April 20, 2012
Couch Mode
Print Story
Selamat Datang di Zona KeIslaman, Kemanusiaan, dan KeIndonesiaan JASSPRO
STIGMA NEGATIF FATWA HARAM; SIAPA YANG BERSALAH?
Beberapa tahun terakhir, persisnya
sejak pelaksanaan FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) ke-XI tanggal
20-21 Mei 2009 di PP. Putri Hidayatul Mubtadi’at Lirboyo Kota Kediri, yang
menyoal seputar hukum keintiman hubungan lawan jenis via HP, internet dan
situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, Chatting, dll.,
media massa kita digemparkan dengan pemberitaan —yang kemudian dibahasakan oleh
media dengan— “fatwa haram” forum diskusi pondok pesantren se Jatim tersebut.
Dan ketika pelaksanaan FMP3 ke-XII di PP. Putri Tahfizhil Qur’an Lirboyo Kota
Kediri tanggal 13-14 Januari 2010, yang mengangkat tema-tema sosial keagamaan
seperti trend gaya rambut rebonding, poto pre-wedding, gaji, royalty dan dilema
peran aktris muslimah dalam dunia akting, wanita menekuni profesi tukang ojeg
dll., pemberitaan “fatwa haram” itu kembali meledak heboh menjadi topik berita
media massa nasional dan bahkan sempat menggeser perhatian masyarakat yang
mulai muak menyaksikan “sinetron” misteri Bank Century yang entah sampai kapan
episodenya akan berakhir itu.
Kegemparan berita yang
sebenarnya hanya hasil kesepakatan diskusi rutin pencarian jawaban hukum agama
yang dilakukan santri-santri yang relatif masih muda itu, setidaknya karena tiga
faktor penting yang saling mempengaruhinya. Faktor pembahasaan media dan
pemberitaan yang kurang profesional, faktor mental keagamaan masyarakat kita yang
awam, dan faktor retorika penyampaian hukum yang tidak solutif dan
“mengejutkan”.
Bahasa pemberitaan
dengan memilih dan menggunakan diksi “fatwa haram” merupakan bahasa yang riskan
mengundang kontroversi masyarakat, lebih-lebih bagi masyarakat dengan tingkat
keagamaan awam. Awam dalam pengertian tidak memiliki kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan agama yang memadai, atau awam dalam arti terdidik secara
akademik namun tidak memiliki kepedulian dan apatis terhadap nilai-nilai
keagamaan. Istilah “haram” bagi masyarakat pada tingkat keagamaan seperti ini,
bukanlah suatu istilah hukum “berbahaya” yang harus dijauhi dari perilaku hidupnya,
melainkan suatu istilah yang terdengar “tabu” atau bahkan “lucu” manakala
dikaitkan dengan hal-hal yang telah umum dan lekat dengan perilaku
kesehariaanya. Praktis kondisi keagamaan demikian menjadikan masyarakat kita samakin
jauh dari bimbingan nilai-nilai normatif agama dalam perilaku dan gaya
hidupnya, hingga pada gilirannya menjadi masyarakat yang “alergi dan anti
haram”, di mana setiap fatwa hukum berlabel haram yang coba hendak disuarakan
oleh pihak manapun, akan direspon dengan sikap apatis atau bahkan penolakan
tanpa alasan dan dasar ilmiah.
Spektrum respon “kontroversi
tidak sehat” seperti ini, betapa sangat mencerminkan seolah masyarakat kita
seperti masyarakat mu’allaf yang masih asing dengan ajaran agama
sendiri. Setiap hukum agama yang “mengusik” dan tidak mendukung terhadap
kepentingan ekonomi, profesi atau perilakunya, ditolak dan enggan mengakui
sebagai bagian dari agamanya. Pola pikir dan gaya hidup hedonis demikian inilah,
agaknya jika belakangan kita bisa saksikan mulai dari penjual bakso di pinggir
trotoar sampai mereka yang setiap hari berdasi di meja-meja diskusi begitu
apatis, menolak secara apriori bahkan menghujat dengan sinis. Sampai-sampai mencuat
sindiran yang cukup ironis: “label halal cari di MUI, label haram cari di
FMP3”.
Pemberitaan media dengan
bahasa “fatwa haram” akan semakin terdengar provokatif dan mengundang
kontroversi penolakan sekala luas ketika tidak diimbangi dengan memberikan
penjelasan detail pertimbangan-pertimbangan yang mendasari terrumuskannya sebuah
hukum. Seperti senternya pemberitaan —saya lebih sreg menyebut— “kasus”
fatwa haram Facebook tahun lalu, sejatinya lebih karena semangat pemberitaan
media kita yang masih lebih mengarah pada menciptakan “larisnya berita”
ketimbang semangat menjadi media massa profesional yang benar-benar berfungsi
sebagai “media” yang memungkinkan tersampaikannya sebuah informasi transparan
kepada “massa” itu sendiri. Karuan saja, diksi “fatwa haram Facebook” menjadi
pilihan yang dengan serampangan dicomot begitu saja sebagai headline
berita, tanpa per-imbang-an memadai yang mampu menjelaskan kepada masyarakat
kapan, di mana, bagaimana dan seperti apa konteks serta porsi hukum haram
Facebook itu. Keharaman hukum Facebook pun pada akhirnya diterima masyarakat
dan terlanjur menjadi opini umum dengan sedemikian mutlaknya, dan sama sekali
berbeda dari kenyataan hukum di forum yang sesungguhnya begitu terbatas hanya pada
konteks dan porsi penggunaan Facebook tertentu.
Maka, apabila kemudian
hasil bahtsul masa’il FMP3 ke-XI itu menjadi keputusan kontroversial dan menuai
hujatan dari berbagai kalangan, sejatinya tidak berlebihan jika dinyatakan
bahwa FMP3 hanya menjadi korban pemberitaan media massa yang kurang
profesional. Dan realitas seperti itu kembali terulang dalam fenomena
kontroversial saat FMP3 ke-XII mengkaji hukum trend gaya rambut rebonding, poto
pre-wedding, wanita menekuni profesi tukang ojeg, gaji, royalty dan dilema
peran aktris muslimah dalam dunia akting dll., di pertengahan Januari kemarin.
Kendati fenomena di atas
satu sisi memberi kontribusi positif bagi forum diskusi ilmiah pondok
pesantren, setidaknya kegiatan intelektual dan kajian hukum para santri menjadi
kian dikenal masyarakat luas, namun fenomena kontroversial “fatwa haram” juga
terlanjur melekatkan stigma negatif terhadap FMP3 khususnya dan pondok
pesantren Jatim secara umum. Ragam penilaian negatif dan subyektif dari berbagai
kalangan masyarakat yang dialamatkan kepada FMP3 dan pondok pensantren Jatim
nyaris bertubi-tubi, meski sebenarnya semua cenderung subyektif dan
kekanak-kanakan. Mulai komentar santri yang kaku dalam beragama, primitif, tidak
memiliki kepekaan dan pertimbangan sosiologis, gaptek, tidak mengerti dengan perkembangan
teknologi, santri hanya peduli dengan masalah-masalah hukum dan acuh dengan
masalah-masalah sosial lainnya, hingga tuduhan pengangkatan tema-tema dalam
forum itu hanya untuk mencari sensasi dll.
Lepas dari faktor
minimnya profesionalisme pemberitaan media, sebenarnya sangatlah naif jika stigma
negatif itu harus dialamatkan kepada FMP3 dan pondok pesantren Jatim. Sebagai
satu-satunya lembaga tafaqquh fid dien dengan aktifis yang memiliki
basic intelektual dan keilmuan keagamaan memadai, serta memiliki kepedulian terhadap
problematika keagamaan umat, bukankah sudah semestinya FMP3 dan pondok
pesantren menjadi pihak yang paling absah membicarakan hukum-hukum sosial
keagamaan dibanding lembaga pendidikan manapun? Dan bukankah nabi saw. telah
mengajarkan:
لاَ تَخَفْ في اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ! قُلِ اَلْحَقَّ،
وَلَوْ كَانَ مُرًّا!
“Dalam (taat kepada)
Allah, jangan gentar dengan hujatan para penghujat! Suarakan kebenaran itu, meskipun
terasa pahit!”
Dan bukankah juga telah dinyatakan oleh
Rasulullah saw.:
إِنَّ الدِّينَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَإِنَّ الدِّينَ
سَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Sungguh agama itu
mula-mula dianggap aneh, dan sungguh agama itu akan kembali dianggap aneh
seperti semula. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap aneh.”
Dalam kapasitasnya
sebagai pihak yang paling absah membicarakan hukum Islam, memang tidak
sepantasnya FMP3 dan pondok pesantren mendapat stigma negatif itu. Karena apapun
yang telah dilakukan forum itu, bagaimanapun juga merupakan wujud perhatian dan
kepedulian para santri terhadap masalah-masalah sosial seperti perilaku dan
gaya hidup masyarakat agar senantiasa lurus dalam bimbingan nilai-nilai
normatif agama. Jika ternyata perhatian dan kepedulian tersebut malah menjadi
bumerang bagi FMP3 dan pondok pesantren berupa stigma negatif, mungkin ada yang
salah dalam cara dan retorika penyampaian hukum oleh pihak FMP3 dan pondok
pesantren itu sendiri, sehingga menimbulkan “keterkejutan” masyarakat yang
tidak atau belum memiliki kesiapan secara mental-sosial keagamaan untuk
menerima hukum yang diputuskan. Karena bagaimanapun, kesiapan secara mental-sosial
ini sangat menentukan terhadap efektifitas sebuah hukum bisa diaplikasikan
dalam amaliah masyarakat.
Terkait dengan retorika
penyampaian hukum ini, adalah menjadi keniscayaan bagi FMP3 dan pondok
pesantren untuk tidak sekedar menjatuhkan vonis haram dalam setiap forumnya
atas perilaku masyarakat yang secara perspektif agama tidak bisa ditolerir,
melainkan juga harus berusaha memberikan alasan-alasan rasional dan mendasar
yang bisa dipahami dan dimengerti masyarakat luas. Sebagai contoh, ketika forum
hendak mengharamkan rebonding, hendaknya jangan sekedar berdalih dan menggunakan
alasan-alasan agama semata, tetapi juga didukung dengan alasan-alasan secara
medis dimana kebiasaan melakukan rebonding dapat menyebabkan gangguan kesehatan
(kanker) dan lain sebagainya. Dalam mengharamkan Facebook, didukung dengan memberikan
alasan-alasan psikologis, seperti terlalu maniak dunia maya dapat mempengaruhi
psikis seseorang dalam menghadapi tantangan dunia nyata, dll. Sehingga dengan alasan-alasan
rasional seperti itu, masyarakat lebih bisa memahami dan mengerti yang pada
akhirnya diharapkan akan bersedia menerima keputusan hukum. Retorika seperti
itulah barangkali yang diperintahkan nabi saw. dalam sabdanya:
خَاطِبُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ
“Berbicaralah
pada manusia sesuai dengan tingkat (pengetahuan) akalnya.”
Disamping itu, ketika
fatwa haram menyangkut profesi atau ekonomi masyarakat, tentunya sangat tidak
bijaksana jika hanya memvonis haram tanpa memberikan alternatif dan solusi.
Fatwa haram akan lebih ideal dan bijak serta sangat memungkinkan tidak
mengundang kontroversi dan penolakan, jika fatwa haram juga disertai solusi
sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral. Seperti ketika hendak
mengharamkan wanita menekuni profesi tukang ojeg, atau mengharamkan rebonding
yang dapat memberi dampak ekonomi pada pemilik salon, semestinya fatwa haram
juga disertai dengan alternatif konkrit yang bisa menjadi solusi bagi
pihak-pihak terkait, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari hukum
haram yang difatwakan.
Apabila alternatif dan
solusi itu dirasa tidak memungkinkan, mengingat FMP3 dan pondok pesantren hanya
bergerak dalam bidang hukum, usaha untuk memberi jalan keluar itu setidaknya
bisa ditempuh dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah sebagai pihak
yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya, atau bisa
juga dengan mengupayakan melalui cara-cara cerdas lainnya.
Jika demikianlah
faktanya, sementara stigma negatif terlanjur melekat —atau lebih tepatnya
dilekatkan— kepada FMP3 dan pondok pesantren Jatim, lantas, siapa yang
bersalah? Pemberitaan media yang tidak profesional, masyarakat yang awam dan apatis,
atau justru FMP3 yang mengeluarkan fatwa hukum dengan retorika yang
“mengejutkan”? Istafti qalbak! Wa AlLahu a’lam. KD
Lirboyo, 0602’10
Bagikan Tulisan Ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)