April 26, 2012
Couch Mode
Print Story
Selamat Datang di Zona KeIslaman, Kemanusiaan, dan KeIndonesiaan JASSPRO
KEJAHATAN MEWANITAKAN LELAKI
Seperti dimaklumi bahwa, aksi
kejahatan tidak terbatas terjadi pada aspek fisik, tetapi juga terjadi dalam
aspek batin: psikis, mental, dan hati. Pengaruh kejahatan jenis kedua ini,
bahkan memiliki efek destruktif yang jauh lebih fatal dan berbahaya dari jenis
kejahatan pertama. Bagaimana tidak, seorang yang luka fisik akibat aksi
kriminal, maka rumah sakit dan pusat-pusat pengobatan lain, dengan tenaga medis
profesional serta obat-obatan dosis tinggi, dalam 24 jam akan siap memberikan
layanan penyembuhan. Tetapi, 'luka' akibat aksi kejahatan yang memberikan
dampak negatif terhadap psikis, mental atau kejiwaan seseorang (trauma), akan
sulit dicarikan penanganan. Suatu efek destruktif yang tak jarang memberikan
bekas negatif permanen terhadap psikis dan karakter 'korban' sepanjang
hidupnya. Sebuah kalam peribahasa agaknya relevan sebagai ungkapan sederhana
dari hipotesa ini, luka raga hanya sementara, luka hati dibawa mati.
Fenomena 'luka batin'
atau 'trauma' inilah yang kerap dialami oleh —saya mengistilahkan dengan—
lelaki yang diwanitakan dalam sebuah komunitas laki-laki, atau kalau di
pesantren lebih familier dikenal dengan predikat 'Mairil', 'Minthi' atau
sebutan lainnya. Yaitu seorang lelaki dengan tipikal 'feminis' —yang sebenarnya
tipe ini lebih hanya— dalam anatomi bentuk fisik atau gayanya, bukan dalam
kecenderungan psikisnya. Artinya, mereka adalah manusia laki-laki yang normal
lahir-batin.
Dalam sebuah komunitas
laki-laki yang diisolasi dari interaksi lawan jenis, seperti di pesantren
putera, pendidikan kemiliteran (AKABRI), penjara, kerahiban, dll., perlakuan
mewanitakan lelaki demikian barangkali dianggap 'wajar' dan sah-sah saja. Lirik
lagu musisi legendaris, Iwan Fals, "salah sendiri kau cantik...",
boleh jadi dijadikan dalih pembenaran perlakuan mewanitakan lelaki seperti ini.
Tetapi, apabila kita peka dan respek serta peduli dengan realitas kondisi yang
terjadi pada psikologis dan mentalitas lelaki 'feminim' ini, perlakuan
mewanitakan demikan tak jarang memberi pengaruh negatif luar biasa yang sangat
merugikan. Dan karenanya, tidak berlebihan jika perlakuan demikian
dikategorikan sebagai bentuk kejahatan.
Sikap 'mewanitakan' di
sini, tidak harus dipahami sebagai tindakan memposisikan seorang laki-laki
layaknya wanita dalam arti sebenarnya. Seperti sampai menggandrunginya yang
melibatkan perasaan (baca: cinta rajul). Sikap mewanitakan di sini juga boleh
dipahami sebagai memberikan perlakuan dan sikap berbeda dengan laki-laki pada
umumnya dalam satu komunitas. Seperti memberikan perhatian lebih, menggoda,
menggojlok, atau bahkan sekedar men-"zuiiit-zuiiit...", dan
sikap-sikap 'agresif' lain dalam merespon setiap gerak-gerik aktivitas dan penampilannya,
yang memiliki potensi menjatuhkan mental dan membunuh karakter lelakinya.
Sederhananya, ia ditempatkan sebagai figur paling menarik (baca: seksi) dalam
frem komunitas laki-laki, yaitu figur 'wanita.'
Apabila diamati lebih
kritis, sikap mewanitakan lelaki ini paling tidak dipengaruhi oleh salah satu
tiga motif.
Pertama, unsur kejiwaan
yang 'kurang sehat' (baca: nyaris kelainan). Pada level ini, sikap yang
diberikan bukan lagi sebatas ekspresi ketertarikan fisik (sensualitas) belaka,
melainkan telah melibatkan perasaan emosional, seperti perasaan cinta, rindu,
cemburu, bahkan perasaan ‘memiliki’.
Kedua, unsur
ketertarikan fisik (sensualitas). Pada level ini, sikap mewanitakan lelaki
hanya sebatas refleksi dari dorongan gejolak syahwat biologis, tanpa melibatkan
perasaan emosional, di mana dalam tataran tertentu, hal ini masih bisa
ditolerir sebagai 'normal'. Karena, watak dasar dari syahwat adalah
mencenderungi hal-hal yang menyenangkan, indah, atau menarik (baca: ladzat).
Dan ketiga, unsur trend
atau kebiasan dari cara bergaul dalam sebuah komunitas. Pada level ini, sikap
mewanitakan lelaki tidak lebih dari sekedar ekspresi tidak serius, gurauan,
atau basa-basi dalam sebuah pergaulan. Umumnya, sikap ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan
'agresif' yang bernada gojlokan atau menggoda, seperti "zuiiit-zuiiit...!",
"terrr... terrr...!", dan bahasa-bahasa tidak serius lain yang
senada.
Ketiga unsur inilah yang
paling mudah dibaca menjadi motif dari gejala mewanitakan lelaki. Ketiganya
telah mengambil peran penting dalam memberi sugesti negatif terhadap psikis
dan mentalitas 'korban'. Bahkan telah membentuk karakter dan kepribadiannya
yang kehilangan sifat kewajarannya sebagai laki-laki merdeka.
Kendati ada satu-dua
yang justru 'menikmati' perlakuan seperti ini, atau ada juga yang merespon
perlakuan demikian dengan sikap-sikap apatis dan cuek-bebek, namun galibnya
karakter kepribadian 'korban' pada gilarannya akan tumbuh menjadi laki-laki
psikopat, tertutup, tertekan, minder, canggung, kehilangan perasaan bebas
berekspresi, dan seolah menjadi asing dalam komunitas sendiri. Atau, bahkan
muncul perasaan seolah dirinya benar-benar bukan dari jenis laki-laki. Sehingga
perlu ada 'kode-etik aneh' (seperti: jaga jarak, malu, canggung, tidak lepas,
risih, takut, dll.) saat ia harus berinteraksi secara intim (baca: dekat)
dengan sesama laki-laki dalam komunitasnya.
Karakter dan kepribadian
demikian jelas bukan suatu yang positif dalam sebuah hubungan interaksi
laki-laki di tengah komunitasnya. Bahkan dalam lingkungan dunia belajar, akan dapat
merugikan dirinya dalam persaingan meraih prestasi. Sebab, psikisnya menjadi
tak berdaya, trauma disudutkan oleh kondisi lingkungan yang tidak bersahabat
dan telah merampas perasaan bebasnya sebagai lelaki merdeka. Klimaksnya,
kondisi psikis dan mental demikian akan menjadi trauma berkepanjangan dalam
hidupnya, dan akan menjadi kendala serius dalam suksesi meraih obsesi dan
cita-citanya.
Maka bisa dimengerti,
betapa perlakuan mewanitakan lelaki, dengan motif apapun, merupakan tindakan
yang berpotensi besar merusak psikis, mengkerdilkan mental, membunuh karakter,
serta merampas kebebasan perasaan lelaki merdeka. Dan ini cukup patut
dinyatakan sebagai kedhaliman (kejahatan).
Hanya ada dua pilihan
untuk menyudahi kejahatan ini, yakni: kesadaran lingkungan untuk bersedia
mengakhiri perilaku mewanitakan lelaki, agar 'korban' kembali memiliki dunianya
dan hidup dalam kewajarannya sebagai lelaki merdeka. Atau, 'korban-korban' yang
bersangkutan bersedia bangkit, menantang dan menentang setiap bentuk tekanan
lingkungan yang tidak bersahabat dengan kemerdekaan psikisnya itu secara
positif, profesional, dan proporsional, serta meyakininya sebagai tugas dan
kewajiban dari kodratnya.|KD
Lirboyo, 05 Juni 2011
Bagikan Tulisan Ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)