Antara
Puncak Moralitas Beragama dan Pengkaburan Agama-Agama
Pluralitas Makna Pluralisme Agama
Sejak digulirkannya di abad ke-15, gagasan pluralisme
(agama) terus menggelinding menjadi term debatable yang cukup tajam di banyak kalangan.
Berbagai ta’rif telah coba diciptakan oleh banyak pemikir, namun justeru
menciptakan silang sengkarut definisi dan melahirkan “pluralitas” makna pluralisme
itu sendiri. Konflik definitif yang tak kunjung final ini, telah membelah
pandangan masyarakat menjadi setidaknya dua kelompok dalam menyikapi isu
keagamaan era global ini, yaitu kelompok yang menerima, dan kelompok yang
menolak. Di Indonesia, puncak kontroversi dua pandangan masyarakat ini ditandai
dengan dikeluarkannya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005 yang
mengharamkan pluralisme agama di satu pihak, dan penganugerahan gelar Bapak
Pluralisme kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Presiden SBY, di pihak
lain.
Fatwa pengharaman MUI itu mungkin bisa dimengerti
jika pemaknaan pluralisme seperti apa yang didefinisikan MUI secara monolitik
(tunggal). Yaitu pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa
semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.
Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya
saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di
surga.
Namun realitasnya, definisi pluralisme agama tidak bersifat tunggal, bahkan
bisa didapati banyak teolog yang memberikan definisi yang “plural” terhadap
pluralisme agama. Berikut ini adalah beberapa pandangan para teolog dalam
mendeskripsikan makna pluralisme agama.
Pertama, Karl
Rahner. Oleh banyak kalangan, Rahner disebut-sebut sebagai teolog agama Katholik
terbesar di abad 20. Pemikirannya memiliki pengaruh signifikan terhadap teologi
Vatican Council. Diantaranya tentang kehadiran karunia Tuhan di luar gereja
setelah sebelumnya Vatican Council ngotot dengan pendirian eksklusifnya yang
terkenal: extraeclessiam nulla salus (di luar gereja, tidak ada keselamatan).
Lebih jauh lagi, dalam pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin menemukan
karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut
Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian disebut sebagai orang Kristen Anonim
(Anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner, masih menjadi
norma di mana kebenaran berada, dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh.
Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama
Kristen agar mendapatkan kebenaran dan keselamatan itu. Karenanya, Rahner
mengatakan, agama lain sebenarnya adalah bentuk implisit dari agama yang kita anut.
Dalam pandangan Karl Rahner ini, pluralisme
tidak memandang agama lain setara, namun juga tidak menegasikan (nafyun)
sama sekali. Artinya, mempercayai kebenaran dan keselamatan dimungkinkan ada
pada Agama lain, namun agama yang dipeluknya tetap dipercaya memiliki kebenaran
yang “lebih”.
Kedua, John
Harwood Hick. Hick adalah seorang filosof agama kontemporer yang concern
terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick,
pluralisme agama musti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran (truht
claim) satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner,
Hick tidak setuju dengan penryataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang
“lebih” dibanding kebenaran agama lain. Karena itu, menurut Hick, kita harus
menghindari penggunaan istilah untuk penganut agama lain sebagai orang Kristen
Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Budha Anonim dan sejenisnya. Cara yang
lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa
kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu Realitas
Tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan
(agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar dari pada yang lain, karena kita
(semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari Realitas Tunggal tersebut.
Realitas Tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang
mencarinya. Karena Realitas Tunggal itu bersifat Maha Baik, Maha Besar, Maha
Luas, Maha Agung, Maha Tak Terbatas, dan sebagainya, maka manusia (yang
terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenal-Nya secara penuh. Itulah yang
kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought and experienced
(Realitas Tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi).
Keterbatasan dan faktor kulturallah yang selanjutnya menyebabkan respon orang
tentang gambaran Realitas Tunggal itu menjadi berbeda-beda. Menurut Hick, semua
agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the
Real in it self yang sama, sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari
agama. Artinya, agama tersebut musti memberikan pengaruh yang baik secara moral
dan etik bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu,
Hick menyatakan, bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita
dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan.
Dalam pandangan John Hick ini,
pluralisme berarti paham pengakuan kesamaan agama-agama. Realitas perbedaan
agama-agama menjadi tidak penting, karena disamping dinilai hanya simbol-simbol
ekspresi keagamaan lahiriah, yang paling esensial dari umat berTuhan adalah
kesanggupan melahirkan fungsi soteriologis agama. Yakni keber-agama-annya mampu
memberikan pengaruh positif bagi kehidupan sosial. Inilah yang lalu disebut
sebagai aliran paham teologi global (global teology) dan paham
kesatuan transenden agama-agama (transcendent
Unity of Relegion) yang menjadi salah satu isu
keagamaan era global, dimana keduanya mengharamkan adanya klaim kebenaran (truht
claim). Pandangan pluralisme John Hick inilah yang menjadi rujukan banyak
akademisi dan pengkaji pluralisme di Barat.
Dalam wacana dunia sufi, pandangan
pluralisme Hick demikian sebenarnya bukan suatu wacana yang baru. Kita bisa
bandingkan dengan pandangan-pandangan mistikus kontroversial seperti wihdatul
adyân (kesatuan agama-agama), wihdatul wujûd (manunggaling
kawula-Gusti) dan lain sebagainya. Ini sekaligus menandaskan bahwa, wacana global teology atau transcendent Unity of Relegion tidak hanya pernah hadir dalam domain teologi non-Islam, tetapi
juga merupakan bagian dari wacana klasik dalam teologi Islam.
Ketiga,
John Cobb Jr. Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme
agama versi Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam dialog Kristen dan
Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim
bahwa agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu dan sebagainya adalah menuju Realitas
Tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. Selain itu, Cobb Jr juga
menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan
kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh
agama lain, kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya
tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the
Real yang sama. Dalam hal ini, kalau, misalnya, beberapa agama bertemu (encounter)
satu dengan lainnya, maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling
diperkaya oleh pengetahuan mereka tentang agama-agama lain. Mereka dapat
belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
di antara mereka.
Dalam pandangan Cobb Jr, pluralisme
tetap mengakui perbedaan agama-agama. Pluralisme hanya mengajarkan pentingnya dialog
antar agama secara jujur dan intim yang melampaui sekedar kebersediaan
mentolerir perbedaan antar agama, tapi bahkan bersedia memahami, mengerti, dan
peduli kepada umat lain untuk menciptakan ruang interaksi yang humanis-dialogis
sehingga memperkaya pengetahuan keagamaan masing-masing. Dengan pemaknaan
seperti ini, pluralisme melampaui batas toleransi, sebab bersedia menganggap
eksistensi agama lain bernilai. Toleransi bisa menciptakan iklim menahan diri
dan menenggang rasa kesalahan orang lain, tapi tidak mengharuskan untuk
memahami dan peduli dengan orang lain. Toleransi adalah konsep hubungan
kemajemukan yang pasif. Orang lain (sang liyan) diakui ada, tetapi
kehadirannya tidak bermakna apa-apa.
Interaksi dan dialog kemajemukan yang jujur dan intim, memerlukan pluralisme.
Sebab pluralisme mengharuskan keterlibatan tiap entintas keragaman secara aktif
agar terbangun perbedaan yang produktif.
Keempat, Raimundo
Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama
yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence
(hal-hal esensial yang sama). Sejarah keagamaan dan intelektual Pannikar dapat
dikatakan sangat kompleks. Dia dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya
beragama Hindu dan ibunya beragama Katholik Roma. Panikkar sendiri menjadi
seorang pastur Katholik yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang sains, falsafah
dan teologi. Dia menuliskan tentang pertemuannya (encounter) dengan
agama lain: “saya meninggalkan keKristenan saya, menemukan diri saya sebagai
penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Buddha tanpa berhenti
menjadi seorang penganut Kristen.” Pendekatannya terhadap agama lain,
merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa kita harus
bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasanya
sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani
perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama
atau satu. Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh
orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi
dan men-challenge agama-agama yang lain dalam jaringan interaksi yang
dia sebut sebagai dialog antar agama. Karenanya, Panikkar menyatakan,
masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran.
Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan chalengge antara
agama yang satu dengan agama lain.
Kelima, Wilfred
Cantwell Smith. Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman
langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun
1941-1945. Ketika kembali ke Canada dia diangkat menjadi professor untuk studi
perbandingan agama di Universitas Mc Gill dan kemudian berhasil mengorganisir
berdirinya Mc Gill Institute of Islamic Studies. Pada tahun 1964 Smith menjadi
direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions.
Menurut Smith, pluralisme agama merupakan
tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama
tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan
lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng
satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya
tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga
implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki
rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual
wahyu, Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu
agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain. Pendirian teologis
tersebut oleh Smith dimasukan ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan
istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of
Religion, Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif
mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala, dan
menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan
teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan, bahwa Tuhan dari setiap agama
akan senantiasa diyakini sebagai suatu berhala bagi agama lain. Demikian juga
bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai Kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh
mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang
tidak dapat kita terima. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Budha
dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan
berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia. Dengan pemahaman pluralisme
demikian ini, Smith mengharapkan adanya toleransi yang bukan sekedar menerima
perbedaan agama, melainkan sebuah perjumpaan positif antar umat beragama yang
berbeda-beda.
Dari pluralitas definisi pluralisme di atas, bisa
kita tarik, paling tidak, tiga versi berbeda dalam mendeskripsikan tentang
pluralisme agama. Pandangan pertama, cenderung masih malu-malu menyamakan
agama-agama, sekaligus tidak tegas menolak adanya kemungkinan kebenaran
transenden di agama lain. Pandangan kedua, tegas mengatakan sejatinya semua
agama merupakan manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama
sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Dan karenanya, haram adanya
klaim kebenaran. Sedangkan pandangan ketiga, keempat, dan kelima, relatif sama,
bahwa antar umat beragama tidak harus mempercayai kebenaran dan keselamatan ada
di agama lain. Pluralisme menurut tiga versi terakhir hanya mengharuskan hubungan
antar agama sebagai hubungan yang bernilai positif. Sebuah hubungan yang
dibangun atas dasar keinginan saling memahami, mengerti, peduli, dan menguntungkan,
bukan atas dasar permusuhan dan kebencian.
Demikianlah potret sederhana kemulut konflik
definisi tentang pluralisme agama. Namun sampai di sini, konflik tersebut masih
berlangsung di jagad teologi Kristen Eropa. Seiring dengan spektrum pemikiran dunia
global, ide pluralisme agama mulai didakwahkan ke ranah teologi agama-agama,
termasuk Islam. Bebarapa da’i pluralis Muslim kemudian menyerukan gagasan
pluralisme di tengah umat Islam dengan gencar, namun sayangnya, tanpa diimbangi
dengan memberikan pengertian definitif yang jelas dan memadai. Bahkan tak
jarang mengartikulasikan pluralisme sama dengan istilah pluralitas, atau sama
dengan istilah toleransi. Tokoh-tokoh pluralis Muslim lebih disibukkan dengan
kampanye nilai-nilai horizontal pluralisme dalam kaintannya dengan hubungan antar
umat beragama, dari pada memberikan penjelasan ajaran vertikal pluralisme dalam
kaitannya dengan teologi Islam. Padahal, justeru di ajaran kedua inilah titik
paling sensitif bagi umat beragama. Karenanya, lumrah apabila kehadiran paham
pluralisme agama mengundang kebingungan dan kontroversi umat Islam.
Ajaran dan Misi Pluralisme Agama
Pecahnya konflik antar agama dalam lembaran
sejarah manusia, disinyalir timbul dari ajaran setiap agama yang eksklusif.
Setiap agama mengajarkan pada pemeluknya untuk mendaku hanya agamanyalah satu-satunya
jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang lain salah dan celaka.
Paradigma eksklusif inilah yang ditengarai menjadi faktor berbahaya yang akan terus
memicu bencana kemanusiaan dalam sejarah umat beragama.
Banyak teolog percaya, episode
berdarah antar umat beragama tidak akan bisa disudahi tanpa merubah teologi eksklusivisme
setiap agama. Dibutuhkan sebuah paradigma teologi inklusivisme untuk
memungkinkan perjumpaan agama-agama terhindar dari konfrontasi frontal, dan bersedia
mengupayakan titik temu kehidupan antar agama. Dari sini, dimulailah pergeseran
dari paradigma eksklusivistis-eklesiologis menuju paradigma
inklusivistis-universalistis. Sebuah paradigma baru yang menyatakan kebenaran
dan keselamatan berlaku universal yang juga hadir dalam agama-agama lain.
Paradigma ini memberikan ruang terbuka yang luas bagi perjumpaan kehidupan
antar iman dalam iklim yang dialogis.
Kendati demikian, paradigma eksklusifisme
ini dinilai belum benar-benar berhasil memposisikan agama lain secara setara.
Agama lain diakui kebenarannya, namun masih dipandang rendah, sehingga hubungan
dialog yang terjadi bukan dialog yang jujur dan seimbang. Meminjam istilah
Knitter, ibarat dialog antara gajah dengan
tikus.
Maka digagaslah paradigma pluralisme yang merupakan kritik atas absolutisme dan
superioritas dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Paradigma pluralisme tidak
hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar agama yang mencolok bahkan tak
terbandingkan, tetapi —dan ini yang terpenting— juga mengakui nilai dan
keabsahan dari agama lain. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun
bisa juga sangat bernilai.
Menilik sejarah kemunculan gagasan
pluralisme agama di atas, bisa dimengerti tentang dua ajaran besar dan misi penting
yang diusung paham pluralisme agama. Yaitu, ajaran pengakuan kebenaran
agama-agama, dengan misi penting menciptakan kaharmonisan global umat beragama.
Kendati terdapat beberapa pandangan pluralisme yang secara tegas atau dengan malu-malu
tidak mengakui kebenaran setiap agama, namun semua pandangan bertemu dalam satu
misi global, menyudahi tragedi penderitaan kemanusiaan yang berbasis agama.
Ajaran
besar pluralisme berupa pengakuan kebenaran semua agama ini, didasarakn pada —setidaknnya—
tiga pandangan sebagai berikut:
Pertama,
hakikat Realitas Tunggal. Bahwa Tuhan semua agama adalah Realitas Tunggal, yang
mengenalkan diri-Nya atau dikenali manusia dengan Nama dan Atribut (sifat) yang
berbeda-beda, serta disembah dengan cara (syariat/minhaj) yang berbeda-beda
pula. Karenanya, setiap agama yang berbeda-beda hakikatnya berada dalam satu
arah kebenaran menuju Realitas Tunggal.
Kedua,
hakikat ajaran teologis. Agama-agama (khususnya agama Ibrahimi), seluruh
bangunan teologi dan syariat yang berlaku, memiliki sumber yang sama dan
diturunkan dengan ajaran akidah yang sama, tauhid.
Ketiga,
hakikat ajaran normatif. Bahwa semua agama pada hakikatnya mengajarkan
nilai-nilai kebaikan bagi kehidupan umatnya.
Atas
dasar kesamaan-kesamaan di atas, maka seorang pemeluk agama dianggap tidak
pantas mengimani secara absolut kebenaran agamanya. Tidak pantas bukan hanya
secara tinjauan moral-etik belaka, bahkan secara tinjauan norma-teologis.
Artinya, larangan klaim kebenaran didasarkan pada konsekuensi kebenaran akidah
yang plural itu sendiri, dan bukan hanya sebagai ungkapan basa-basi sosial.
Turats dan Kritik Pluralisme Agama
Beberapa
pandangan yang mendasari ajaran pluralisme mengakui kebenaran dan keselamatan
semua agama, atau yang dikenal dengan paham teologi global (global
teology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (transcendent Unity of Relegion)
di atas, dalam perspektif tradisi turats (yellow books), hampir
disepakati tidak memiliki landasan teologis yang valid. Kendatipun beberapa
da’i pluralis Muslim banyak yang menawarkan teks-teks Islam untuk
menjustivikasi paham pluralisme dalam pengertian global teology
atau transcendent
Unity of Relegion, namun aroma pemaksaannya terlalu kentara dan sulit disembunyikan. Di
bawah ini adalah beberapa dalil yang diajukan —atau lebih tepatnya dipaksakan— para penyeru pluralisme untuk
menjustivikasi landasan teologis pengakuan kebenaran dan keselamatan semua
agama.
1.
Azzumar: 69
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا
إِلَى اللهِ زُلْفَى
|
Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya." (QS.
Azzumar: 3)
|
Ayat ini kadang dicomot begitu saja
untuk menjustifikasi bahwa penyembahan patung, api, matahari, rembulan, bintang, dewa, Jesus, dan lain sebagainya,
hanyalah ekspresi aktivitas keagamaan lahiriah yang hakikatnya juga penyembahan pada
satu Tuhan. Pernyataan demikian tentu sangat sulit diterima, bukan
hanya secara logis tetapi bahkan secara teologis. Menurut Fahruddin Arrazi,
lewat terusan ayat itu Allah secara tegas telah mendustakan pernyataan para
penyembah selain Allah tersebut, bahkan telah mengkafirkan mereka, yaitu pada
ayat:
إِنَّ اللهَ لَا
يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
|
Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Azzumar: 3)
|
2.
Alma’idah: 69
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ
وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
|
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang
benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.
(Alma’idah: 69)
|
Ayat ini kerap dirujuk sebagai
tendensi teologis pembenaran semua agama, bahwa agama
apapun sepanjang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh, akan
memperoleh garansi kebahagiaan dari Allah. Di sini penulis tidak akan memberi
komentar pada pernyataan tersebut. Penulis hanya mengajak untuk membandingkan
dengan pendapat Mufassirîn dalam menginterpretasi ayat di atas yang
dikutip Arrazi dalam Mafâtih Alghaibnya.
Pertama,
menurut Ibn Abbas, yang dimaksud orang-orang beriman pada ayat itu adalah
orang-orang yang beriman pada nabi Isa as. yang tidak ikut bertanggung jawab (barâ’ah)
dengan penyimpangan-penyimpangan kaum Yahudi dan Nasrani. Seperti Qis bin
Sâ’idah, Rahib Buhaira, Habib Annajjâr, Zaid bin Amr bin Nufail, Waraqah bin
Naufal, Salman Alfaritsi, Abi Dzar Alghifari, dan lain-lain. Dalam firman itu,
menurut Ibn Abbas, seolah Allah mengatakan, sesungguhnya orang-orang yang
beriman sebelum terutusnya Muhammad saw. dan orang-orang yang mengikuti agama
batil kaum Yahudi dan Nasrani, semua orang yang beriman dari mereka setelah
terutusnya Muhammad saw., iman kepada Allah, Hari Akhir, dan kepada nabi Muhammad
saw., maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.
Kedua,
menurut Sufyan Ats-Tsauri, yang dimaksud dengan orang-orang beriman pada ayat
itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabi Muhammad saw. sebatas lisan,
bukan hati. Yaitu orang-orang munafik Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in. Dalam
firman itu, menurut Ats-Tsauri, seolah Allah mengatakan, mereka yang berlaku
batil itu, apabila datang dan benar-benar beriman, mereka akan menjadi mukmin
di sisi Allah.
Ketiga,
menurut para teolog (Mutakallimin), yang dimaksud dengan orang-orang
beriman pada ayat itu adalah orang-orang yang beriman kepada nabi Muhammad saw.
dengan sebenarnya. Artinya, orang-orang yang beriman di masa lalu, dan akan
terus beriman di masa yang akan datang.
Dari
beberapa interpretasi Mufassirîn di atas, tidak satupun yang mendukung
penafsiran bahwa agama apapun akan memperoleh jaminan kebahagiaan di sisi Allah
meskipun tidak mengimani kerasulan Muhammad saw. Bahkan menurut Ala’uddin
Albaghdadi dalam Tafsir Alkhazinnya, termasuk dari amal shaleh dalam ayat
tersebut adalah beriman kepada nabi Muhammad saw., yang berarti harus menjadi
Muslim.
Artinya, ayat di atas disepakati para interpreter bahwa, empat kelompok yang
disebutkan dalam ayat itu akan mendapat pahala dari Allah apabila bersedia
menjadi Muslim.
3.
Alma’idah: 48, Asy-Syura: 13,
dan Albaqarah:
136
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَآءَ اللهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَاكُم
فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم
بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)
|
Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu. (QS. Alma’idah: 48)
|
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِى أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُواْ الدِّينَ وَلاَ
تَتَفَرَّقُواْ فِيهِ. (الشرى: 13)
|
Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah
belah tentangnya.
(QS. Assyura: 13)
|
قُولُوا آَمَنَّا
بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى
وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
|
“Katakanlah (hai orang-orang
mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan
apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya,
dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara
mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
(QS. Albaqarah: 136)
|
Tiga
ayat di atas juga sering dikutip para pluralis Muslim secara serampangan untuk
mendasari pandangan bahwa setiap agama telah diberikan syariat tersendiri yang
senantiasa berlaku bagi pemeluknya masing-masing sepanjang masa. Pandangan ini lebih
merupakan bentuk apologetik yang dipaksakan dalam kerangka pembenaran
agama-agama yang dibawa oleh rasul-rasul sebelum kanabian Muhammad saw. hingga
hari ini. Tetapi, interpretasi Mufassirîn klasik justeru menentang pandangan
tersebut. Arrazi mengatakan, surat Alma’idah ayat 48 di atas justeru dipahami
mayoritas ulama sebagai penegasan bahwa syariat nabi-nabi sebelum Muhammad saw.
tidak dibebankan bagi umat Muhammad.
Artinya, tiap umat nabi memiliki syariat independen yang akan habis masa
berlakunya dengan kehadiran nabi berikutnya. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Alghazali
juga menyatakan, kerasulan nabi Muhammad saw. telah mengamandemen (naskh)
terhadap syariat nabi-nabi terdahulu.
Disamping
ayat-ayat Alqur’an di atas, masih terdapat beberapa dalil yang juga dipaksakan
untuk menjustifikasi paham kesamaan agama-agama. Seperti ayat tentang Ahlul
Kitab yang didekonstruksi melalui pendekatan isu globalisasi. Di situ ayat-ayat tentang Ahlul
Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir secara
ahistoris dan abai
dengan metodologi
tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali lebih
didorong spirit apologetik ketimbang refleksi netral, dan sikap jujur. Inti doktrinnya adalah untuk
menghilangkan sifat eksklusif umat beragama, khususnya Islam. Artinya, dengan paham ini umat Islam
diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap
agama lain salah.
Dalam
ranah keimanan, mengabaikan fanatisme demikian adalah pandangan irasional. Fanatisme
keimanan adalah keharusan, tetapi sebanding lurus dengan keharusan toleransi
terhadap keimanan orang lain. Agama adalah keimanan, keimanan mengharuskan
keyakinan. Adalah tidak logis jika mengimani suatu kebenaran, tetapi masih
terdapat ruang untuk berbagi dengan kebenaran lain. Iman terhadap suatu
kebenaran mengharuskan mengingkari (kafir) pada yang lain. Keyakinan yang masih
menyisakan keraguan, bukanlah keimanan, tetapi —seperti dikatakan Alghazali—
bentuk kekafiran itu sendiri.
Pluralisme dengan paham penyamaan agama-agama adalah bentuk konkrit dari
kompromi akidah. Tawaran kompromis demikian sudah pernah terjadi di awal
sejarah Islam, dan telah direspon langsung oleh Alquran secara final dengan, Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir.
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah
agamaku. (QS. Alkâfirûn: 1-6).
Dari
sini bisa dimengerti, secara jujur, paham pluralisme dalam pengertian global teology atau kesatuan
transenden agama-agama (transcendent
Unity of Relegion), tidak memiliki landasan teologis
Islam yang valid. Namun karena
pluralisme agama sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun merambah masuk
ke dalam wacana keagamaan agama-agama,
termasuk Islam. Ketika paham ini merasuk dalam pemikiran keagamaan Islam,
respon yang muncul hanyalah adopsi dengan modifikasi dalam takaran minimalis, dan lebih cenderung
menjustifikasi. Akhirnya, yang terjadi justeru peleburan dan
pengkaburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam ke dalam arus
pemikiran globalisasi.
Jika
dianalisis lebih kritis, paham pluralisme dengan pengertian demikian, memiliki kecenderungan
dualistis. Di satu sisi menyerukan kebebasan beragama, namun di sisi lain
memaksa umat beragama mengakui kebenaran agama lain, dan bukan membebaskannya menjadi
diri sendiri. Di satu sisi menentang truth claim demi keharmonisan global,
namun tanpa sadar paham pluralisme juga sedang memainkan klaim tersendiri.
Sebuah Refleksi Moderat
Siapapun
meyakini, bahwa realitas keragaman dan kemajemukan adalah keniscayaan, tak
terkecuali kehadiran agama di tengah kehidupan manusia. Tidak bisa diingkari
bahwa setiap agama membawa ajaran dan doktrin kebenaran mutlak dengan
keunikannya sendiri-sendiri. Tetapi realitas ini tidak seharusnya selalu dikambinghitamkan
sebagai faktor berbahaya bagi keharmonisan kehidupan umat yang berTuhan. Atau,
ditasbihkan sebagai alasan pesimistis untuk membangun hubungan global yang
humanis-dialogis. Karena faktanya, tidak sepenuhnya benar jika rentetan
tragendi konflik kemanusian dalam sejarah hanya berbasis keyakinan belaka. Faktor
ketimpangan ekonomi, kesejenjangan kelas sosial, dan penindasan yang terajut
dalam ketidakadilan sosial juga merupakan kenyataan muara konflik yang sulit
dipungkiri. Karenanya, memaksakan paham pluralisme yang menyamakan agama-agama
demi keharmonisan kehidupan global, hanya akan meruntuhkan bangunan teologi
agama-agama yang paling esensial. Dan pada puncaknya, hanya akan menciptakan agama
baru abu-abu yang tercerabut dari sumber transenden sejati.
Mengakhiri
episode berdarah sejarah umat manusia, dan menciptakan dialog kehidupan global
yang rukun dan harmonis, adalah tugas agung kemanusiaan, dan tanggung jawab
mulia setiap umat beragama. Karena fitrah setiap agama mengajarkan pada umatnya
akan nilai-nilai moral horizontal yang inklusif, seperti halnya setiap agama
mengajarkan doktrin-doktrin vertikal yang eksklusif. Kegagalan umat beragama
mewujudkan tugas agung dan tanggung jawab mulia ini, adalah indikasi rendahnya
penghayatan dan pengamalan umat beragama dengan ajaran agamanya. Apabila ajaran
toleransi yang telah dikenal selama ini dinilai kurang efektif untuk
menciptakan interaksi antar iman yang dialogis, maka sangat bijaksana jika kita
bersedia menerima misi penting yang menjadi cita-cita pluralisme itu, meski
sekaligus harus menolak ajaran penyamaan agama-agama yang dibawanya.
Dalam
refleksi ini, penulis hanya ingin menegaskan sebuah pandangan moderat bahwa,
betapapun pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan semua agama yang diusung
pluralisme tidak memiliki landasan teologi Islam yang valid, namun tidak ada
alasan bagi umat Islam untuk tidak menerima dan menolak cita-cita kemanusian
global yang diobsesikan oleh pluralisme. Sebab, cita-cita itulah refleksi dari
puncak moralitas setiap umat beragama. Dan, umat Islam bertanggung jawab
menjadi contoh kemanusiaan bagi umat agama lain. Wa Allahu A’lam. KD
___________________
Disampaikan Oleh:
Daimullah Goeztav, dalam seminar “Pluralisme Agama; Upaya Merajut
Kebhinekaan Bangsa”, di Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri, 17
Desember 2011.