April 23, 2012

TAFSIR AYAT-AYAT CINTA



PROLOG

Kerap kita mendengar ungkapan “cinta tak harus memiliki” yang pada umumnya lebih sebagai ungkapan ekspresif ketika perjalanan cinta mengalami kegagalan, ketimbang sebagai ungkapan filosofis dari hakikat cinta itu sendiri, di mana antara cinta dan keinginan untuk memiliki hakikatnya tidak ada relasi keterkaitan apapun. Dalam memahami dua perasaan tersebut sering terjadi kerancuan bahkan kekacauan, yang lazimnya murni karena sugesti perasaan kedua yang relatif lebih dominan dibanding perasaan pertama. Dominasi ini pula yang sebenarnya menjadi biang kecemburuan buta, posesifitas dan egoisme bercinta. Bahkan, dominasi ini pula yang mendorong seseorang gampang berdalih mengatasnamakan cinta ketika terjadi fantasi-fantasi negatif lainnya, atau ketika pegorbanannya —untuk memiliki— harus tidak berarti.     
Di lain pihak, kita juga sering mendengar ungkapan “memiliki tidak harus cinta” yang barangkali merupakan falsafah bagi mereka yang menomorsekiankan cinta dan tidak menjadikannya sebagai pra-syarat atau jaminan kebahagiaan mengarungi bahtera rumah tangga. Yah… bisa jadi karena meyakini kebahagiaan itu bisa dibeli dengan materi, atau boleh jadi paradigma itu sekedar bentuk kepasrahan ketika takdir seseorang harus menikah dengan orang yang tidak dicintai.
Secara hukum, nikah tanpa cinta baik dari salah satu atau kedua belah pasangan, mungkin tidak perlu diragukan lebih-lebih dipertanyakan keabsahannya. Sebab dalam konteks pernikahan, disamping cinta bukan sabagai syarat, Islam juga melegalkan konsep ijbâr (nikah paksa???) yang memberi hak prerogatif kepada wali (bapak, kakek dan seatasnya) atas anak gadisnya dalam perjodohan. Dalam konsep nikah ijbâr ini, pernikahan akan dianggap sah sepanjang tidak ada adâwah dhâhirah (kebencian nyata) antara wali dan anak gadisnya serta dengan calon yang selevel (kufu’) yang sanggup memberikan maharnya.[1] Dalam konsep ini, rasa cinta praktis dikesampingkan untuk menjadi pertimbangan legalitas menjodohkan. Dan barangkali, kehadiran rasa cinta hanya diharapkan secara spekulatif dari kebersamaan pasangan dari waktu ke waktu seperti dalam pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”.
Pepatah demikian tidaklah selamanya benar, sebab disamping kehadiran cinta yang diharapkan hanya bersifat spekulatif yang tidak mustahil justru kebencian yang akan hadir, cinta sendiri hakikatnya lahir karena adanya kecocokan dua jiwa yang jika hal itu tidak ada maka cinta tidak akan pernah tumbuh meski dalam hitungan tahun bahkan abad.
Contoh logis dari spekulasi ini adalah, bahwa fenomena perselingkuhan lazim terjadi bukan di awal-awal terjalinnya sebuah hubungan cinta, melainkan ketika hubungan itu telah berjalan sekian waktu dan ketika cinta tidak lagi sanggup memberikan arti yang mendamaikan. Logikanya, jika cinta yang mendasari sebuah hubungan saja dapat pudar, lantas bagaimana jika sebuah hubungan tanpa didasari cinta?. Benih cinta yang dianugrahkan di setiap hati akan tumbuh bersemi, atau malah sebaliknya akan layu untuk kemudian mati?.
Apabila demikian realitasnya, maka nikah tanpa cinta sepintas akan tampak kontras ketika kita bandingkan dengan muatan surat Ar-Rum ayat 21 yang menegaskan bahwa esensi pernikahan adalah demi terciptanya rumah tangga sakînah, mawaddah wa rahmah, yang dari sana diharapkan akan melahirkan generasi-generasi pilihan dan tangguh yang akan meneruskan kesinambungan tongkat estafet kehidupan. Akan semakin kontras pula ketika kita menyimak pesan sabda Nabi saw. yang memerintahkan agar umatnya menikah dengan tipe-tipe al-walûd (wanita subur) dan al-wadûd (memiliki kasih sayang besar).
Untuk mengkompromikan realitas yang tampaknya kontras tersebut, tulisan berikut akan mencoba mendiskusikan seputar idealisme dan urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan, melalui pendekatan semantik dan tafsir.  

HAKIKAT CINTA DAN SYAHWAT UNTUK MEMILIKI

            Cinta, adalah sepatah kata yang konon mengandung sejuta misteri hingga sampai dewasa ini nyaris tak ditemukan satupun definisi yang benar-benar komprehensif (jâmi’-mâni’) terhadap seluruh dimensi maknanya. Atau kalaupun ada, tak satupun definisi yang benar-benar disepakati lebih-lebih dalam konteks hubungan asmara lawan jenis. Sebab ia akan lebih bisa dimengerti menggunakan bahasa rasa dari pada didefinisikan secara verbal menggunakan kosa-kata dan logika. Kendati demikian, tidak ada salahnya jika kita manfaatkan khasanah literatur tafsir untuk menguak hakikat cinta dan keinginan (syahwat) untuk memiliki, sehingga tidak akan terjadi silang sengkarut dalam menyikapai kedua rasa tersebut serta bisa menempatkan keduanya sesuai proporsinya masing-masing. Lebih dari itu, tidak akan ada lagi pemerkosaan besar-besaran terhadap kata cinta dengan mengatasnamakan cinta saat terjadi fantasi-fantasi X yang sebenarnya tidak patut dikaitkan dengan cinta karena hanya merupakan luapan egosentris syahwat untuk memiliki saja. Atau paling tidak, akan kita ketahui seberapa penting urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan.  
            Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran : 14)

Redaksi ayat di atas menegaskan bahwa dalam tiap diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang,[2] bahkan cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan membinanya sesuai norma-etik syariat sehingga arah cinta tetap lurus menuju ridla-Nya. Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A’raf : 32)

Mencintai lawan jenis secara wajar dan rasional dalam Islam bukanlah larangan, karena naluri saling mencinta antar laki-laki dan wanita telah ditetapkan sebagai sunnatullah. Naluri tersebut ada karena wanita diciptakan dari bagian organ laki-laki (tulang rusuk), sehingga ia akan senantiasa merindukan asal kejadiannya itu. Sedangkan laki-laki diciptakan memiliki syahwat kepada wanita yang dapat membuatnya merasa tentram dan damai.[3] Dalam sebuah hadits Nabi saw. bersabda: 

حُبِبَ لِي مِن دُنيَاكُم النِسَاءُ وَالطَيبُ وَجُعِلَتْ قَرَةُعَينِي فِي الصَلَاةِ
Aku dicintakan pada duniamu, yaitu wanita dan wewangian, dan penentramku dijadikan di dalam shalat. (HR. Ahmad, Annasa’i, Hakim dan Albaihaqi)

Menafsiri lafadzحُبُّ الشَّهَوَاتِ  dalam surat Ali Imran ayat 14 di atas, ulama teologis (Mutakallimîn) mengatakan, antara cinta dan syahwat itu berbeda. Perbedaan ini ditengarai melalui kaidah nahwiyah bahwa, rangkaian idlâfah menunjukkan perbedaan mudlâf dengan mudlâf ilaih,. Dengan kata lain, mudlâf (حُبُّ) bukanlah mudlâf ilaih (الشَّهَوَاتِ).[4] Perbedaan ini juga ditengarai melalui konsep teologis bahwa, syahwat adalah hasrat dan kecenderungan naluriah terhadap suatu obyek yang disenangi (al-ladzah) dan keinginan kuat untuk memperolehnya. Hasrat dan kecenderungan ini bersifat naluriah yang berada di luar usaha dan kehendak (irâdah) manusia. Tiap manusia memiliki potensi hasrat dan kecenderungan (asy-syahwah) secara alami pada hal-hal yang menyenangkan.
Sedangkan cinta (محبة) adalah hasrat (irâdah) terhadap suatu obyek namun tidak berhenti pada obyek ansich melainkan pada realitas eksternal dari obyek tersebut. Seperti orang cinta pada si A, berarti ia memiliki hasrat yang tidak berhenti kepada wujud si A melainkan menjadikan si A hanya sebagai sarana (wasîlah) untuk merealisasikan hasrat untuk memuliakan, melindungi, berkorban atau melakukan tindakan-tindakan positif dan terbaik kepadanya. Simpelnya, seseorang yang cinta kepada A, berarti ia senang untuk melakukan hal-hal positif kepadanya. Dengan kata lain, cinta adalah hasrat kesenangan pada sikap dan tindakan positif, dan bukan hasrat pada obyek itu sendiri.
Inilah yang membedakan antara syahwat dan cinta. Yakni hasrat kepada obyek semata, atau hasrat pada realitas lain dari obyek tersebut. Demikian juga syahwat hanya berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan saja, seperti kecantikan, kekayaan dan pesona-pesona keindahan lainnya yang setiap naluri orang menyukainya. Maka kiranya di sini bisa ditegaskan, bahwa apa yang umumnya dikatakan sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebuah kerancauan antara istilah syahwat dan cinta.
Sementara itu, cinta berkaitan baik dengan hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak, seperti pengorbanan. Bagi pecinta, harapan dan ratapan keduanya akan sama-sama terasa manis. Di sinilah maksud cinta itu tidak bersifat naluriah sebagaimana syahwat, melainkan ia akan muncul melalui keinginan dan pilihan dari kehendak (irâdah) seseorang, sebab cinta hakikatnya adalah hasrat, kemauan atau kebersediaan untuk berkorban tanpa hasrat mendapat imbalan, hasrat untuk memberi tanpa hasrat diberi, hasrat untuk melindungi meskipun harus mati, hasrat untuk mengasihi meskipun tidak dikasihi, bahkan hasrat untuk mengutarakan rasa cinta itu sendiri meski tidak diterima atau bahkan malah dibenci, serta hasrat untuk tetap mencintai meskipun tidak harus memiliki.
Sebagai perumpamaan dari cinta ini, mungkin bisa digambarkan seperti halnya orang menyukai terhadap ular. Dia tidak mengharapkan apa-apa dari ular tersebut, tetapi ia rela berkorban demi binatang itu meski kadang digigit atau bahkan harus mati karena terkena bisanya. Di sini bisa juga dikatakan, bahwa dia cinta pada pengorbanan untuk ular, dan bukan cinta kepada ular. Sedangkan syahwat adalah seperti orang yang menyukai buah tebu ataupun bunga. Bunga disukai karena keindahannya, semerbak wangi atau madunya, dan manakala ia layu maka akan dicampakkan. Demikian juga buah tebu disukai karena manisanya, dan manakala habis manis, sepah pun dibuang. Begitulah syahwat, hanya berhenti pada obyek ansich, tidak demikian halnya dengan cinta.
Dengan demikian, tampaklah perbedaan apa itu cinta dan apa itu syahwat untuk memiliki. Cinta adalah murni pengorbanan, sedang syahwat untuk memiliki adalah naluri kesrakahan.   

ALASAN CINTA

Alghazali dalam Ihya' Ulumiddien mengklasifikasikan motivasi atau alasan rasa cinta ke dalam empat kategori:

1. Cinta Karena Faktor Internal

Figur yang menarik, baik secara fisik, kepribadian, perilaku, kecerdasan, atau lainnya, adalah unsur-unsur internal (dzati) seseorang yang dinilai indah, disenangi, dan dicintai oleh karakter normal. Unsur-unsur inilah yang pada galibnya menjadi alasan seseorang jatuh cinta. Namun menurut Alghazali, rasa cinta kadang bukan termotivasi oleh faktor-faktor figuristik internal tersebut, melainkan karena adanya unsur kecocokan atau kesesuaian (munâsabah) abstrak diantara dua orang. Karenanya, tidak jarang dijumpai dua orang yang saling mencintai dan mengasihi tanpa lagi peduli pada faktor-faktor menarik secara figuristik internal. Kecocokan astrak ini berada di luar jangkauan analisis manusia. Alghazali menyitir sebuah hadits yang mengisyaratkan adanya ketertarikan karena unsur kecocokan abstrak ini.

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنهَا اخْتَلَفَ
“Jiwa-jiwa manusia adalah pasukan-pasukan yang dilepas. Apabila pasukan-pasukan itu bertemu dan saling mengenal, maka akan terjadi kecenderungan (cinta), dan apabila tidak saling mengenal, maka akan berpaling”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Termasuk dalam kategori cinta ini adalah orang yang mencintai karena kecantikan atau ketampanan paras. Cinta jenis ini bukan termasuk cinta karena Allah, melainkan cinta karena dorongan naluri dan hasrat syahwat. Sebab, naluri dan syahwat memiliki ketertarikan alamiah pada hal-hal indah, baik, dan menyenangkan (al-ladzah). Karenanya, cinta jenis ini bisa dirasakan baik oleh orang beriman ataupun tidak. Secara hukum, jenis cinta seperti ini tidak berdosa, sepanjang tidak menjerumuskan pecinta pada hal-hal terlarang, seperti melampiaskan hasrat birahi bukan pada tempatnya.

2. Cinta Karena Faktor Eksternal Duniawi

Yaitu mencintai seseorang demi mendapatkan tujuan dan kepentingannya di balik cinta yang ia berikan. Dalam kategori ini, orang yang dicintai hanya menjadi alat atau perantara untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, sedangkan yang sesungguhnya dicintai adalah apa yang menjadi tujuan dan kepentingannya itu.
Cinta jenis ini bisa diibaratkan seperti orang yang mencintai emas, perak, atau uang. Ia sebenarnya tidak memiliki kepentingan apapun pada benda-benda itu secara internal (dzatî), selain sebatas berkepentingan terhadap faktor eksternal berupa fungsi atau kemanfaatan dari benda-benda itu sebagai sarana dan alat meraih kenikmatan-kenikmatan yang dicintai, seperti bisa untuk memperoleh jabatan, popularitas, ilmu, dll.
Apabila motivasi cinta seseorang karena faktor-faktor eksternal duniawi ini (kekayaan, jabatan, popularitas, ilmu), maka faktor-faktor itulah sebenarnya yang menjadi kekasihnya. Seorang murid yang mencintai gurunya karena ilmunya, maka ilmu itulah hakikatnya yang dicintai, bukan gurunya. Apabila mencintai ilmu karena agar tercapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi (seperti jabatan, harta, popularitas, dll.), maka tujuan-tujuan duniawi itulah hakikatnya yang dicintai, bukan ilmu. Guru dan ilmu dalam contoh ini dicintai hanya sebagai sarana atau alat untuk memperoleh kekasih dan cinta yang sesungguhnya, yakni tujuan-tujuan duniawi. Jenis cinta demikian juga bukan cinta karena Allah. Dan secara hukum, akan sangat tergantung pada legal-tidaknya tujuan-tujuan duniawi tersebut.

3. Cinta Karena Faktor Eksternal Ukhrawi

Yaitu mencintai bukan karena figur dan faktor-faktor internal, atau karena faktor eksternal tapi tidak untuk kepentingan yang bersifat duniawi, melainkan demi kepentingan ukhrawi. Cinta demikian termasuk kategori cinta karena Allah. Seperti mencintai guru karena demi mendapatkan ilmu yang bisa membuahkan amal yang menjadikan beruntung dan selamat di akhirat, mencintai murid karena bisa menjadi wasilah untuk menyebarkan ilmu, atau seperti mencintai isteri salehah demi keterjagaan agamanya dan memperoleh keturunan shalih yang akan mendoakan, dll. Kendati dalam cinta jenis ini terdapat faktor-faktor eksternal yang bersifat duniawi, namun cinta demikian termasuk kategori cinta fiLlah. Karena yang dicintai bisa menjadi wasilah kepada cinta Allah.
Kenikmatan-kenikmatan (al-ladzât) yang bersifat duniawi, ada kalanya menguntungkan secara kalkulasi ukhrawi, dan ada kalanya merugikan. Kenikmatan kedua inilah yang seharusnya dibenci oleh orang yang berakal. Membenci dalam pengertian secara rasional (‘aql), bukan secara naluri (thabi’î). Artinya, membenci karena menyadari mencintainya akan membawa penderitaan, bukan membenci suatu kenikmatan, sebab itu mustahil. Seperti benci mencuri makanan lezat milik orang lain karena sadar akan dihukum, bukan karena makanan lezat akan berubah menjadi seperti racun ketika dicuri.
Cinta demikian ini termasuk cinta kepada Allah dengan syarat, apabila kepentingan-kepentingan ukhrawi yang diperoleh berkurang, maka akan berkurang pula rasa cintanya, dan akan bertambah apabila bertambah keuntungan ukhrawi yang didapatkan. Sederhananya, cinta kepada Allah adalah setiap cinta yang andai saja bukan atas dasar keimanan kepada Allah, niscaya cinta itu tidak pernah dirasakan.

4. Cinta LiLlah dan FiLlah

Ini adalah cinta tingkat tinggi. Mencintai karena cinta Allah. Artinya, mencintai apapun bukan karena apapun kecuali karena cinta Allah. Logikanya, cinta yang besar pada kekasih, akan menjalar pada segala hal yang berkaitan dengan kekasih. Ia akan mencintai orang-orang yang dicintai kekasih: idolanya, temannya, saudaranya, pembantunya, bahkan kekasihnya kekasih. Ia akan mencintai apa saja yang disukai kekasih: hobinya, seleranya, rumahnya, pakaiannya, bahkan kekurangan-kekurangan atau sesuatu yang menyakitkan dari kekasih pun akan dicintai. Seperti kata pepatah, “gara-gara bunga mawar, durinya pun turut disiram”.
Puncak dari rasa cinta ini akan sampai pada seperti keadaan para perindu Allah yang tak dapat lagi membedakan antara kenikmatan dan petaka yang menimpanya, sebab segalanya datang dari Allah, Sang Kekasih Tercinta. Harapan dan ratapan akan sama-sama terasa manis. Ia akan mencintai apa saja yang dicintai dan disenangi kekasih, seperti ia juga akan membenci apa saja yang dibenci sang kekasih.
Seorang laki-laki yang jatuh cinta pada wanita, termasuk cinta fiLlah dan liLlah apabila semata-mata atas dasar, oleh karena Allah mencintai wanita itu.[5]

URGENSITAS CINTA DALAM PERNIKAHAN

Apabila cinta kita deskripsikan seperti ilustrasi di atas, dan coba kita bedakan pengertiaannya dengan syahwat atau keinginan untuk memiliki, lantas seberapa penting urgensitas cinta dalam sebuah pernikahan demi memenuhi syahwat tersebut. Adakah ia harus terlebih dahulu ada sebelum ikatan pernikahan itu diikrarkan agar romantika mengarungi bahtera rumah tangga senantiasa dipenuhi siraman cahaya cinta? Atau rasa cinta sebelum ikrar pernikahan tidaklah penting dan tidak harus ada karena pernikahan diharapkan dengan berjalannya waktu maka dengan sendirinya akan menumbuhkan perasaan cinta?
Untuk menganalisa masalah ini, perlu kita memahami esensi dan misi pernikahan itu disyariatkan. Yaitu bukan sekedar untuk singgahan pelampiasan seks semata, melainkan ikatan sakral untuk meciptakan kedamaian dan meneruskan episode kehidupan. Dalam hal ini Allah swt. berfirman:   

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum : 21)

Mengamati dengan seksama rangkaian kalimat demi kalimat dalam ayat ini, sepertinya sudah cukup jelas jawaban untuk beberapa tanda tanya di atas. Coba perhatikan saja urutan kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً yang berarti cinta dan kasih-sayang, di sana tertera berada di akhir setelah sebelumnya di awali dengan kata لِتَسْكُنُوا yang berarti sakînah atau ketentraman dan kedamaian, dan sebelumnya lagi, kata أَزْوَاجًا yang berarti istri atau pernikahan. Ayat ini mengilustrasikan periodesasi waktu cinta dan kasih-sayang itu akan muncul setelah adanya kecenderungan dan ketentraman pasangan dalam suatu pernikahan. Artinya, secara redaksional ayat ini menegaskan bahwa cinta pra-nikah tidaklah penting dan tidaklah harus ada, karena dengan kuasa Allah, pernikahan secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih-sayang. Kendati demikian, untuk memantabkan jawaban ini ada baiknya kita mencoba menelisik makna rahasia ayat ini melalui khazanah tafsir.
            Para interpreter menafsirkan kata لِتَسْكُنُوا dalam Arrum ayat 21 di atas sebagai ketenangan atau kenyamanan batin.[6] Hal ini logis, sebab awal penciptaan laki-laki berasal dari tanah liat sehingga dalam dirinya mewarisi potensi yang terkandung dari sari pati tanah. Seorang lelaki dikaruniai alat fital (farji) yang merupakan organ untuk penciptaan generasi, sedangkan organ ini memerlukan suatu wadah sebagai tempat reproduksi, maka diciptakanlah wanita sebagai wadah itu sehingga seorang lelaki akan merasa nyaman ketika bersama wanita yang akan menaunginya. Ketenangan dan ketentraman batin laki-laki ini juga bisa dinalar bahwa, ketika potensi sari pati tanah yang dikandung laki-laki bergejolak, maka batinnya akan merasakan resah gundah gulana, dan keadaan demikian hanya akan tentram ketika gelora itu bisa disalurkan secara sah kepada wanita. Kondisi seperti ini juga yang dirasakan Adam waktu masih di surga, sehingga Allah menciptakan Hawa’ untuknya, sebagaimana yang diberitakan dalam Alqur’an:

      هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia (Adam) merasa senang kepadanya. (QS. Al-A’raf : 189)

            Sedangkan kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً dalam ayat di atas, interpretasi para Mufassirîn masih terjadi silang pendapat. Menurut Ibn Abbas, Mujahid dan Al-Hasan, mawaddah berarti hubungan badan, sedangkan rahmah maksudnya adalah anak yang dilahirkan. Menurut versi lain, mawaddah adalah perasaan cinta di saat usia pasutri masih muda, sedangkan rahmah adalah rasa kasih-sayang yang dimiliki pasutri ketika di usia tua. Dan masih banyak lagi pendapat lain mengenai tafsir kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً dalam surat Arrum ayat 21 di atas.
            Kendati banyak kontroversi mengenai tafsir dari kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ini, namun pada dasarnya Mufassirîn sepakat bahwa mawaddah wa rahmah itu diciptakan Allah swt. bagi kedua pasangan suami istri setelah ikatan pernikahan. Mawaddah wa rahmah akan didapatkan oleh pasutri setelah mereka diikat dalam pernikahan di mana sebelumnya keduanya tidak saling kenal satu sama lain dan tidak memiliki rasa apapun diantara keduanya. Hal ini lumrah, sebab manusia ketika dipertemukan dengan orang yang tidak ada hubungan mahram, ia akan merasakan kasih-sayang berbeda dengan kasih-sayang yang ia rasakan dari mahramnya. Kasih-sayang ini merupakan anugrah dari Allah yang akan senantiasa ada, dan bukan semata-mata didasari oleh syahwat, sebab syahwat itu disamping bersifat labil, juga ada batasnya. Andaikan kasih-sayang itu hanya didasari syahwat, di mana syahwat sendiri tidak besifat langgeng, sementara temperatur emosional dan kemarahan seseorang yang bisa menafikan syahwat mudah naik dan meluap, niscaya setiap saat akan terjadi perceraian di antara kedua pasangan. Dalam kondisi demikian, hanya kasih-sayang yang senantiasa ada diantara keduanyalah yang akan melanggengkan hubungan.
            Sampai di sini, kiranya dapat diformulasikan, bahwa rasa cinta pra-nikah tidaklah penting atau harus ada sepanjang ikrar pernikahan benar-benar didasari kesiapan secara mental oleh kedua pasangan dan memiliki komitmen untuk menjalani hidup berkeluarga serta bercita-cita membangun kehidupan rumah tangga harmonis. Sejalan dengan waktu, Insya Allah, Allah swt. akan menumbuhkan rasa sakînah, mawaddah wa rahmah di hati kedua pasangan. Namun demikian, bukan berarti rasa cinta yang hadir sebelum nikah itu dilarang, dan bahkan hal itu akan lebih ideal jika tetap dibina sesuai norma-etik syariat. Sebab, pesan sabda Nabi saw. pun menyuruh umuatnya memilih tipe al-wadûd, yakni seseorang yang memiliki kasih-sayang besar sebagaimana dalam sebuah hadits:

تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Nikahilah perempuan-perempuan yang subur, yang memiliki kasih sayang besar, karena sesungguhnya dengan perantara kalian aku memperbanyak umat di hari kiamat. (HR. Abu Dawud dan Hakim)
           
Tipe al-wadûd ini sangat penting untuk dipilih sebagai pasangan, sebab sumber fantasi keindahan yang paling pokok dalam pernikahan adalah kasih-sayang besar dari kedua belah pasutri. Dengan mendapatkan kriteria itu, diharapkan akan benar-benar dapat merasakan keindahan perhiasan dunia yang paling indah, yaitu pasangan salehah. Kalau tipe ini didapatkan, maka kita akan memahami sabda Nabi saw. yang mengatakan:

الدُنيَا مَتَاعٌ وَخَيرُ مَتَاعِهَا المَرْأَةُ الصَالِحَةُ
Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhisan adalah wanita salehah.

Dalam sebuah sabda, Nabi pernah melukiskan kriteria wanita salehah ini. Yaitu wanita yang ketika dipandang suami sanggup membuatnya merasa damai dan bahagia, yang senantiasa taat ketika diperintah suami dan bisa menjaga kehormatan ketika ditinggal suami. 

الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
"Wanita salehah adalah ketika dilihat suami maka akan membahagiakannya, ketika diperintah suami maka akan patuh dan ketika ditinggal maka ia akan menjaga kehormatan suami." (HR. Ibn 'Abbâs)

Namun dalam kesempatan lain, Rasûlullâh saw. telah menyindir akan kelangkaan wanita yang memiliki kriteria salehah. Nabi mengumpamakan keberadaan wanita salehah laksana burung gagak putih, yang hampir mustahil ditemukan.

مَثَلُ المَرْأَةِ الصَالِحَةِ في النِّسَاءِ كَمَثَلِ الغُرَّابِ الْأَعْصَمِ بَيْنَ مِائَةِ غُرَّابٍ
"Perumpamaan wanita salehah di antara perempuan adalah seperti seekor burung gagak putih di antara seratus burung gagak".

Lantaran itulah Nabi sangat menekankan umatnya untuk memprioritaskan memilih jodoh yang memiliki keagamaan kuat, karena kriteria inilah yang akan senantiasa pro-aktif dalam melangkah lurus menuju arah ridla Allah swt. dan merajut keindahan dan kebahagiaan sehidup semati bahkan sampai hidup lagi, seperti dalam sabda beliau:

تُنْكَحُ المَرْأَةُ  ِلأَرْبَعٍ  لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
"Wanita dinikahi karena empat faktor: materinya, keturunannya, kecantikannya dan keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki keagamaan kuat, kau akan rugi jika tidak mendapatkannya". (HR. Imâm Muslim). 

Betapapun langkanya wanita salehah itu, penulis selalu berdoa semoga kita kaum Adam masih kebagian tipikal itu. Dan bagi pembaca wanita, semoga anda sekalian termasuk representasi dari metavoris gagak putih yang langka itu. Amien. KD





---o0O0o---

Tulisan ini aku dedikasikan buat seseorang yang pernah singgah di pelataran hati, yang kupikir aku benar-benar mencintainya, tapi agaknya aku hanya menyahwatinya. Benci, kemudian cinta, keduanya pernah ikhlas dipersembahkan, meski akhirnya aku harus melepasnya demi sesuatu yang seharusnya. Selamat tinggal cinta…! Selamat datang masa depan..!   ;(   ----->   ;)


Lirboyo, 01 Mei ‘09







[1] Sulaimân bin Muhammad Albujairimy, Hasyiyyah Albujairimy Alâ Alkhathîb, vol. III hlm. 412 Dar Fikr
[2] Dr. Wahbah Azzuhaily, Attafsîr Almunîr fî Al'aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa Almanhaj, vol. III hlm. 165 Dar Fikr
[3] Abî Abdillah Alqurthuby, Aljâmi’ Li Ahkâm Alqur’an, vol. IV hlm. 29 Dar Fikr
[4] Alfahr Arrazy, Attafsîr Alkabîr Mafâtih Alghaib, vol. IV hlm. 211 Dar Fikr
[5] Alghazali, Ihya' Ulumiddidn, vol. II hlm 203-209 Darul Hadits Alqahirah.
[6] Alfahr Arrazy, Ibid, vol. XXV hlm. 111 Dar Fikr

Bagikan Tulisan Ini




 
Twitter Facebook RSS YouTube Google
Copright © 2014 | ReDesign By Akibasreet