradigma eksklusifisme ini dinilai belum benar-benar berhasil memposisikan agama lain secara setara. Agama lain diakui kebenarannya, namun masih dipandang rendah, sehingga hubungan dialog yang terjadi bukan dialog yang jujur dan seimbang. Meminjam istilah Knitter, ibarat dialog antara gajah dengan tikus.[3] Maka digagaslah paradigma pluralisme yang merupakan kritik atas absolutisme dan superioritas dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Paradigma pluralisme tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar agama yang mencolok bahkan tak terbandingkan, tetapi —dan ini yang terpenting— juga mengakui nilai dan keabsahan dari agama lain. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai.[4]
Menilik sejarah kemunculan gagasan pluralisme agama di atas, bisa dimengerti tentang dua ajaran besar dan misi penting yang diusung paham pluralisme agama. Yaitu, ajaran pengakuan kebenaran agama-agama, dengan misi penting menciptakan kaharmonisan global umat beragama. Kendati terdapat beberapa pandangan pluralisme yang secara tegas atau dengan malu-malu tidak mengakui kebenaran setiap agama, namun semua pandangan bertemu dalam satu misi global, menyudahi tragedi penderitaan kemanusiaan yang berbasis agama.
Ajaran besar pluralisme berupa pengakuan kebenaran semua agama ini, didasarakn pada —setidaknnya— tiga pandangan sebagai berikut:
Pertama, hakikat Realitas Tunggal. Bahwa Tuhan semua agama adalah Realitas Tunggal, yang mengenalkan diri-Nya atau dikenali manusia dengan Nama dan Atribut (sifat) yang berbeda-beda, serta disembah dengan cara (syariat/minhaj) yang berbeda-beda pula. Karenanya, setiap agama yang berbeda-beda hakikatnya berada dalam satu arah kebenaran menuju Realitas Tunggal.
Kedua, hakikat ajaran teologis. Agama-agama (khususnya agama Ibrahimi), seluruh bangunan teologi dan syariat yang berlaku, memiliki sumber yang sama dan diturunkan dengan ajaran akidah yang sama, tauhid.
Ketiga, hakikat ajaran normatif. Bahwa semua agama pada hakikatnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi kehidupan umatnya.

Atas dasar kesamaan-kesamaan di atas, maka seorang pemeluk agama dianggap tidak pantas mengimani secara absolut kebenaran agamanya. Tidak pantas bukan hanya secara tinjauan moral-etik belaka, bahkan secara tinjauan norma-teologis. Artinya, larangan klaim kebenaran didasarkan pada konsekuensi kebenaran akidah yang plural itu sendiri, dan bukan hanya sebagai ungkapan basa-basi sosial.

Turats dan Kritik Pluralisme Agama
Beberapa pandangan yang mendasari ajaran pluralisme mengakui kebenaran dan keselamatan semua agama, atau yang dikenal dengan paham teologi global (global teology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (transcendent Unity of Relegion) di atas, dalam perspektif tradisi turats (yellow books), hampir disepakati tidak memiliki landasan teologis yang valid. Kendatipun beberapa da’i pluralis Muslim banyak yang menawarkan teks-teks Islam untuk menjustivikasi paham pluralisme dalam pengertian global teology atau transcendent Unity of Relegion, namun aroma pemaksaannya terlalu kentara dan sulit disembunyikan. Di bawah ini adalah beberapa dalil yang diajukan atau lebih tepatnya dipaksakan para penyeru pluralisme untuk menjustivikasi landasan teologis pengakuan kebenaran dan keselamatan semua agama.
1.     Azzumar: 69
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS. Azzumar: 3)

Ayat ini kadang dicomot begitu saja untuk menjustifikasi bahwa penyembahan patung, api, matahari, rembulan, bintang, dewa, Jesus, dan lain sebagainya, hanyalah ekspresi aktivitas keagamaan lahiriah yang hakikatnya juga penyembahan pada satu Tuhan. Pernyataan demikian tentu sangat sulit diterima, bukan hanya secara logis tetapi bahkan secara teologis. Menurut Fahruddin Arrazi, lewat terusan ayat itu Allah secara tegas telah mendustakan pernyataan para penyembah selain Allah tersebut, bahkan telah mengkafirkan mereka, yaitu pada ayat:[5]

إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Azzumar: 3)

2.     Alma’idah: 69
 إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Alma’idah: 69)

Ayat ini kerap dirujuk sebagai tendensi teologis pembenaran semua agama, bahwa agama apapun sepanjang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh, akan memperoleh garansi kebahagiaan dari Allah. Di sini penulis tidak akan memberi komentar pada pernyataan tersebut. Penulis hanya mengajak untuk membandingkan dengan pendapat Mufassirîn dalam menginterpretasi ayat di atas yang dikutip Arrazi dalam Mafâtih Alghaibnya.
Pertama, menurut Ibn Abbas, yang dimaksud orang-orang beriman pada ayat itu adalah orang-orang yang beriman pada nabi Isa as. yang tidak ikut bertanggung jawab (barâ’ah) dengan penyimpangan-penyimpangan kaum Yahudi dan Nasrani. Seperti Qis bin Sâ’idah, Rahib Buhaira, Habib Annajjâr, Zaid bin Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Salman Alfaritsi, Abi Dzar Alghifari, dan lain-lain. Dalam firman itu, menurut Ibn Abbas, seolah Allah mengatakan, sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum terutusnya Muhammad saw. dan orang-orang yang mengikuti agama batil kaum Yahudi dan Nasrani, semua orang yang beriman dari mereka setelah terutusnya Muhammad saw., iman kepada Allah, Hari Akhir, dan kepada nabi Muhammad saw., maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.
Kedua, menurut Sufyan Ats-Tsauri, yang dimaksud dengan orang-orang beriman pada ayat itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabi Muhammad saw. sebatas lisan, bukan hati. Yaitu orang-orang munafik Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in. Dalam firman itu, menurut Ats-Tsauri, seolah Allah mengatakan, mereka yang berlaku batil itu, apabila datang dan benar-benar beriman, mereka akan menjadi mukmin di sisi Allah.
Ketiga, menurut para teolog (Mutakallimin), yang dimaksud dengan orang-orang beriman pada ayat itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabi Muhammad saw. dengan sebenarnya. Artinya, orang-orang yang beriman di masa lalu, dan akan terus beriman di masa yang akan datang.[6]
Dari beberapa interpretasi Mufassirîn di atas, tidak satupun yang mendukung penafsiran bahwa agama apapun akan memperoleh jaminan kebahagiaan di sisi Allah meskipun tidak mengimani kerasulan Muhammad saw. Bahkan menurut Ala’uddin Albaghdadi dalam Tafsir Alkhazinnya, termasuk dari amal shaleh dalam ayat tersebut adalah beriman kepada nabi Muhammad saw., yang berarti harus menjadi Muslim.[7] Artinya, ayat di atas disepakati para interpreter bahwa, empat kelompok yang disebutkan dalam ayat itu akan mendapat pahala dari Allah apabila bersedia menjadi Muslim.

3.     Alma’idah: 48, Asy-Syura: 13, dan Albaqarah: 136

 لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Alma’idah: 48)
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِى أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُواْ الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُواْ فِيهِ. (الشرى: 13)
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. Assyura: 13)
قُولُوا آَمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (QS. Albaqarah: 136)

Tiga ayat di atas juga sering dikutip para pluralis Muslim secara serampangan untuk mendasari pandangan bahwa setiap agama telah diberikan syariat tersendiri yang senantiasa berlaku bagi pemeluknya masing-masing sepanjang masa. Pandangan ini lebih merupakan bentuk apologetik yang dipaksakan dalam kerangka pembenaran agama-agama yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum kanabian Muhammad saw. hingga hari ini. Tetapi, interpretasi Mufassirîn klasik justeru menentang pandangan tersebut. Arrazi mengatakan, surat Alma’idah ayat 48 di atas justeru dipahami mayoritas ulama sebagai penegasan bahwa syariat nabi-nabi sebelum Muhammad saw. tidak dibebankan bagi umat Muhammad.[8] Artinya, tiap umat nabi memiliki syariat independen yang akan habis masa berlakunya dengan kehadiran nabi berikutnya. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Alghazali juga menyatakan, kerasulan nabi Muhammad saw. telah mengamandemen (naskh) terhadap syariat nabi-nabi terdahulu.[9]
Disamping ayat-ayat Alqur’an di atas, masih terdapat beberapa dalil yang juga dipaksakan untuk menjustifikasi paham kesamaan agama-agama. Seperti ayat tentang Ahlul Kitab yang didekonstruksi melalui pendekatan isu globalisasi. Di situ ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir secara ahistoris dan abai dengan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali lebih didorong spirit apologetik ketimbang refleksi netral, dan sikap jujur. Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat eksklusif umat beragama, khususnya Islam. Artinya, dengan paham ini umat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah.
Dalam ranah keimanan, mengabaikan fanatisme demikian adalah pandangan irasional. Fanatisme keimanan adalah keharusan, tetapi sebanding lurus dengan keharusan toleransi terhadap keimanan orang lain. Agama adalah keimanan, keimanan mengharuskan keyakinan. Adalah tidak logis jika mengimani suatu kebenaran, tetapi masih terdapat ruang untuk berbagi dengan kebenaran lain. Iman terhadap suatu kebenaran mengharuskan mengingkari (kafir) pada yang lain. Keyakinan yang masih menyisakan keraguan, bukanlah keimanan, tetapi —seperti dikatakan Alghazali— bentuk kekafiran itu sendiri.[10] Pluralisme dengan paham penyamaan agama-agama adalah bentuk konkrit dari kompromi akidah. Tawaran kompromis demikian sudah pernah terjadi di awal sejarah Islam, dan telah direspon langsung oleh Alquran secara final dengan, Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku. (QS. Alkâfirûn: 1-6).

Dari sini bisa dimengerti, secara jujur, paham pluralisme dalam pengertian global teology atau kesatuan transenden agama-agama (transcendent Unity of Relegion), tidak memiliki landasan teologis Islam yang valid. Namun karena pluralisme agama sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun merambah masuk ke dalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini merasuk dalam pemikiran keagamaan Islam, respon yang muncul hanyalah adopsi dengan modifikasi dalam takaran minimalis, dan lebih cenderung menjustifikasi. Akhirnya, yang terjadi justeru peleburan dan pengkaburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam ke dalam arus pemikiran globalisasi.
Jika dianalisis lebih kritis, paham pluralisme dengan pengertian demikian, memiliki kecenderungan dualistis. Di satu sisi menyerukan kebebasan beragama, namun di sisi lain memaksa umat beragama mengakui kebenaran agama lain, dan bukan membebaskannya menjadi diri sendiri. Di satu sisi menentang truth claim demi keharmonisan global, namun tanpa sadar paham pluralisme juga sedang memainkan klaim tersendiri.

Sebuah Refleksi Moderat
Siapapun meyakini, bahwa realitas keragaman dan kemajemukan adalah keniscayaan, tak terkecuali kehadiran agama di tengah kehidupan manusia. Tidak bisa diingkari bahwa setiap agama membawa ajaran dan doktrin kebenaran mutlak dengan keunikannya sendiri-sendiri. Tetapi realitas ini tidak seharusnya selalu dikambinghitamkan sebagai faktor berbahaya bagi keharmonisan kehidupan umat yang berTuhan. Atau, ditasbihkan sebagai alasan pesimistis untuk membangun hubungan global yang humanis-dialogis. Karena faktanya, tidak sepenuhnya benar jika rentetan tragendi konflik kemanusian dalam sejarah hanya berbasis keyakinan belaka. Faktor ketimpangan ekonomi, kesejenjangan kelas sosial, dan penindasan yang terajut dalam ketidakadilan sosial juga merupakan kenyataan muara konflik yang sulit dipungkiri. Karenanya, memaksakan paham pluralisme yang menyamakan agama-agama demi keharmonisan kehidupan global, hanya akan meruntuhkan bangunan teologi agama-agama yang paling esensial. Dan pada puncaknya, hanya akan menciptakan agama baru abu-abu yang tercerabut dari sumber transenden sejati.
Mengakhiri episode berdarah sejarah umat manusia, dan menciptakan dialog kehidupan global yang rukun dan harmonis, adalah tugas agung kemanusiaan, dan tanggung jawab mulia setiap umat beragama. Karena fitrah setiap agama mengajarkan pada umatnya akan nilai-nilai moral horizontal yang inklusif, seperti halnya setiap agama mengajarkan doktrin-doktrin vertikal yang eksklusif. Kegagalan umat beragama mewujudkan tugas agung dan tanggung jawab mulia ini, adalah indikasi rendahnya penghayatan dan pengamalan umat beragama dengan ajaran agamanya. Apabila ajaran toleransi yang telah dikenal selama ini dinilai kurang efektif untuk menciptakan interaksi antar iman yang dialogis, maka sangat bijaksana jika kita bersedia menerima misi penting yang menjadi cita-cita pluralisme itu, meski sekaligus harus menolak ajaran penyamaan agama-agama yang dibawanya.
Dalam refleksi ini, penulis hanya ingin menegaskan sebuah pandangan moderat bahwa, betapapun pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan semua agama yang diusung pluralisme tidak memiliki landasan teologi Islam yang valid, namun tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menerima dan menolak cita-cita kemanusian global yang diobsesikan oleh pluralisme. Sebab, cita-cita itulah refleksi dari puncak moralitas setiap umat beragama. Dan, umat Islam bertanggung jawab menjadi contoh kemanusiaan bagi umat agama lain. Wa Allahu A’lam. KD

  




___________________
Disampaikan Oleh:
Daimullah Goeztav, dalam seminar “Pluralisme Agama; Upaya Merajut Kebhinekaan Bangsa”, di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri, 17 Desember 2011.



[1] Fatwa MUI tentang Pluralisme, Liberalisme & Sekularisme Agama, hlm. 7
[2] Modul Fiqh Tasamuh, Membangun Toleransi Berbasis Pesantren dan Masjid, hlm. 76-77
[3] Paul F. Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes  Towards the World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995),  hlm. 142
[4] Jhon Hick dan Paul F Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) hlm. 42-45
[5] Fahruddin Arrazi, Mafâtih Alghaib, vol. XXVII Hlm. 211
[6] Ibid, vol. III hlm. 97
[7] Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Albaghdadi, Tafsir Alkhazin, vol. II hlm. 75
[8] Fakhruddin Arrazi, Op Cit, vol. XII hlm. 12
[9] Abu Hamid Alghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol. I hlm. 151 Darul Hadits
[10] Ibid, vol. I hlm. 162

Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet