Kebesaran popularitas Pesantren
Lirboyo di panggung intelektual kaum sarungan, banyak dipercaya merupakan
produk dari sistem belajar musyawarah yang secara ketat diterapkan sejak dini
di tiap jenjang pendidikannya. Penerapan sistem ini telah berhasil menggeser
sistem belajar lama yang bersifat monologis (sepihak), menjadi aktivitas
didaktik yang dialogis-emansipatoris. Santri tidak sekedar diposisikan sebagai
obyek pasif dalam aktivitas belajar-mengajar, yang hanya mendengar, menulis,
dan dicekoki keterangan-keterangan atau doktrin-doktrin dari pengajar,
melainkan diperankan langsung sebagai subyek (pemain) yang aktif. Santri sejak
dini dilatih kritis berpikir, menganalisis, berpendapat, dan munâdharah
(berdebat), adu argumentasi secara bebas.
Sistem
belajar musyawarah yang dialogis-emansipatoris demikian, memiliki peran penting
dalam mengasah ketajaman inteligensi dan daya analitis santri. Sehingga pada
gilirannya, membentuk karakter dan nalar keilmuan santri-santri MHM Lirboyo
yang kritis, progresif, dan profesional.
Pada skala
internal, prestasi ini bisa dilihat dari profesionalisme para aktivis dalam
Bahtsul Masa'il di gedung LBM (Lajnah Bahtsul Masa'il) PP. Lirboyo. Kendati
metode dalam mengkaji masa'il masih kental memakai teori pendekatan fiqh
qauli (pemahaman tekstual), untuk ukuran kualifikasi keilmuan santri
yang masih menyandang predikat siswa, nilai kualitas diskusi yang
didemonstrasikan cukup memiliki bobot ilmiah.
Pada skala
eksternal, profesionalisme demikian juga bisa dilihat dari penampilan para
santri MHM Lirboyo saat didelegasikan ke forum-forum diskusi ilmiah antar
pondok pesantren, seperti FMPP, dll. Delegasi-delegasi santri MHM Lirboyo,
dalam banyak kesempatan, hampir dipastikan paling dominan dalam mewarnai alur
perdebatan, bahkan paling menentukan hasil keputusan. Prestasi serupa, juga
bisa dilihat dari alumni-alumni MHM Lirboyo yang kemudian melanjutkan
pendidikan ke universitas dan memainkan peranan penting dalam dinamika dunia
akademik kampus.
Secara
kuantitas, jumlah aktivis yang berprestasi dan profesional dalam forum-forum
ilmiah seperti di atas, memang tidak cukup representatif untuk mengilustrasikan
profesiolisme santri MHM secara menyeluruh. Namun paling tidak bisa dipahami
bahwa, profesionalisme intelektual demikian merupakan prestasi yang dibangun
melalui proses panjang dalam sebuah sistem belajar musyawarah yang ketat di
MHM.
Dari
analisa ringkas di atas, dapat dimengerti betapa sistem belajar musyawarah
menjadi sistem vital dalam keberhasilan penyelenggaraan ta'lim wa ta’allum
(belajar-mengajar) di MHM Lirboyo.
Hal ini
sangat logis. Sebab, bagaimanapun, sulit rasanya membayangkan prestasi
profesionalisme keilmuan seperti di atas berhasil didapati santri hanya melalui
proses belajar-mengajar di dalam kelas, atau melalui kegiatan sorogan dan ngaji
bandongon/weton. Pengajaran di dalam kelas lebih bersifat tutorial (memaknai,
menghapal, dan keterangan alakadarnya). Demikian juga dalam sistem sorogan atau
ngaji bandongan/weton. Betapapun dalam tataran tertentu dipercaya penting,
namun sistem-sistem pengajaran demikian bersifat monologis, yang tidak cukup
efektif untuk memungkinkan membangun daya analitis santri yang tajam, kritis,
dan membentuk karakter intelektualitasnya yang profesional. Kecakapan dan
ketajaman daya analitis santri hanya memungkinkan terasah melalui pergulatan
panjang dalam sistem-sistem belajar yang dialogis-emansipatoris. Yakni suatu
sistem belajar berupa aktivitas olah inteligensi: dialog, diskusi, dan
berpolemik ilmiah secara sportif, kompetitif dan sehat.
Tetapi,
belakangan, sistem belajar musyawarah yang diterapkan di MHM Lirboyo ini, mulai
tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai Aliyah, kondisi dan kualitasnya secara
umum mengalami degradasi cukup memprihatinkan (untuk tidak menyebutnya telah
lumpuh). Secara formalitas, mungkin pada jam-jam musyawarah seluruh lokal tiap
tingkatan (khusus kelas 3 Aliyah sebagai pengecualian, dengan alasan klasik:
trend roan) masih dipenuhi peserta musyawarah. Namun perlu ditegaskan bahwa,
semarak 'kedisiplinan' kehadiran peserta musyawarah itu, sebenarnya tidak lagi
merefleksikan spirit kesadaran akan nilai urgen musyawarah itu sendiri,
melainkan lebih didasari semangat menunaikan 'kewajiban' MHM demi menghindari ta'zir.
Dari aspek
kedisiplinan, kondisi di tingkat Ibtidaiyah, aktivitas musyawarah akan begitu
saja berubah menjadi sulit dibedakan (untuk tidak mengatakan sama) dengan Play
Grop, ketika mustahiq tidak kontrol. Demikian juga tingkat Tsanawiyah,
pemandangan kondusif kerap 'dipertontonkan' peserta musyawarah sekedar sebagai 'action'
manakala mustahiq kontrol saja.
Dan untuk
tingkat Aliyah, yang seharusnya telah memiliki tingkat kemapanan dan kematangan
pengalaman berdiskusi dan beradu argumen secara dialogis, kondisi musyawarahnya
justeru tampak lesu dan malas-malasan. Ada kecenderungan musyawarah bukan lagi
menjadi aktivitas ilmiah yang menarik di tingkat ini. Sehingga tak jarang jika
rais-rais yang pandai bercerita, mendongeng, pintar berakting lucu, jauh lebih
mempesona dan memperoleh simpati serta perhatian peserta musyawarah meskipun
kosong nilai ilmiahnya, ketimbang rais-rais yang serius dan berkompeten. Forum
musyawarah nyaris kehilangan nilai ilmiahnya dan berubah menjadi majlis hikayah
dan pentas dagelan.
Beberapa
kelas di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, mungkin masih ada yang tampak
—seperti— kondusif. Misalnya duduk berbaris, kelompok rapi, dan tertib. Tetapi
di balik nuansa kondusif itu, rata-rata nilai diskusi dan kualitas
perdebatannya pun sangat sederhana dan miskin nilai ilmiah.
Kondisi
musyawarah seperti ini jelas bukan kondisi yang menguntungkan bagi siapapun
dalam proses ta'allum. Bagi peserta musyawarah yang potensial dan punya
obsesi (himmah) belajar tinggi, akan merasa muak berada di dalam forum
yang tidak memberinya tantangan ilmiah apapun. Maka lumrah, jika kondisi
musyawarah demikian selanjutnya memicu beberapa siswa potensial merasa frustasi,
patah semangat, dan lalu memilih angkat kaki dari forum musyawarah dengan
mencari-cari kesibukan di luar, seperti masuk ndalem, masuk pekerja pondok,
masuk organisasi, nduduk dan kuliah, dll. untuk menghindari jeratan wajib
musyawarah. Sedangkan bagi peserta yang kurang memiliki himmah belajar,
kondisi musyawarah yang tidak kondusif bisa saja dimanfaatkan sebagai
kesempatan 'cangkrukan resmi' dengan komunitasnya, yang jelas merugikan secara
kalkulasi ilmiah.
Fenomena
musyawarah yang tercerabut dari spirit ilmiah demikian, sekaligus telah menjadi
faktor paling serius penyebab musyawarah MHM Lirboyo menjadi vakum dan
kehilangan fungsi efektifitasnya sebagai sistem pemberdaya dan pembentuk
karakter intelektualitas dan nalar keilmuan santri. Episode kondisi dan
kualitas musyawarah MHM Lirboyo seperti tercover di atas, apabila dibiarkan
stagnan berkepanjangan, dan tidak lekas mendapat respon, perhatian, dan kepedulian
melalui terobosan-terobosan cerdas dan gebrakan-gebrakan berani dari
pihak-pihak pemegang otoritas dan tanggung jawab (mustahiq, M3HM, dan MHM),
sangat dikhawatirkan akan menjadi masalah serius bagi MHM Lirboyo dalam
kapasitasnya sebagai lembaga tafaqquh fid dîn yang telah memperoleh
kepercayaan banyak pihak.
Terobosan
dan gebrakan yang harus diberikan pihak-pihak pemegang otoritas dan tanggung
jawab itu, sudah saatnya untuk tidak hanya terfokus dan terhenti pada tataran
kedisiplinan, keaktifan, atau ketertiban pelaksanaan musyawarah belaka,
melainkan harus menyentuh pada bagaimana menggagas trik-trik konstruktif yang
mampu menginisiasi dan menginspirasi kesadaran santri bermusyawarah yang
efektif. Perhatian dan kepedulian terhadap upaya peningkatan kualitas
musyawarah, jauh lebih penting dari sekedar mengupayakan kerapian dan
ketertiban barisan duduk peserta musyawarah. Memperketat hukuman ta'zir secara
'emosional' tanpa diimbangi memberikan gagasan-gagasan brilian yang mampu
menstimulus kesadaran dan gairah musyawarah, hanya akan memicu perasaan dan
sikap 'kesal' dari peserta musyawarah itu sendiri.
TAWARAN SOLUSI
MUSYAWARAH
1. Kondusifitas
musyawarah di tingkat Tsanawiyah dan Aliyah akan sulit diciptakan tanpa
melibatkan peran dan aksi para aktivis yang telah berhasil dibangun
profesionalisme bermusyawarahnya sejak di tingkat Ibtidaiyah. Karena itu,
sangat penting untuk melakukan penjaringan (rekruitmen) sebanyak mungkin
siswa-siswa potensial sejak dini di tingkat Ibtidaiyah. Selanjutnya, diperlukan
gemblengan dan pelatihan khusus yang berkelanjutan terhadap siswa-siswa ini melalui
prifat-prifat khusus oleh mustahiq yang kridibel untuk mempersiapkan mereka
menjadi aktivis professional dalam bermusyawarah di tingkat selanjutnya.
2. Adalah
fenomena umum jika musyawarah di tingkat Aliyah semakin tidak menarik dan
diminati lagi. Kondisi memprihatinkan ini setidaknya dikarenakan:
a. Minim
dan menurunnya penekanan dan kontrol dari mustahiq.
Bukan
rahasia lagi jika di tingkat Aliyah intensitas penekanan dan kontrol terhadap
kewajiban musyawarah dari mustahiq jauh menurun dibanding ketika di tingkat
Ibtidaiyah atau Tsanawiyah. Kita barangkali bisa berdalih, “masak sudah
Aliyah masih butuh dikontrol terus, kayak siswa Ibtida’ saja”. Untuk dalih
seperti ini mungkin perlu diberitahukan bahwa, jika mereka benar-benar Aliyah,
mustinya memiliki tingkat kesadaran bermusyarah yang lebih dewasa dibanding
adik-adik kelasnya. Tapi faktanya??!
Artinya,
kita kerap menganggap meraka sudah memiliki kedewasaan dan kesadaran
bermusyawarah yang mandiri, sehingga mustahiq kemudian merasa tidak perlu untuk
memperlakukan mereka layaknya siswa Ibtidaiyah atau Tsanawiyah. Tapi perlu
ditegaskan bahwa, betapa anggapan demikian ternyata tidak realistis.
Di
sinilah menurut saya diperlukan sebuah solusi yang barang kali sedikit radikal,
yakni: MHM atau M3HM perlu mengangkat secara resmi minimal satu mustahiq di
tiap bagian dan di semua tingkatan, yang ditugaskan sebagai perumus dan pengontrol
aktif. Dengan adanya perumus yang siap memberikan arahan-arahan inspiratif
setiap musyawarah, akan menarik simpati dan menggerakkan gairah peserta
musyawarah, karena terdapat figur yang mengawasi, membimbing, dan mencerahkan.
Tanpa kebijakan demikian, agaknya sulit untuk mewujudkan musyawarah di tingkat
Aliyah bisa sesemarak musyawarah di tingkat bawahnya.
b. Kurangnya
pencerahan dan penyegaran dari M3HM sebagai pemegang otoritas.
Kerja
M3HM selama ini cenderung tidak menyentuh ke upaya konkrit peningkatan kualitas
musyawarah siswa MHM, melainkan hanya menitikberatkan pada tataran kedisiplinan,
ketertiban, dan keaktifan peserta musyawarah belaka. Betapapun itu penting, M3HM
menurut saya sudah saatnya mulai lebih memikirkan langkah-langkah strategis dan
gagasan-gagasan konstruktif untuk meningkatkan kualitas musyawarah siswa MHM.
Siswa MHM sedang haus inspirasi dan pencerahan dalam bermusyawarah, bukan
sedang bandel dan liar yang perlu ditertibkan dengan beragam ta’ziran.
Di
sinilah menurut saya, M3HM perlu melakukan penyuluhan dan pembacaan kondisi
musyawarah secara lebih real, kritis, dan menyeluruh yang menyentuh tataran kualitasnya,
kemudian disikapi melalui pembekalan-pembekalan atau penataran-penataran
musyawarah yang lebih menyasar dan lebih intensif. Karena faktanya,
penataran-penataran keraisan yang diselenggarakan M3HM setahun hanya sekali selama
ini, nyaris tidak memberi dampak berarti di lapangan.
c. Terlalu
banyaknya materi dan minimnya waktu.
Durasi
waktu musyawarah 1,5 jam dengan jumlah materi 8 s/d 10 mata pelajaran dalam
seminggu, mengharuskan 1,5 jam dibagi untuk dua mata pelajaran (hishah ula dan
tsani) dalam setiap musyawarah. Durasi ini jelas tidak ideal untuk membangun
kualitas musyawarah seperti yang diobsesikan. Dalam waktu sedemikian sempit, paling-paling
habis hanya untuk sekedar muradi materi pelajaran yang sekian banyak itu.
Kalaupun diberi setengah jam untuk berdiskusi, itu bukan waktu yang cukup untuk
memungkinkan tercipta perdebatan yang dialogis, apalagi tuntas.
Karena
itu, usul saya, untuk tingkat Aliyah, bahkan Tsanawiyah, perlu pengurangan
materi musyawarah, agar kesempatan berdiskusi semakin banyak. Dalam satu hari,
cukup satu materi pelajaran saja yang dimusyawarahkan. Dalam 1,5 jam, setengah
jam pertama untuk penyeragaman pemahaman murad melalui musyawarah kelompok, dan
satu jam berikutnya untuk berdiskusi. Dalam sistem ini, hanya
pelajaran-pelajaran utama saja yang dimusyawarahkan. Sedangkan
pelajaran-pelajaran lain, cukup dipelajari di luar jam musyawarah. Di tingkat Tsanawiyah,
lebih-lebih Aliyah, mustinya ironis apabila musyawarah hanya difungsikan
sekedar untuk mempertanyakan murad, melainkan mendiskusikan dan memperdebatkan
secara dialogis poin-poin penting dalam materi, agar siswa benar-benar
terbangun intelektualitasnya melalui aktivitas musyawarah.
d. Stagnasi
berkepanjangan dan krisis tantangan.
Denyut
nadi kehidupan musyawarah sebenarnya hanya diperankan oleh beberapa siswa dari
seluruh peserta musyawarah. Yaitu siswa-siswa yang telah terbangun
kridibelitasnya sejak Ibtida’iyah atau Tsanawiyah. Mereka inilah pada dasarnya
yang menjadi motor penggerak kehidupan musyawarah, sedangkan yang lain hanya makmuman.
Artinya, apabila figur-figur penggerak ini sanggup menghidupkan suasana musyawarah,
maka lainnya akan sami’na wa atha’na.
Namun
belakangan, karena kondisi musyawarah MHM mengalami stagnasi kualitas berkepanjangan,
figur-figur penggerak ini mulai merasa tidak tertarik musyawarah, sebab merasa
tidak ada tantangan berarti dan tidak mendapatkan apa-apa dari musyawarah. Mereka
berpikir, mendingan belajar sendiri dari pada susah-susah berangkat musyawarah
yang tidak banyak memberikan faidah lagi bagi dirinya.
Untuk
fenomena seperti ini, saya mengusulkan, yang pertama kali harus direalisasikan
adalah, menggarap anggota keraisan dan figur-figur berpengaruh kelas. Mereka harus
benar-benar dilatih, dibriefing secara serius untuk dipersiapkan menjadi motor
penggerak denyut nadi kehidupan musyawarah. Begitu kerja figur-figur
berpengaruh kelas ini berhasil degerakkan, akan menjadi arus yang menghegemoni
suasana musyawarah, sehingga peserta yang lain akan turut mengamini dan menjadi
makmum yang sami'nâ wa atha'nâ. Karena, figur-figur berpengaruh kelas
inilah sebenarnya yang menjadi agen-agen perubahan kondisi dan kualitas musyawarah
ke arah yang lebih kondusif, berkualitas dan progresif.
USULAN UNTUK SEKOLAH
TINGKAT ALIYAH
Seperti
yang kita maklumi bersama bahwa, sudah sekian lama kondisi sekolah siswa
tingkat Aliyah MHM jauh dari kata ideal. Siswa Aliyah yang masih memiliki gairah
belajar, menghapal, dan memahami atau berdiskusi memberdayakan potensi
intelektualnya, praktis bisa dihitung dengan jari, yakni hanya beberapa
gelintir aktivis LBM dari ratusan bahkan ribuan total siswa Aliyah. Karenanya,
barang kali tidak berlebihan jika dikatakan, aktivitas peningkatan kualitas keilmuan
siswa di MHM secara umum sebenarnya sudah selesai sejak kelas 1 Aliyah. Kondisi
belajar 2 tahun berikutnya (kelas 2 dan 3 Aliyah) seperti lâ yahyâ wa lâ
yamût. Fenomena sekolah di tingkat ini nyaris sulit dibedakan dengan
fenomena ngaji bandongan atau ramadlanan. Yakni hanya sibuk menghabiskan waktu
memenuhi kitab-kitab dengan makna gandul, tanpa ada spirit lagi untuk memahami,
mengkaji, atau mendiskusikan secara mendalam.
Gejala
demikian sebenarnya sudah mulai bisa dibaca sejak kelas 1 Aliyah dan menemui
titik paling nadir di kelas 3 Aliyah. Kondisi musyawarah, hasil nilai tamrin,
nilai ujian, dan muhafadhah, bisa kita jadikan indikasi untuk penilaian ini.
Ada kesan siswa MHM di tingkat Aliyah tidak lagi menganggap penting dengan
kegiatan-kegiatan tersebut. Mereka seperti merasa sudah tidak peduli, apatis, bosan,
dan jenuh setelah sekian tahun belajar di MHM dengan sistem dan metode yang
sama, yakni: maknani, menghapal, maknani, menghapal, begitu seterusnya, tanpa
ada sistem dan metode belajar baru yang khusus dan menyegarkan untuk siswa
jenjang akhir MHM.
Jika
dianalisis, di samping faktor jenuh di atas, ada beberapa faktor yang menurut
saya turut mempengaruhi kondisi sekolah di tingkat Aliyah menjadi seperti di
atas. Di antaranya adalah faktor usia. Usia siswa Aliyah yang rata-rata di atas
20 tahun, apabila merujuk siswa dalam jenjang sekolah formal, adalah usia-usia
mahasiswa S1. Usia yang pada umumnya secara naluri mulai memikirkan masa depan
secara realistis, yakni masalah kerja (ekonomi) dan pasangan hidup. Di
usia-usia ini, umumnya pikiran para siswa mulai terpecah dan terusik dengan banyak
tanda tanya spekulatif masa depan: saya akan kerja apa?, saya akan hidup bagaimana
dan bersama siapa?, seberapa besar hasil pendidikan yang saya tempuh akan
mendukung mencerahkan prospek masa depan saya?, dll. Karena itu,
kecenderungan siswa di usia ini adalah mencari sistem dan metode belajar yang
bersifat spesialis (kejuruan atau fakultas).
Jika
mereka tidak mendapati jawaban prospektif dan harapan cerah dari tanda tanya-tanda
tanya itu untuk kemapanan masa depannya dari kualifikasi hasil belajar di MHM,
mereka kemudian akan menjadi setengah hati belajar di MHM, sehingga banyak yang
mulai memutuskan untuk kuliah, kursus, kerja, dll. Jadi mereka sedang berada di
usia yang sebenarnya menuntut sebuah pendidikan sistematis yang bisa
mengantarkan kualifikasi keilmuan mereka pada tingkat profesional dan ahli yang
bisa mendukung kemapanan masa depannya. Artinya, bukan sekedar sistem dan
metode belajar yang hanya menekankan pada maknani dan menghapal lagi. Inilah
menurut saya yang mereka butuhkan di tingkat Aliyah. Sebuah sistem dan metode
belajar khusus yang mampu menyegarkan himmah belajar mereka yang secara
naluri mulai berpikir realistis untuk sanggup menantang kehidupan masa
depannya.
Pikiran-pikiran
demikian ini akan semakin menghebat saat mereka berada di kelas 3 Aliyah.
Fenomena lazim yang melanda pikiran siswa kelas 3 Aliyah adalah: ketidakjelasan
masa depannya. Mereka dilanda kebingungan mau kemana dan bagaimana. Mau
melanjutkan belajar ke jenjang lebih lanjut, umumnya terganjal dengan finansial
dan usia yang terlanjur menua di pondok sehingga lebih menuntut mereka bekerja
ketimbang meneruskan belajar di bangku sekolah. Tetapi, jika mau bekerja, jelas
tidak memiliki bekal ketrampilan dan keahlian kerja dari pesantren di tengah
persaingan hidup yang kian kompetitif. Dan sejuah yang saya tahu, kelanjutan
nasib mereka setelah menyelesaikan pendidikan MHM ini, belum banyak dipikirkan.
Dari
analisis sederhana di atas, saya memiliki beberapa usulan opsional terkait
dengan sekolah tingkat Aliyah MHM.
OPSI A
Mengganti
sistem sekolah tingkat Aliyah mejadi program takhasshush (spesialisasi).
Dalam program ini, mata pelajaran direduksi menjadi:
1. Takhasshush
bidang tafsir;
2. Takhasshush
bidang hadits;
3. Takhasshush
bidang Fiqh;
4. Takhasshush
bidang Qaidah Fiqh dan Ushul Fiqh;
5. Takhasshush
bidang Kalam (Teologi)
6. Takhasshush
bidang Tasawuf (Akhlak);
7. Takhasshush
bidang adab (lughat)
8. Dll.
Masa
pendidikan dalam program ini tetap sama 3 tahun. Yang berbeda, di samping mata
pelajaran di atas, adalah sistem pembelajarannya. Dalam program ini tidak ada
lagi kegiatan memaknai gandul. Sebab, siswa di tingkat ini seharusnya tidak perlu
lagi menghabiskan waktunya hanya untuk mencari makna gandul, melainkan
pendalaman pemahaman, kajian, dan analisis. Jika masih merasa butuh makna
gandul, mustinya dicukupkan dengan pengajian-pengajian di luar kelas atau
ramadlanan. Siswa hanya dimobilisasi untuk banyak membaca kitab-kitab yang
berkaitan dengan bidangnya masing-masing dan mengkaji serta mendiskusikannya
secara mendalam dalam sebuah kelompok di bawah bimbingan khusus mustahiq.
Kemudian diharuskan membuat resume atau kesimpulan semacam skripsi, dan mempresentasikannya
di hadapan penguji (bisa diambilkan dari mustahiq atau pihak-pihak berkompeten)
sebagai syarat kelulusan di setiap tingkatan. Proyek dalam program ini adalah
menyiapkan tamatan MHM menjadi alumni yang memiliki keahlian khusus terhadap khazanah
pesantren (kitab kuning).
Program
takhasshush ini, membutuhkan pembimbing yang kridibel sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Ini mungkin salah satu kendala yang agak sulit dipenuhi MHM,
mengingat selama ini tenaga pengajar MHM hanya diambilkan dari tenaga-tenaga
internal MHM yang tentunya hanya memiliki tingkat kridibelitas “lokal”. Program
ini perlu menghadirkan para pakar dari eksternal MHM untuk memberikan
pencerahan sesuai kepakarannya, minimal sekali dalam satu kuartal. Sekedar
contoh, misalnya menghadirkan Dr. Quraisy Syihab atau KH. Ahsin Sakho untuk
bidang tafsir, KH. Azizi Hazbullah atau KH. Sahal Mahfudh untuk bidang fiqh, qaidah
fiqh dan ushul fiqh, KH. Said Aqil untuk bidang ilmu kalam, Habib Luthfi untuk
bidang tasawuf, dll. Kehadiran para pakar ini akan sangat mencerahkan dan
memberi banyak inspirasi terhadap siswa dalam keberhasilan program takhasshushnya.
Sementara kerja mustahiq lebih bersifat mengawal dan mengontrol aktivitas
pembacaan kitab-kitab dan aktifitas diskusi siswa.
OPSI B
Menghapus
3 tahun tingkat Aliyah dan menggantinya menjadi 4 tahun dengan program
fakultas. Opsi ini mungkin lebih radikal dari opsi pertama, sebab yang menjadi
proyek dari opsi ini adalah agriditasi ijazah MHM stara dengan S1. Artinya,
siswa MHM yang telah menamatkan progam ini akan memiliki ijazah yang distarakan
dengan S1 dan diakui DEPAG atau DIKNAS. Opsi ini boleh juga dibilang me-Ma’had
Aly-kan tingkat Aliyah MHM. Dengan kata lain, mengganti 3 tahun tingkat Aliyah
dengan Ma’had Aly berupa program kesarjanaan 4 tahun. Hanya saja, akan semakin
bergengsi apabila MHM berani membuka fakultas-fakultas non-agama, seperti
fakultas teknik, akuntansi, managemen, medis, dll. Sebab faktanya, dari sekitar
400 s/d 500 santri yang tamat Aliyah Lirboyo tiap tahun, tidak semua berhasil
“di-kyai-kan”, dan mereka bahkan menduduki angka mayoritas. Fakultas-fakultas
non-agama inilah yang disiapkan untuk memberi kesempatan santri-santri yang memiliki
kecenderungan ke bidang ketrampilan dan profesionalisme kerja ketimbang menjadi
ulama (ngedep dampar) yang mayoritas itu.
Apa tidak
dicukupkan dengan Ma’had Aly di Tribakti? Menurut saya tidak, sebab secara
organisatoris Ma’had Aly Tribakti tidak ada hubungannya dengan MHM. Dan tidak
ada tradisi tamatan MHM selanjutnya masuk Ma’had Aly Tribakti secara massif,
sebagaimana tradisi tamatan Tsanawiyah yang selanjutnya masuk 3 Aliyah MHM.
Artinya, ijazah tamat MHM hanya akan diperoleh dengan meyelesaikan tingkat
Aliyah MHM, bukan dengan meyelesaikan Ma’had Aly Tribakti. Karena itulah MHM
perlu memiliki Ma’had Aly sendiri, sehingga lebih bisa mengikat siswa tamatan Tsanawiyah
MHM untuk terus melanjutkan di program Ma’had Aly MHM ini.
Keuntungan
kita dari opsi ini adalah, pertama Lirboyo akan tetap bisa menjaga eksistensi
tradisi keilmuan salafnya melalui 6 tahun jenjang Ibtida’iyahnya, dan 3 tahun
jenjang Tsanawiyahnya. Dan kedua, Lirboyo akan menjadi lembaga pendidikan yang
terbuka terhadap dinamika zaman, yang secara perspektif mayarakat kontemporer
akan dinilai Lirboyo sebagai lembaga pendidikan tradisional yang kompetitif dan
survive di tengah kontestasi dunia pendidikan modern. Sebab tidak
seharusnya pesantren berlama-lama bersikap eksklusif dan terus-terusan berlari
menjauh dari kenyataan modernitas, melainkan pesantren harus berani tampil di
garda terdepan memimpin modernitas dengan mentransvormasikan nilai-nilai dan
ruh salafus shalih ke pentas peradaban masa kini.
Opsi ini
mungkin sulit untuk bisa diwujudkan dalam waktu dekat, sebab memerlukan banyak
prasarana, infrastruktur dan fasilitas akademik yang memadai. Namun apabila ide
ini dipandang perlu, maka sudah saatnya MHM mulai memikirkan dan menyiapkan
segalanya untuk mematangkan dan merealisasikan ide ini.
Barang
kali ini sebagian unek-unek yang bisa saya sampaikan. Apabila diterima
kami sangat bersyukur, kendati tulisan di atas hanya berupa abstraksi kasar
yang masih perlu dikritik secara bijak dari para petinggi MHM. Apabila tidak
diterima, semoga cukup menjadi renungan bersama demi kebaikan MHM yang kita
cintai. Dan apabila unek-unek di atas dirasa lancang atau kurang sopan,
kami mohon maaf yang setulusnya. Wa Allahu A’lam.
Da’imullah Goeztav
Lirboyo, 17 Maret 2012