الحَمدُ لله ِالَذِي بَعَثَ رَسُولَهُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَق
وَأَرْسَلَهُ رَحمَةً لجَمِيْع ماخَلَق
وَصَلاَةُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَى مَن نَصَرَ الحَقَّ باِلحَقِّ وَعَلَى
آلهِ وَأَصْحَابهِ وَأَصْفِيَائِهِ الأَصْدَاقِ. أما بعد:
Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi dinamika dan struktur
sosial masyarakat, khususnya Jawa, yaitu agama dan budaya lokal. Dalam
masyarakat Jawa, dua hal tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk
karakter khusus perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai “jati
diri” orang Jawa. Karakter khusus dimaksud mewarnai hampir di semua aspek
sosial masyarakat Jawa baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia (Jawa khususnya) bisa kita
klasifikasikan ke dalam tiga golongan, yakni santri, priyayi dan abangan.
Klasifikasi ini membuktikan adanya dominasi agama dan budaya lokal dalam
membentuk struktur sosial. Masyarakat santri merupakan representasi dari
dominasi agama, sementara masyarakat priyayai dan abangan adalah representasi
dari kuatnya pengaruh budaya lokal. Elaborasi agama dan budaya lokal pada
akhirnya menampilkan corak sosial masyarakat Jawa yang agamis akan tetapi masih
berpegang teguh pada budaya leluhur dalam interaksi sosial.
Permasalahan yang sebenarnya bukan terletak pada pilihan seseorang terhadap
salah satu diantara konsep agama dan budaya atau menerapkan keduanya, akan
tetapi kesadaran terhadap perbedaan nilai-nilai substantif yang dikandung oleh
agama dan budaya. Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga
sering dipahami sebagai suatu dogma yang kaku. Sementara nilai-nilai budaya
relatif dipandang lebih fleksibel sesuai kesepakatan-kesepakatan komunitas
untuk dijadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka seringkali
nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya lokal yang
sebenarnya telah sama-sama mempengaruhi perilaku sosial seseorang.
Oleh karenanya, diperlukan sebuah kearifan serta pandangan kritis terhadap
konsep-konsep agama dan budaya lokal yang membentuk perilaku normatif
masyarakat Jawa agar tidak terjadi kesalahan dalam memandang nilai-nilai luhur
budaya lokal serta tidak terjebak dalam penerapan ajaran agama yang statis,
dogmatis dan kaku yang tercerabut dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil
'alamin.
B. Perilaku Normatif Budaya Lokal
Penciptaan
manusia yang dibekali akal pikiran menjadikan ia sebagai makhluk yang mampu berkreasi
membentuk perilaku-perilaku normatif dan melepaskan mereka dari
perilaku-perilaku binatangisme. Kreatifitas akal pikiran ini pada tahapan
berikutnya menjadikan manusia sebagai suatu komunitas yang memiliki adat
istiadat, tradisi, budaya dan peradaban, yaitu gagasan-gagasan tertentu atau
sudut pandang tertentu yang berkaitan dengan apa yang umumnya dianggap baik
(maslahah) oleh akal dan pikiran. Suatu tingkah laku yang secara naluri akal
pikiran dianggap baik dan diyakini memberikan kemaslahatan serta mendapatkan
kesepakatan secara kolektif, maka tingkah laku tersebut akan mejadi perilaku
normatif masyarakat yang disebut adat istiadat, tradisi, budaya atau
peradaban.
Pada
gilirannya, perilaku normatif ini (adat budaya) akan menjadi sudut pandang (pedoman)
tersendiri yang diadopsi manusia dalam mengarahkan tingkah laku kehidupan dan
interaksi sosialnya. Dengan kata lain, perilaku seseorang akan selalu diarahkan
dan dibimbing oleh pengaruh sudut pandang-sudut pandang adat atau budaya yang
mengitari lingkungan sekitarnya, baik dalam konteks hubungan horizontal yang
berkaitan dengan interaksi kemasyarakan seperti konsep politik, ekonomi, moral
dll. maupun hubungan vertikal yang berkaitan dengan akidah, keyakinan dan
ritual ibadah.
Pengaruh
adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan politik bisa kita saksikan
misalnya (di Indonesia) dengan kemunculan partai-partai politik yang memiliki
idiologi nasionalis, dalam ranah ekonomi dapat kita lihat dari pertarungan
sistem ekonomi kapitalis yang hanya memberikan peluang kepada kaum pemodal dan
cendrung menindas wong cilik, dengan sistem ekonomi lokal yang peduli
dan ramah dengan pelaku ekonomi tingkat bawah. Fakta ini membuktikan adanya
titik singgung antara sistem asing dengan sistem yang merupakan budaya lokal.
Dalam ranah moralitas bisa kita amati betapa orang Jawa begitu mengedepankan
nilai-nilai kesopanan, gotong-royong dan tepo-sliro (toleran) dalam
kehidupan bermasyarakat dan jauh dari sikap individualis, hedonis dan
liberalis.
Demikian
juga pengaruh adat istiadat atau budaya terhadap kehidupan keagamaan bisa kita
jumpai dari beragam ritual di masyarakat. Lebih-lebih di masyarakat Jawa,
fenomena ini sangat kental sekali mewarnai kehidupan mereka. Seperti dalam masa
kehamilan ada acara telon-telon ketika kandungan usia 3 bulan,
tingkepan ketika kandungan usia 6 bulan dll. Dalam kelahiran bayi
ada acara sepasaran, selapanan, piton-piton, tiron-tiron
dll. Dalam pernikahan ada istilah acara ngunggahke beras, temu manten
dengan berbagai ritual dan seremonialnya, seperti kedua mempelai diminumi,
disiram air bunga, menginjak telor, dibuatkan bermacam-macam asesoris dari
janur kuning berupa kembar mayang dll. Dalam kematian ada acara telung dinonan, pitung
dinonan, patang puluh dinonan, satus dinonan, sewu dinonan dengan
membuat kue berupa apem, menyebar beras kuning dan lain seterusnya.
Adat istiadat tersebut juga bisa kita jumpai dalam momen-momen tertentu,
seperti ritual selamatan ketika hendak membangun rumah, ketika akan menggarap
sawah atau kebun, ketika panen, membuat bubur ketika bulan As-Syuro, membuat
ketupat ketika lebaran dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, dalam kehidupan masyarakat Jawa juga kita jumpai adat
tradisi yang dikenal dengan istilah hitungan primbon. Yaitu suatu metode
hitungan yang mengacu pada weton (kelahiran) untuk menentukan hari baik
yang biasanya digunakan pertimbangan dalam memilih jodoh, karir atau pekerjaan
dan lain sebagainya.
Demikianlah diantara aneka ragam ritula-ritual yang dapat kita jumpai dalam
kehidupan masyarakat Jawa, yang kesemuanya telah menjadi adat tradisi yang
diwarisi secara turun-menurun dari para leluhur dan diyakini sebagai perilaku
yang baik dan memberikan kemaslahatan. Bahkan dalam tataran tertentu, orang
yang tidak mengindahkan adat tradisi tersebut akan dianggap gak ilok
(tabu) oleh masyarakat.
C. Tinjauan Hukum Syar'i
Apabila ditinjau melalui konteks
legal-formal (baca: fiqh), secara umum nuansa ritual-ritual seperti di atas
pada dasarnya merupakan praktek ibadah yang memiliki motif tawasul atau tafa'ul,
yang melibatkan faktor keyakinan dan tasaruf.
1. Tawasul
Dalam kacamata Islam (Ahli Sunnah wal
Jama'ah), ritual tawasul dianggap legal apabila disertai keyakinan yang
lurus dan terbebas dari unsur-unsur syirik. Dalam arti, tawasul hanya
diposisikan sebagai sarana ikhtiar (wasilah) untuk memohon kepada Allah dan
tetap meyakini hakikatnya hanya Allah semata yang mutlak memiliki qudrah dalam
segalanya, dan bukan pihak yang dijadikan obyek tawasul. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَابْتَغُوا إلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
|
"Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan
diri kepada-Nya". (QS.
Al-Ma'idah : 35)
|
Keyakinan bahwa makhluk memiliki kekuatan
tersendiri yang telah diciptakan olah Allah dalam diri makhluk (sebagaimana
paham Mu'tazilah), menurut akidah Ahli Sunnah dianggap fasik dan bid'ah, bahkan
menurut sebagian ulama divonis kafir. Demikian juga tidak dibenarkan (jâhil)
keyakinan bahwa hakikat segalanya berasal dari Allah tetapi masih meyakini
dalam sunnatullah ada hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang lazim secara
akal.
Menurut paham Ahli Sunnah, hubungan
kausalitas bisa dibenarkan apabila diyakini kelaziman sebab-akibat terjadi
hanya secara âdah rabbâniyyah (kebiasaan iradah Allah). Dalam arti,
ketika ada sebab, maka musabab "biasanya" pasti ada, dan boleh jadi
"kebiasaan" tersebut tidak terjadi. Dalam akidah Ahli Sunnah, hukum
kausalitas hanya bersifat kebiasaan, yang dalam suatu waktu boleh tidak
berlaku.
2. Tafa'ul
Adapun ritual tafa'ul (menaruh
harapan baik pada sesuatu) dalam Islam dianggap legal, lantaran tafa'ul
secara substansial memiliki esensi positif yang bisa mengantarkan pada
kewajiban husnudhan kepada Allah.
Dengan demikian, apabila dalam tafa'ul
masih terbersit kekhawatiran atau ketakutan akan terjadinya hal-hal negatif
jika tidak melakukan ritual, dan kekhawatiran tersebut tanpa alasan yang
mendasar secara adat, maka ritual tersebut sudah di luar konsep tafa'ul
yang diperbolehkan. Sebab, ritual yang demikian sudah termasuk praktek mengundi
nasib yang diharamkan dalam Islam karena tergolong sikap su'udhan kepada Allah.
Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah saw. bersabda:
أناَ عِندَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَليَظُنّ بِي
خَيْرًا
|
"Aku (Allah),
sesuai dengan prasangka hamba-Ku terahadap-Ku, maka berprasangka baiklah
kepada-Ku".
|
Kekhawatiran atau ketakutan (khauf)
akan terjadinya hal-hal negatif yang menimpa, dalam Islam disebut sikap tathayyur
atau tasyâ'um. Kekhawatiran atau ketakutan seperti ini termasuk sikap
su'udhan kepada Allah yang tidak diperbolehkan kecuali memang didasari oleh
kebiasaan (âdah) yang mutharridah (pasti) atau aktsariyyah
(umum).
Dengan demikian, segala bentuk ritual tafa'ul
karena ada motif kekhawatiran atau ketakutan hukumnya haram sepanjang
kekhawatiran atau ketakutan tersebut tidak dilatari adanya kebiasaan (âdah)
yang mutharridah (pasti) atau aktsariyyah (umum). Di samping itu,
legalitas tawasul atau tafa'ul di dalamnya juga harus terhindar
dari unsur idlâ'atul mâl. Yaitu menasarufkan materi tanpa ada nilai
kemanfaatan yang kembali secara langsung maupun tidak langsung, seperti sesaji
yang dibiarkan tanpa dimanfaatkan.
D. Akulturasi
Ajaran Agama dan Tradisi Budaya
Islam, dengan segenap universalitas syariat yang dibawanya adalah agama
yang sempurna dan paripurna sebagai pedoman segala dimensi kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
|
"Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu". (QS. Al-Maidah : 3)
|
Kesempurnaan
dan keparipurnaan Islam sebagai pedoman kehidupan bersifat integral-universal
yang melampaui batas-batas geografis dan zaman. Nilai-nilai ajaran Islam
bersifat absolut, abadi dan berlaku untuk semesta sepanjang masa, berlaku untuk
seluruh budaya dan peradaban serta berlaku untuk segala suku bangsa manapun.
Allah swt. berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
|
"Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS. Al-Anbiya' : 107)
|
Tidak ada satu pun dimensi kehidupan
manusia yang luput dan tak tersentuh oleh hukum Islam, termasuk adat-istiadat
maupun tradisi budaya dan peradaban. Islam memiliki aturan formal yang baku dan
tegas mengenai legalitas ritual-ritual yang dipengaruhi tradisi atau budaya
lokal seperti yang telah diuraikan di sub sebelumnya.
Kendati demikian, kehadiran Islam sebagai
agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala adat atau budaya yang telah
berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang telah mapan dan
memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak
akan merubah atau menolaknya melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari budaya
Islam itu sendiri dengan membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan
nilai-nilai budi pakerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat.
Rasulullah saw. bersabda:
إنمَا
بُعٍثتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
|
"Aku diutus
hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran budi pakerti."
|
Sekedar untuk menyebut contoh bahwa
kehadiran Islam bukan untuk menolak segala tradisi yang telah berlaku adalah
disyariatkannya ritual Sa'i di bukit Shafa dan Marwa, di mana pada pra-Islam
ritual Sa'i sudah menjadi adat orang-orang Jahiliah.
Hal ini seperti tergambar
jelas dalam asbâbun nuzûl surat Al-Baqarah : 158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ
فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ
بِهِمَا
|
|
"Sesungguhnya
Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang
beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa`i antara keduanya".
(QS. Al-Baqarah : 158)
|
Dalam ranah hukum Islam, kita juga bisa
jumpai beberapa contoh lain yang diadopsi dari adat budaya Jahiliyah dan
dilestarikan ke dalam Islam seperti diyâh, qasâmah, qirâdl,
memasang qiswah (selambu) Ka'bah dan lain sebagainya dari perilaku-perilaku
normatif sosial yang bisa diterima kebenarannya oleh aqlus salim. Sepanjang adat tradisi dan budaya lokal secara subtansial
tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan menerimanya menjadi
bagian dari tradisi dan budaya Islam itu sendiri. Rasulullah
saw. bersabda:
مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ
اللهِ حَسَنٌ
|
"Apa yang
dilihat baik oleh orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah".
|
Apabila ditilik dari latar belakang
historisnya, sebenarnya tidak diragukan bahwa ritual-ritual masyarakat Jawa
seperti diuraikan di atas bukan berasal dari ajaran Islam melainkan dari
peninggalan adat tradisi budaya lokal yang diwarisi dari masyarakat Hindu-Buda
sebelum kehadiran Islam di Jawa, yang kemudian dilestarikan dalam amaliah
keagamaan masyarakat Islam Jawa setelah ada usaha akulturasi antara ajaran
agama dengan budaya lokal yang dipelopori oleh Sunan Kali Jaga sebagai strategi
dakwahnya. Yaitu mengadopsi budaya-budaya lokal kemudian memasukkan ruh-ruh
keislaman ke dalamnya. Seperti tetap melestarikan adat tingkepan, selapanan,
telon-telon, piton-piton, telung dinonan, pitung dinonan, dll.
namun mengisinya dengan amaliah-amaliah Islam seperti membaca Al-Qur'an,
shalawat, tahlil, mengirim doa untuk leluhur, sedekah dan ibadah-ibadah lain
yang dianjurkan dalam Islam.
Strategi dakwah dengan akulturasi ajaran
agama dan budaya ini terbukti lebih efektif dalam keberhasilan penyebaran Islam
di Jawa dibanding penerapan ajaran agama yang terlalu dipaksakan yang tak
jarang justru mengundang penolakan dan menimbulkan problem-problem sosial yang
mengganggu stabilitas politik, keamanan, sosial dan ekonomi secara umum dan
justru bisa menghilangkan akar budaya masyarakat Jawa yang dikenal ramah,
toleran dan permisif.
Dalam firman-Nya, Allah swt. telah
mengajarkan bagaimana etika dalam mengajak umat menuju jalan Allah, yaitu
dengan cara-cara yang lemah lembut, tidak arogan dan dengan bahasa serta sikap
yang penuh hikmah. Allah swt. berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
|
"Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka". (QS. Ali Imran :
159)
|
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
|
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS.
Al-Anbiya' : 107)
|
Lebih dari itu, adalah fakta bahwa
penerimaan terhadap Islam di Jawa tidak terlepas dari strategi dakwah yang
secara elegan mau menerima bahkan mengadopsi nilai-nilai budaya lokal yang
secara substansial tidak bertentangan dengan Islam. Dalam konteks seperti ini,
akulturasi bisa dipahami sebagai penengah antara ketaatan beragama yang
bersifat dogmatis dengan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi budaya lokal
yang bersifat fleksibel dan berakar pada kolektifitas.
E. Sebuah Refleksi
Dalam konteks dakwah penyebaran Islam,
seharusnya kita mampu memposisikan diri sebagai orang yang bisa menerima kehadiran
agama dan nilai-nilai luhur suatu budaya secara proporsional, dan jangan sampai
memposisikan diri sebagai orang yang hanya mengakui nilai-nilai agama sebagai
satu-satunya konsep yang mengarahkan perilakunya tanpa peduli pada nilai-nilai
budaya lingkungan sekitar. Demikian juga sebaliknya, jangan sampai kita tampil
di masyarakat sebagai orang yang hanya berpakem pada budaya dan tradisi tanpa
pertimbangan-pertimbangan yang bersumber dari agama. Sebab, bagaimanapun
perilaku normatif dan budaya Jawa dengan kekhasan yang dimilikinya, telah turut
menentukan model pengamalan ajaran agama Islam masyarakat Jawa.
Oleh karenanya, diperlukan sikap yang
bijak dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam perilaku dan
interaksi sosial. Dengan
pemahaman seperti ini, ide gerakan pribumisasi ajaran Islam di Jawa ataupun
Indonesia, diharapkan akan bisa dicapai. Karena, membumikan ajaran-ajaran
keislaman ke dalam tradisi dan budaya lokal yang secara substansial tidak
bertentangan dengan Islam kiranya jauh lebih penting dari pada usaha arabisasi
seperti yang digalakkan oleh sementara kalangan yang cenderung hanya
mementingkan sisi platform dan performa Islam daripada nilai-nilai dan ruh
keislaman yang lebih luhur dan mendalam. |KD| WaAllahu
A'lam.
__________________________
Tîjân Ad-Durâry,
hlm. 5-6