April 29, 2012

KRITIK DAN USULAN UNTUK MHM-KU TERCINTA



    Kebesaran popularitas Pesantren Lirboyo di panggung intelektual kaum sarungan, banyak dipercaya merupakan produk dari sistem belajar musyawarah yang secara ketat diterapkan sejak dini di tiap jenjang pendidikannya. Penerapan sistem ini telah berhasil menggeser sistem belajar lama yang bersifat monologis (sepihak), menjadi aktivitas didaktik yang dialogis-emansipatoris. Santri tidak sekedar diposisikan sebagai obyek pasif dalam aktivitas belajar-mengajar, yang hanya mendengar, menulis, dan dicekoki keterangan-keterangan atau doktrin-doktrin dari pengajar, melainkan diperankan langsung sebagai subyek (pemain) yang aktif. Santri sejak dini dilatih kritis berpikir, menganalisis, berpendapat, dan munâdharah (berdebat), adu argumentasi secara bebas.
Sistem belajar musyawarah yang dialogis-emansipatoris demikian, memiliki peran penting dalam mengasah ketajaman inteligensi dan daya analitis santri. Sehingga pada gilirannya, membentuk karakter dan nalar keilmuan santri-santri MHM Lirboyo yang kritis, progresif, dan profesional.
Pada skala internal, prestasi ini bisa dilihat dari profesionalisme para aktivis dalam Bahtsul Masa'il di gedung LBM (Lajnah Bahtsul Masa'il) PP. Lirboyo. Kendati metode dalam mengkaji masa'il masih kental memakai teori pendekatan fiqh qauli (pemahaman tekstual), untuk ukuran kualifikasi keilmuan santri yang masih menyandang predikat siswa, nilai kualitas diskusi yang didemonstrasikan cukup memiliki bobot ilmiah.
Pada skala eksternal, profesionalisme demikian juga bisa dilihat dari penampilan para santri MHM Lirboyo saat didelegasikan ke forum-forum diskusi ilmiah antar pondok pesantren, seperti FMPP, dll. Delegasi-delegasi santri MHM Lirboyo, dalam banyak kesempatan, hampir dipastikan paling dominan dalam mewarnai alur perdebatan, bahkan paling menentukan hasil keputusan. Prestasi serupa, juga bisa dilihat dari alumni-alumni MHM Lirboyo yang kemudian melanjutkan pendidikan ke universitas dan memainkan peranan penting dalam dinamika dunia akademik kampus.
Secara kuantitas, jumlah aktivis yang berprestasi dan profesional dalam forum-forum ilmiah seperti di atas, memang tidak cukup representatif untuk mengilustrasikan profesiolisme santri MHM secara menyeluruh. Namun paling tidak bisa dipahami bahwa, profesionalisme intelektual demikian merupakan prestasi yang dibangun melalui proses panjang dalam sebuah sistem belajar musyawarah yang ketat di MHM.
Dari analisa ringkas di atas, dapat dimengerti betapa sistem belajar musyawarah menjadi sistem vital dalam keberhasilan penyelenggaraan ta'lim wa ta’allum (belajar-mengajar) di MHM Lirboyo.
Hal ini sangat logis. Sebab, bagaimanapun, sulit rasanya membayangkan prestasi profesionalisme keilmuan seperti di atas berhasil didapati santri hanya melalui proses belajar-mengajar di dalam kelas, atau melalui kegiatan sorogan dan ngaji bandongon/weton. Pengajaran di dalam kelas lebih bersifat tutorial (memaknai, menghapal, dan keterangan alakadarnya). Demikian juga dalam sistem sorogan atau ngaji bandongan/weton. Betapapun dalam tataran tertentu dipercaya penting, namun sistem-sistem pengajaran demikian bersifat monologis, yang tidak cukup efektif untuk memungkinkan membangun daya analitis santri yang tajam, kritis, dan membentuk karakter intelektualitasnya yang profesional. Kecakapan dan ketajaman daya analitis santri hanya memungkinkan terasah melalui pergulatan panjang dalam sistem-sistem belajar yang dialogis-emansipatoris. Yakni suatu sistem belajar berupa aktivitas olah inteligensi: dialog, diskusi, dan berpolemik ilmiah secara sportif, kompetitif dan sehat.
Tetapi, belakangan, sistem belajar musyawarah yang diterapkan di MHM Lirboyo ini, mulai tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai Aliyah, kondisi dan kualitasnya secara umum mengalami degradasi cukup memprihatinkan (untuk tidak menyebutnya telah lumpuh). Secara formalitas, mungkin pada jam-jam musyawarah seluruh lokal tiap tingkatan (khusus kelas 3 Aliyah sebagai pengecualian, dengan alasan klasik: trend roan) masih dipenuhi peserta musyawarah. Namun perlu ditegaskan bahwa, semarak 'kedisiplinan' kehadiran peserta musyawarah itu, sebenarnya tidak lagi merefleksikan spirit kesadaran akan nilai urgen musyawarah itu sendiri, melainkan lebih didasari semangat menunaikan 'kewajiban' MHM demi menghindari ta'zir.
Dari aspek kedisiplinan, kondisi di tingkat Ibtidaiyah, aktivitas musyawarah akan begitu saja berubah menjadi sulit dibedakan (untuk tidak mengatakan sama) dengan Play Grop, ketika mustahiq tidak kontrol. Demikian juga tingkat Tsanawiyah, pemandangan kondusif kerap 'dipertontonkan' peserta musyawarah sekedar sebagai 'action' manakala mustahiq kontrol saja.
Dan untuk tingkat Aliyah, yang seharusnya telah memiliki tingkat kemapanan dan kematangan pengalaman berdiskusi dan beradu argumen secara dialogis, kondisi musyawarahnya justeru tampak lesu dan malas-malasan. Ada kecenderungan musyawarah bukan lagi menjadi aktivitas ilmiah yang menarik di tingkat ini. Sehingga tak jarang jika rais-rais yang pandai bercerita, mendongeng, pintar berakting lucu, jauh lebih mempesona dan memperoleh simpati serta perhatian peserta musyawarah meskipun kosong nilai ilmiahnya, ketimbang rais-rais yang serius dan berkompeten. Forum musyawarah nyaris kehilangan nilai ilmiahnya dan berubah menjadi majlis hikayah dan pentas dagelan.
Beberapa kelas di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, mungkin masih ada yang tampak —seperti— kondusif. Misalnya duduk berbaris, kelompok rapi, dan tertib. Tetapi di balik nuansa kondusif itu, rata-rata nilai diskusi dan kualitas perdebatannya pun sangat sederhana dan miskin nilai ilmiah.
Kondisi musyawarah seperti ini jelas bukan kondisi yang menguntungkan bagi siapapun dalam proses ta'allum. Bagi peserta musyawarah yang potensial dan punya obsesi (himmah) belajar tinggi, akan merasa muak berada di dalam forum yang tidak memberinya tantangan ilmiah apapun. Maka lumrah, jika kondisi musyawarah demikian selanjutnya memicu beberapa siswa potensial merasa frustasi, patah semangat, dan lalu memilih angkat kaki dari forum musyawarah dengan mencari-cari kesibukan di luar, seperti masuk ndalem, masuk pekerja pondok, masuk organisasi, nduduk dan kuliah, dll. untuk menghindari jeratan wajib musyawarah. Sedangkan bagi peserta yang kurang memiliki himmah belajar, kondisi musyawarah yang tidak kondusif bisa saja dimanfaatkan sebagai kesempatan 'cangkrukan resmi' dengan komunitasnya, yang jelas merugikan secara kalkulasi ilmiah.
Fenomena musyawarah yang tercerabut dari spirit ilmiah demikian, sekaligus telah menjadi faktor paling serius penyebab musyawarah MHM Lirboyo menjadi vakum dan kehilangan fungsi efektifitasnya sebagai sistem pemberdaya dan pembentuk karakter intelektualitas dan nalar keilmuan santri. Episode kondisi dan kualitas musyawarah MHM Lirboyo seperti tercover di atas, apabila dibiarkan stagnan berkepanjangan, dan tidak lekas mendapat respon, perhatian, dan kepedulian melalui terobosan-terobosan cerdas dan gebrakan-gebrakan berani dari pihak-pihak pemegang otoritas dan tanggung jawab (mustahiq, M3HM, dan MHM), sangat dikhawatirkan akan menjadi masalah serius bagi MHM Lirboyo dalam kapasitasnya sebagai lembaga tafaqquh fid dîn yang telah memperoleh kepercayaan banyak pihak.
Terobosan dan gebrakan yang harus diberikan pihak-pihak pemegang otoritas dan tanggung jawab itu, sudah saatnya untuk tidak hanya terfokus dan terhenti pada tataran kedisiplinan, keaktifan, atau ketertiban pelaksanaan musyawarah belaka, melainkan harus menyentuh pada bagaimana menggagas trik-trik konstruktif yang mampu menginisiasi dan menginspirasi kesadaran santri bermusyawarah yang efektif. Perhatian dan kepedulian terhadap upaya peningkatan kualitas musyawarah, jauh lebih penting dari sekedar mengupayakan kerapian dan ketertiban barisan duduk peserta musyawarah. Memperketat hukuman ta'zir secara 'emosional' tanpa diimbangi memberikan gagasan-gagasan brilian yang mampu menstimulus kesadaran dan gairah musyawarah, hanya akan memicu perasaan dan sikap 'kesal' dari peserta musyawarah itu sendiri.

TAWARAN SOLUSI MUSYAWARAH
1.    Kondusifitas musyawarah di tingkat Tsanawiyah dan Aliyah akan sulit diciptakan tanpa melibatkan peran dan aksi para aktivis yang telah berhasil dibangun profesionalisme bermusyawarahnya sejak di tingkat Ibtidaiyah. Karena itu, sangat penting untuk melakukan penjaringan (rekruitmen) sebanyak mungkin siswa-siswa potensial sejak dini di tingkat Ibtidaiyah. Selanjutnya, diperlukan gemblengan dan pelatihan khusus yang berkelanjutan terhadap siswa-siswa ini melalui prifat-prifat khusus oleh mustahiq yang kridibel untuk mempersiapkan mereka menjadi aktivis professional dalam bermusyawarah di tingkat selanjutnya.
2.    Adalah fenomena umum jika musyawarah di tingkat Aliyah semakin tidak menarik dan diminati lagi. Kondisi memprihatinkan ini setidaknya dikarenakan:
a.     Minim dan menurunnya penekanan dan kontrol dari mustahiq.
Bukan rahasia lagi jika di tingkat Aliyah intensitas penekanan dan kontrol terhadap kewajiban musyawarah dari mustahiq jauh menurun dibanding ketika di tingkat Ibtidaiyah atau Tsanawiyah. Kita barangkali bisa berdalih, “masak sudah Aliyah masih butuh dikontrol terus, kayak siswa Ibtida’ saja”. Untuk dalih seperti ini mungkin perlu diberitahukan bahwa, jika mereka benar-benar Aliyah, mustinya memiliki tingkat kesadaran bermusyarah yang lebih dewasa dibanding adik-adik kelasnya. Tapi faktanya??!
Artinya, kita kerap menganggap meraka sudah memiliki kedewasaan dan kesadaran bermusyawarah yang mandiri, sehingga mustahiq kemudian merasa tidak perlu untuk memperlakukan mereka layaknya siswa Ibtidaiyah atau Tsanawiyah. Tapi perlu ditegaskan bahwa, betapa anggapan demikian ternyata tidak realistis.
Di sinilah menurut saya diperlukan sebuah solusi yang barang kali sedikit radikal, yakni: MHM atau M3HM perlu mengangkat secara resmi minimal satu mustahiq di tiap bagian dan di semua tingkatan, yang ditugaskan sebagai perumus dan pengontrol aktif. Dengan adanya perumus yang siap memberikan arahan-arahan inspiratif setiap musyawarah, akan menarik simpati dan menggerakkan gairah peserta musyawarah, karena terdapat figur yang mengawasi, membimbing, dan mencerahkan. Tanpa kebijakan demikian, agaknya sulit untuk mewujudkan musyawarah di tingkat Aliyah bisa sesemarak musyawarah di tingkat bawahnya.
b.     Kurangnya pencerahan dan penyegaran dari M3HM sebagai pemegang otoritas.
Kerja M3HM selama ini cenderung tidak menyentuh ke upaya konkrit peningkatan kualitas musyawarah siswa MHM, melainkan hanya menitikberatkan pada tataran kedisiplinan, ketertiban, dan keaktifan peserta musyawarah belaka. Betapapun itu penting, M3HM menurut saya sudah saatnya mulai lebih memikirkan langkah-langkah strategis dan gagasan-gagasan konstruktif untuk meningkatkan kualitas musyawarah siswa MHM. Siswa MHM sedang haus inspirasi dan pencerahan dalam bermusyawarah, bukan sedang bandel dan liar yang perlu ditertibkan dengan beragam ta’ziran.
Di sinilah menurut saya, M3HM perlu melakukan penyuluhan dan pembacaan kondisi musyawarah secara lebih real, kritis, dan menyeluruh yang menyentuh tataran kualitasnya, kemudian disikapi melalui pembekalan-pembekalan atau penataran-penataran musyawarah yang lebih menyasar dan lebih intensif. Karena faktanya, penataran-penataran keraisan yang diselenggarakan M3HM setahun hanya sekali selama ini, nyaris tidak memberi dampak berarti di lapangan.
c.      Terlalu banyaknya materi dan minimnya waktu.
Durasi waktu musyawarah 1,5 jam dengan jumlah materi 8 s/d 10 mata pelajaran dalam seminggu, mengharuskan 1,5 jam dibagi untuk dua mata pelajaran (hishah ula dan tsani) dalam setiap musyawarah. Durasi ini jelas tidak ideal untuk membangun kualitas musyawarah seperti yang diobsesikan. Dalam waktu sedemikian sempit, paling-paling habis hanya untuk sekedar muradi materi pelajaran yang sekian banyak itu. Kalaupun diberi setengah jam untuk berdiskusi, itu bukan waktu yang cukup untuk memungkinkan tercipta perdebatan yang dialogis, apalagi tuntas.
Karena itu, usul saya, untuk tingkat Aliyah, bahkan Tsanawiyah, perlu pengurangan materi musyawarah, agar kesempatan berdiskusi semakin banyak. Dalam satu hari, cukup satu materi pelajaran saja yang dimusyawarahkan. Dalam 1,5 jam, setengah jam pertama untuk penyeragaman pemahaman murad melalui musyawarah kelompok, dan satu jam berikutnya untuk berdiskusi. Dalam sistem ini, hanya pelajaran-pelajaran utama saja yang dimusyawarahkan. Sedangkan pelajaran-pelajaran lain, cukup dipelajari di luar jam musyawarah. Di tingkat Tsanawiyah, lebih-lebih Aliyah, mustinya ironis apabila musyawarah hanya difungsikan sekedar untuk mempertanyakan murad, melainkan mendiskusikan dan memperdebatkan secara dialogis poin-poin penting dalam materi, agar siswa benar-benar terbangun intelektualitasnya melalui aktivitas musyawarah.
d.     Stagnasi berkepanjangan dan krisis tantangan.
Denyut nadi kehidupan musyawarah sebenarnya hanya diperankan oleh beberapa siswa dari seluruh peserta musyawarah. Yaitu siswa-siswa yang telah terbangun kridibelitasnya sejak Ibtida’iyah atau Tsanawiyah. Mereka inilah pada dasarnya yang menjadi motor penggerak kehidupan musyawarah, sedangkan yang lain hanya makmuman. Artinya, apabila figur-figur penggerak ini sanggup menghidupkan suasana musyawarah, maka lainnya akan sami’na wa atha’na.
Namun belakangan, karena kondisi musyawarah MHM mengalami stagnasi kualitas berkepanjangan, figur-figur penggerak ini mulai merasa tidak tertarik musyawarah, sebab merasa tidak ada tantangan berarti dan tidak mendapatkan apa-apa dari musyawarah. Mereka berpikir, mendingan belajar sendiri dari pada susah-susah berangkat musyawarah yang tidak banyak memberikan faidah lagi bagi dirinya.
Untuk fenomena seperti ini, saya mengusulkan, yang pertama kali harus direalisasikan adalah, menggarap anggota keraisan dan figur-figur berpengaruh kelas. Mereka harus benar-benar dilatih, dibriefing secara serius untuk dipersiapkan menjadi motor penggerak denyut nadi kehidupan musyawarah. Begitu kerja figur-figur berpengaruh kelas ini berhasil degerakkan, akan menjadi arus yang menghegemoni suasana musyawarah, sehingga peserta yang lain akan turut mengamini dan menjadi makmum yang sami'nâ wa atha'nâ. Karena, figur-figur berpengaruh kelas inilah sebenarnya yang menjadi agen-agen perubahan kondisi dan kualitas musyawarah ke arah yang lebih kondusif, berkualitas dan progresif.

USULAN UNTUK SEKOLAH TINGKAT ALIYAH
Seperti yang kita maklumi bersama bahwa, sudah sekian lama kondisi sekolah siswa tingkat Aliyah MHM jauh dari kata ideal. Siswa Aliyah yang masih memiliki gairah belajar, menghapal, dan memahami atau berdiskusi memberdayakan potensi intelektualnya, praktis bisa dihitung dengan jari, yakni hanya beberapa gelintir aktivis LBM dari ratusan bahkan ribuan total siswa Aliyah. Karenanya, barang kali tidak berlebihan jika dikatakan, aktivitas peningkatan kualitas keilmuan siswa di MHM secara umum sebenarnya sudah selesai sejak kelas 1 Aliyah. Kondisi belajar 2 tahun berikutnya (kelas 2 dan 3 Aliyah) seperti lâ yahyâ wa lâ yamût. Fenomena sekolah di tingkat ini nyaris sulit dibedakan dengan fenomena ngaji bandongan atau ramadlanan. Yakni hanya sibuk menghabiskan waktu memenuhi kitab-kitab dengan makna gandul, tanpa ada spirit lagi untuk memahami, mengkaji, atau mendiskusikan secara mendalam.
Gejala demikian sebenarnya sudah mulai bisa dibaca sejak kelas 1 Aliyah dan menemui titik paling nadir di kelas 3 Aliyah. Kondisi musyawarah, hasil nilai tamrin, nilai ujian, dan muhafadhah, bisa kita jadikan indikasi untuk penilaian ini. Ada kesan siswa MHM di tingkat Aliyah tidak lagi menganggap penting dengan kegiatan-kegiatan tersebut. Mereka seperti merasa sudah tidak peduli, apatis, bosan, dan jenuh setelah sekian tahun belajar di MHM dengan sistem dan metode yang sama, yakni: maknani, menghapal, maknani, menghapal, begitu seterusnya, tanpa ada sistem dan metode belajar baru yang khusus dan menyegarkan untuk siswa jenjang akhir MHM.
Jika dianalisis, di samping faktor jenuh di atas, ada beberapa faktor yang menurut saya turut mempengaruhi kondisi sekolah di tingkat Aliyah menjadi seperti di atas. Di antaranya adalah faktor usia. Usia siswa Aliyah yang rata-rata di atas 20 tahun, apabila merujuk siswa dalam jenjang sekolah formal, adalah usia-usia mahasiswa S1. Usia yang pada umumnya secara naluri mulai memikirkan masa depan secara realistis, yakni masalah kerja (ekonomi) dan pasangan hidup. Di usia-usia ini, umumnya pikiran para siswa mulai terpecah dan terusik dengan banyak tanda tanya spekulatif masa depan: saya akan kerja apa?, saya akan hidup bagaimana dan bersama siapa?, seberapa besar hasil pendidikan yang saya tempuh akan mendukung mencerahkan prospek masa depan saya?, dll. Karena itu, kecenderungan siswa di usia ini adalah mencari sistem dan metode belajar yang bersifat spesialis (kejuruan atau fakultas).
Jika mereka tidak mendapati jawaban prospektif dan harapan cerah dari tanda tanya-tanda tanya itu untuk kemapanan masa depannya dari kualifikasi hasil belajar di MHM, mereka kemudian akan menjadi setengah hati belajar di MHM, sehingga banyak yang mulai memutuskan untuk kuliah, kursus, kerja, dll. Jadi mereka sedang berada di usia yang sebenarnya menuntut sebuah pendidikan sistematis yang bisa mengantarkan kualifikasi keilmuan mereka pada tingkat profesional dan ahli yang bisa mendukung kemapanan masa depannya. Artinya, bukan sekedar sistem dan metode belajar yang hanya menekankan pada maknani dan menghapal lagi. Inilah menurut saya yang mereka butuhkan di tingkat Aliyah. Sebuah sistem dan metode belajar khusus yang mampu menyegarkan himmah belajar mereka yang secara naluri mulai berpikir realistis untuk sanggup menantang kehidupan masa depannya.
Pikiran-pikiran demikian ini akan semakin menghebat saat mereka berada di kelas 3 Aliyah. Fenomena lazim yang melanda pikiran siswa kelas 3 Aliyah adalah: ketidakjelasan masa depannya. Mereka dilanda kebingungan mau kemana dan bagaimana. Mau melanjutkan belajar ke jenjang lebih lanjut, umumnya terganjal dengan finansial dan usia yang terlanjur menua di pondok sehingga lebih menuntut mereka bekerja ketimbang meneruskan belajar di bangku sekolah. Tetapi, jika mau bekerja, jelas tidak memiliki bekal ketrampilan dan keahlian kerja dari pesantren di tengah persaingan hidup yang kian kompetitif. Dan sejuah yang saya tahu, kelanjutan nasib mereka setelah menyelesaikan pendidikan MHM ini, belum banyak dipikirkan.
Dari analisis sederhana di atas, saya memiliki beberapa usulan opsional terkait dengan sekolah tingkat Aliyah MHM.

OPSI A
Mengganti sistem sekolah tingkat Aliyah mejadi program takhasshush (spesialisasi). Dalam program ini, mata pelajaran direduksi menjadi:
1.      Takhasshush bidang tafsir;
2.      Takhasshush bidang hadits;
3.      Takhasshush bidang Fiqh;
4.      Takhasshush bidang Qaidah Fiqh dan Ushul Fiqh;
5.      Takhasshush bidang Kalam (Teologi)
6.      Takhasshush bidang Tasawuf (Akhlak);
7.      Takhasshush bidang adab (lughat)
8.      Dll.
Masa pendidikan dalam program ini tetap sama 3 tahun. Yang berbeda, di samping mata pelajaran di atas, adalah sistem pembelajarannya. Dalam program ini tidak ada lagi kegiatan memaknai gandul. Sebab, siswa di tingkat ini seharusnya tidak perlu lagi menghabiskan waktunya hanya untuk mencari makna gandul, melainkan pendalaman pemahaman, kajian, dan analisis. Jika masih merasa butuh makna gandul, mustinya dicukupkan dengan pengajian-pengajian di luar kelas atau ramadlanan. Siswa hanya dimobilisasi untuk banyak membaca kitab-kitab yang berkaitan dengan bidangnya masing-masing dan mengkaji serta mendiskusikannya secara mendalam dalam sebuah kelompok di bawah bimbingan khusus mustahiq. Kemudian diharuskan membuat resume atau kesimpulan semacam skripsi, dan mempresentasikannya di hadapan penguji (bisa diambilkan dari mustahiq atau pihak-pihak berkompeten) sebagai syarat kelulusan di setiap tingkatan. Proyek dalam program ini adalah menyiapkan tamatan MHM menjadi alumni yang memiliki keahlian khusus terhadap khazanah pesantren (kitab kuning).
Program takhasshush ini, membutuhkan pembimbing yang kridibel sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ini mungkin salah satu kendala yang agak sulit dipenuhi MHM, mengingat selama ini tenaga pengajar MHM hanya diambilkan dari tenaga-tenaga internal MHM yang tentunya hanya memiliki tingkat kridibelitas “lokal”. Program ini perlu menghadirkan para pakar dari eksternal MHM untuk memberikan pencerahan sesuai kepakarannya, minimal sekali dalam satu kuartal. Sekedar contoh, misalnya menghadirkan Dr. Quraisy Syihab atau KH. Ahsin Sakho untuk bidang tafsir, KH. Azizi Hazbullah atau KH. Sahal Mahfudh untuk bidang fiqh, qaidah fiqh dan ushul fiqh, KH. Said Aqil untuk bidang ilmu kalam, Habib Luthfi untuk bidang tasawuf, dll. Kehadiran para pakar ini akan sangat mencerahkan dan memberi banyak inspirasi terhadap siswa dalam keberhasilan program takhasshushnya. Sementara kerja mustahiq lebih bersifat mengawal dan mengontrol aktivitas pembacaan kitab-kitab dan aktifitas diskusi siswa.

OPSI B
Menghapus 3 tahun tingkat Aliyah dan menggantinya menjadi 4 tahun dengan program fakultas. Opsi ini mungkin lebih radikal dari opsi pertama, sebab yang menjadi proyek dari opsi ini adalah agriditasi ijazah MHM stara dengan S1. Artinya, siswa MHM yang telah menamatkan progam ini akan memiliki ijazah yang distarakan dengan S1 dan diakui DEPAG atau DIKNAS. Opsi ini boleh juga dibilang me-Ma’had Aly-kan tingkat Aliyah MHM. Dengan kata lain, mengganti 3 tahun tingkat Aliyah dengan Ma’had Aly berupa program kesarjanaan 4 tahun. Hanya saja, akan semakin bergengsi apabila MHM berani membuka fakultas-fakultas non-agama, seperti fakultas teknik, akuntansi, managemen, medis, dll. Sebab faktanya, dari sekitar 400 s/d 500 santri yang tamat Aliyah Lirboyo tiap tahun, tidak semua berhasil “di-kyai-kan”, dan mereka bahkan menduduki angka mayoritas. Fakultas-fakultas non-agama inilah yang disiapkan untuk memberi kesempatan santri-santri yang memiliki kecenderungan ke bidang ketrampilan dan profesionalisme kerja ketimbang menjadi ulama (ngedep dampar) yang mayoritas itu.
Apa tidak dicukupkan dengan Ma’had Aly di Tribakti? Menurut saya tidak, sebab secara organisatoris Ma’had Aly Tribakti tidak ada hubungannya dengan MHM. Dan tidak ada tradisi tamatan MHM selanjutnya masuk Ma’had Aly Tribakti secara massif, sebagaimana tradisi tamatan Tsanawiyah yang selanjutnya masuk 3 Aliyah MHM. Artinya, ijazah tamat MHM hanya akan diperoleh dengan meyelesaikan tingkat Aliyah MHM, bukan dengan meyelesaikan Ma’had Aly Tribakti. Karena itulah MHM perlu memiliki Ma’had Aly sendiri, sehingga lebih bisa mengikat siswa tamatan Tsanawiyah MHM untuk terus melanjutkan di program Ma’had Aly MHM ini.
Keuntungan kita dari opsi ini adalah, pertama Lirboyo akan tetap bisa menjaga eksistensi tradisi keilmuan salafnya melalui 6 tahun jenjang Ibtida’iyahnya, dan 3 tahun jenjang Tsanawiyahnya. Dan kedua, Lirboyo akan menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap dinamika zaman, yang secara perspektif mayarakat kontemporer akan dinilai Lirboyo sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kompetitif dan survive di tengah kontestasi dunia pendidikan modern. Sebab tidak seharusnya pesantren berlama-lama bersikap eksklusif dan terus-terusan berlari menjauh dari kenyataan modernitas, melainkan pesantren harus berani tampil di garda terdepan memimpin modernitas dengan mentransvormasikan nilai-nilai dan ruh salafus shalih ke pentas peradaban masa kini.
Opsi ini mungkin sulit untuk bisa diwujudkan dalam waktu dekat, sebab memerlukan banyak prasarana, infrastruktur dan fasilitas akademik yang memadai. Namun apabila ide ini dipandang perlu, maka sudah saatnya MHM mulai memikirkan dan menyiapkan segalanya untuk mematangkan dan merealisasikan ide ini.
Barang kali ini sebagian unek-unek yang bisa saya sampaikan. Apabila diterima kami sangat bersyukur, kendati tulisan di atas hanya berupa abstraksi kasar yang masih perlu dikritik secara bijak dari para petinggi MHM. Apabila tidak diterima, semoga cukup menjadi renungan bersama demi kebaikan MHM yang kita cintai. Dan apabila unek-unek di atas dirasa lancang atau kurang sopan, kami mohon maaf yang setulusnya. Wa Allahu A’lam.


Da’imullah Goeztav
Lirboyo, 17 Maret 2012

Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet