PROLOG
Kerap
kita mendengar ungkapan “cinta tak harus memiliki” yang pada umumnya
lebih sebagai ungkapan ekspresif ketika perjalanan cinta mengalami kegagalan,
ketimbang sebagai ungkapan filosofis dari hakikat cinta itu sendiri, di mana
antara cinta dan keinginan untuk memiliki hakikatnya tidak ada relasi
keterkaitan apapun. Dalam memahami dua perasaan tersebut sering terjadi
kerancuan bahkan kekacauan, yang lazimnya murni karena sugesti perasaan kedua
yang relatif lebih dominan dibanding perasaan pertama. Dominasi ini pula yang
sebenarnya menjadi biang kecemburuan buta, posesifitas dan egoisme bercinta. Bahkan,
dominasi ini pula yang mendorong seseorang gampang berdalih mengatasnamakan
cinta ketika terjadi fantasi-fantasi negatif lainnya, atau ketika pegorbanannya
—untuk memiliki— harus tidak berarti.
Di
lain pihak, kita juga sering mendengar ungkapan “memiliki tidak harus cinta”
yang barangkali merupakan falsafah bagi mereka yang menomorsekiankan cinta
dan tidak menjadikannya sebagai pra-syarat atau jaminan kebahagiaan mengarungi
bahtera rumah tangga. Yah… bisa jadi karena meyakini kebahagiaan itu bisa
dibeli dengan materi, atau boleh jadi paradigma itu sekedar bentuk kepasrahan
ketika takdir seseorang harus menikah dengan orang yang tidak dicintai.
Secara
hukum, nikah tanpa cinta baik dari salah satu atau kedua belah pasangan,
mungkin tidak perlu diragukan lebih-lebih dipertanyakan keabsahannya. Sebab dalam
konteks pernikahan, disamping cinta bukan sabagai syarat, Islam juga melegalkan
konsep ijbâr (nikah paksa???) yang memberi hak prerogatif kepada wali (bapak,
kakek dan seatasnya) atas anak gadisnya dalam perjodohan. Dalam konsep nikah ijbâr
ini, pernikahan akan dianggap sah sepanjang tidak ada adâwah dhâhirah
(kebencian nyata) antara wali dan anak gadisnya serta dengan calon yang selevel
(kufu’) yang sanggup memberikan maharnya.
Dalam konsep ini, rasa cinta praktis dikesampingkan untuk menjadi pertimbangan legalitas
menjodohkan. Dan barangkali, kehadiran rasa cinta hanya diharapkan secara
spekulatif dari kebersamaan pasangan dari waktu ke waktu seperti dalam pepatah
jawa “witing tresno jalaran soko kulino”.
Pepatah
demikian tidaklah selamanya benar, sebab disamping kehadiran cinta yang
diharapkan hanya bersifat spekulatif yang tidak mustahil justru kebencian yang
akan hadir, cinta sendiri hakikatnya lahir karena adanya kecocokan dua jiwa
yang jika hal itu tidak ada maka cinta tidak akan pernah tumbuh meski dalam
hitungan tahun bahkan abad.
Contoh
logis dari spekulasi ini adalah, bahwa fenomena perselingkuhan lazim terjadi
bukan di awal-awal terjalinnya sebuah hubungan cinta, melainkan ketika hubungan
itu telah berjalan sekian waktu dan ketika cinta tidak lagi sanggup memberikan
arti yang mendamaikan. Logikanya, jika cinta yang mendasari sebuah hubungan
saja dapat pudar, lantas bagaimana jika sebuah hubungan tanpa didasari cinta?. Benih
cinta yang dianugrahkan di setiap hati akan tumbuh bersemi, atau malah sebaliknya
akan layu untuk kemudian mati?.
Apabila
demikian realitasnya, maka nikah tanpa cinta sepintas akan tampak kontras
ketika kita bandingkan dengan muatan surat Ar-Rum ayat 21 yang menegaskan bahwa
esensi pernikahan adalah demi terciptanya rumah tangga sakînah, mawaddah wa
rahmah, yang dari sana diharapkan akan melahirkan generasi-generasi pilihan
dan tangguh yang akan meneruskan kesinambungan tongkat estafet kehidupan. Akan
semakin kontras pula ketika kita menyimak pesan sabda Nabi saw. yang
memerintahkan agar umatnya menikah dengan tipe-tipe al-walûd (wanita
subur) dan al-wadûd (memiliki kasih sayang besar).
Untuk mengkompromikan realitas yang tampaknya kontras
tersebut, tulisan berikut akan mencoba mendiskusikan seputar idealisme dan
urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan, melalui pendekatan semantik dan tafsir.
HAKIKAT CINTA DAN SYAHWAT UNTUK MEMILIKI
Cinta, adalah sepatah kata yang
konon mengandung sejuta misteri hingga sampai dewasa ini nyaris tak ditemukan satupun
definisi yang benar-benar komprehensif (jâmi’-mâni’) terhadap seluruh dimensi
maknanya. Atau kalaupun ada, tak satupun definisi yang benar-benar disepakati lebih-lebih
dalam konteks hubungan asmara lawan jenis. Sebab ia akan lebih bisa dimengerti
menggunakan bahasa rasa dari pada didefinisikan secara verbal menggunakan kosa-kata
dan logika. Kendati demikian, tidak ada salahnya jika kita manfaatkan khasanah literatur
tafsir untuk menguak hakikat cinta dan keinginan (syahwat) untuk memiliki, sehingga
tidak akan terjadi silang sengkarut dalam menyikapai kedua rasa tersebut serta bisa
menempatkan keduanya sesuai proporsinya masing-masing. Lebih dari itu, tidak
akan ada lagi pemerkosaan besar-besaran terhadap kata cinta dengan
mengatasnamakan cinta saat terjadi fantasi-fantasi X yang sebenarnya tidak
patut dikaitkan dengan cinta karena hanya merupakan luapan egosentris syahwat
untuk memiliki saja. Atau paling tidak, akan kita
ketahui seberapa penting urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan.
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah
berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ
حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ
حُسْنُ الْمَآبِ
|
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
(QS. Ali Imran : 14)
|
Redaksi
ayat di atas menegaskan bahwa dalam tiap diri manusia telah ditanam benih-benih
cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta
dalam Islam tidak dilarang,
bahkan cinta merupakan anugrah yang harus disyukuri dengan mengekspresikan dan
membinanya sesuai norma-etik syariat sehingga arah cinta tetap lurus menuju
ridla-Nya. Allah berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ
زِينَةَ اللهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
|
Katakanlah:
"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui. (QS.
Al-A’raf : 32)
|
Mencintai lawan jenis secara wajar dan rasional dalam Islam
bukanlah larangan, karena naluri saling mencinta antar laki-laki dan wanita
telah ditetapkan sebagai sunnatullah. Naluri tersebut ada karena wanita diciptakan
dari bagian organ laki-laki (tulang rusuk), sehingga ia akan senantiasa
merindukan asal kejadiannya itu. Sedangkan laki-laki diciptakan memiliki
syahwat kepada wanita yang dapat membuatnya merasa tentram dan damai.
Dalam sebuah hadits Nabi saw. bersabda:
حُبِبَ لِي مِن دُنيَاكُم
النِسَاءُ وَالطَيبُ وَجُعِلَتْ قَرَةُعَينِي فِي الصَلَاةِ
|
Aku
dicintakan pada duniamu, yaitu wanita dan wewangian, dan penentramku dijadikan
di dalam shalat. (HR. Ahmad, Annasa’i, Hakim
dan Albaihaqi)
|
Menafsiri
lafadzحُبُّ الشَّهَوَاتِ dalam
surat Ali Imran ayat 14 di atas, ulama teologis (Mutakallimîn) mengatakan,
antara cinta dan syahwat itu berbeda. Perbedaan ini ditengarai melalui kaidah nahwiyah
bahwa, rangkaian idlâfah menunjukkan perbedaan mudlâf dengan mudlâf ilaih,.
Dengan kata lain, mudlâf
(حُبُّ) bukanlah mudlâf ilaih (الشَّهَوَاتِ).
Perbedaan ini juga ditengarai melalui konsep teologis bahwa, syahwat adalah
hasrat dan kecenderungan naluriah terhadap suatu obyek yang disenangi (al-ladzah)
dan keinginan kuat untuk memperolehnya. Hasrat dan kecenderungan ini bersifat naluriah
yang berada di luar usaha dan kehendak (irâdah) manusia. Tiap manusia
memiliki potensi hasrat dan kecenderungan (asy-syahwah) secara alami pada
hal-hal yang menyenangkan.
Sedangkan
cinta (محبة) adalah hasrat (irâdah) terhadap suatu obyek namun tidak
berhenti pada obyek ansich melainkan pada realitas eksternal dari obyek
tersebut. Seperti orang cinta pada si A, berarti ia memiliki hasrat yang tidak
berhenti kepada wujud si A melainkan menjadikan si A hanya sebagai sarana (wasîlah)
untuk merealisasikan hasrat untuk memuliakan, melindungi, berkorban atau melakukan
tindakan-tindakan positif dan terbaik kepadanya. Simpelnya, seseorang yang
cinta kepada A, berarti ia senang untuk melakukan hal-hal positif kepadanya. Dengan
kata lain, cinta adalah hasrat kesenangan pada sikap dan tindakan positif, dan
bukan hasrat pada obyek itu sendiri.
Inilah
yang membedakan antara syahwat dan cinta. Yakni hasrat kepada obyek semata,
atau hasrat pada realitas lain dari obyek tersebut. Demikian juga syahwat hanya
berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan saja, seperti kecantikan, kekayaan
dan pesona-pesona keindahan lainnya yang setiap naluri orang menyukainya. Maka
kiranya di sini bisa ditegaskan, bahwa apa yang umumnya dikatakan sebagai jatuh
cinta pada pandangan pertama adalah sebuah kerancauan antara istilah syahwat
dan cinta.
Sementara
itu, cinta berkaitan baik dengan hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak,
seperti pengorbanan. Bagi pecinta, harapan dan ratapan keduanya akan sama-sama
terasa manis. Di sinilah maksud cinta itu tidak bersifat naluriah sebagaimana
syahwat, melainkan ia akan muncul melalui keinginan dan pilihan dari kehendak (irâdah)
seseorang, sebab cinta hakikatnya adalah hasrat, kemauan atau kebersediaan untuk
berkorban tanpa hasrat mendapat imbalan, hasrat untuk memberi tanpa hasrat
diberi, hasrat untuk melindungi meskipun harus mati, hasrat untuk mengasihi meskipun
tidak dikasihi, bahkan hasrat untuk mengutarakan rasa cinta itu sendiri meski
tidak diterima atau bahkan malah dibenci, serta hasrat untuk tetap mencintai
meskipun tidak harus memiliki.
Sebagai perumpamaan dari cinta ini, mungkin bisa
digambarkan seperti halnya orang menyukai terhadap ular. Dia tidak mengharapkan
apa-apa dari ular tersebut, tetapi ia rela berkorban demi binatang itu meski
kadang digigit atau bahkan harus mati karena terkena bisanya. Di sini bisa juga dikatakan, bahwa dia cinta pada pengorbanan
untuk ular, dan bukan cinta kepada ular. Sedangkan syahwat adalah seperti orang
yang menyukai buah tebu ataupun bunga. Bunga
disukai karena keindahannya, semerbak wangi atau madunya, dan manakala ia layu
maka akan dicampakkan. Demikian
juga buah tebu disukai karena manisanya, dan manakala habis manis, sepah pun
dibuang. Begitulah syahwat, hanya berhenti pada obyek ansich,
tidak demikian halnya dengan cinta.
Dengan
demikian, tampaklah perbedaan apa itu cinta dan apa itu syahwat untuk memiliki.
Cinta adalah murni pengorbanan, sedang syahwat untuk memiliki adalah naluri kesrakahan.
ALASAN
CINTA
Alghazali
dalam Ihya' Ulumiddien mengklasifikasikan motivasi atau alasan rasa cinta ke
dalam empat kategori:
1.
Cinta Karena Faktor Internal
Figur
yang menarik, baik secara fisik, kepribadian, perilaku, kecerdasan, atau
lainnya, adalah unsur-unsur internal (dzati) seseorang yang dinilai
indah, disenangi, dan dicintai oleh karakter normal. Unsur-unsur inilah yang
pada galibnya menjadi alasan seseorang jatuh cinta. Namun menurut Alghazali,
rasa cinta kadang bukan termotivasi oleh faktor-faktor figuristik internal tersebut,
melainkan karena adanya unsur kecocokan atau kesesuaian (munâsabah)
abstrak diantara dua orang. Karenanya, tidak jarang dijumpai dua orang yang
saling mencintai dan mengasihi tanpa lagi peduli pada faktor-faktor menarik
secara figuristik internal. Kecocokan astrak ini berada di luar jangkauan
analisis manusia. Alghazali menyitir sebuah hadits yang mengisyaratkan adanya
ketertarikan karena unsur kecocokan abstrak ini.
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ
مِنهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنهَا اخْتَلَفَ
|
“Jiwa-jiwa
manusia adalah pasukan-pasukan yang dilepas. Apabila pasukan-pasukan itu
bertemu dan saling mengenal, maka akan terjadi kecenderungan (cinta), dan
apabila tidak saling mengenal, maka akan berpaling”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
|
Termasuk
dalam kategori cinta ini adalah orang yang mencintai karena kecantikan atau
ketampanan paras. Cinta jenis ini bukan termasuk cinta karena Allah, melainkan
cinta karena dorongan naluri dan hasrat syahwat. Sebab, naluri dan syahwat
memiliki ketertarikan alamiah pada hal-hal indah, baik, dan menyenangkan (al-ladzah).
Karenanya, cinta jenis ini bisa dirasakan baik oleh orang beriman ataupun
tidak. Secara hukum, jenis cinta seperti ini tidak berdosa, sepanjang tidak
menjerumuskan pecinta pada hal-hal terlarang, seperti melampiaskan hasrat
birahi bukan pada tempatnya.
2.
Cinta Karena Faktor Eksternal Duniawi
Yaitu
mencintai seseorang demi mendapatkan tujuan dan kepentingannya di balik cinta
yang ia berikan. Dalam kategori ini, orang yang dicintai hanya menjadi alat
atau perantara untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, sedangkan yang
sesungguhnya dicintai adalah apa yang menjadi tujuan dan kepentingannya itu.
Cinta
jenis ini bisa diibaratkan seperti orang yang mencintai emas, perak, atau uang.
Ia sebenarnya tidak memiliki kepentingan apapun pada benda-benda itu secara
internal (dzatî), selain sebatas berkepentingan terhadap faktor
eksternal berupa fungsi atau kemanfaatan dari benda-benda itu sebagai sarana
dan alat meraih kenikmatan-kenikmatan yang dicintai, seperti bisa untuk
memperoleh jabatan, popularitas, ilmu, dll.
Apabila
motivasi cinta seseorang karena faktor-faktor eksternal duniawi ini (kekayaan,
jabatan, popularitas, ilmu), maka faktor-faktor itulah sebenarnya yang menjadi
kekasihnya. Seorang murid yang mencintai gurunya karena ilmunya, maka ilmu
itulah hakikatnya yang dicintai, bukan gurunya. Apabila mencintai ilmu karena
agar tercapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi (seperti jabatan, harta,
popularitas, dll.), maka tujuan-tujuan duniawi itulah hakikatnya yang dicintai,
bukan ilmu. Guru dan ilmu dalam contoh ini dicintai hanya sebagai sarana atau
alat untuk memperoleh kekasih dan cinta yang sesungguhnya, yakni tujuan-tujuan
duniawi. Jenis cinta demikian juga bukan cinta karena Allah. Dan secara hukum,
akan sangat tergantung pada legal-tidaknya tujuan-tujuan duniawi tersebut.
3.
Cinta Karena Faktor Eksternal Ukhrawi
Yaitu
mencintai bukan karena figur dan faktor-faktor internal, atau karena faktor
eksternal tapi tidak untuk kepentingan yang bersifat duniawi, melainkan demi
kepentingan ukhrawi. Cinta demikian termasuk kategori cinta karena Allah.
Seperti mencintai guru karena demi mendapatkan ilmu yang bisa membuahkan amal
yang menjadikan beruntung dan selamat di akhirat, mencintai murid karena bisa
menjadi wasilah untuk menyebarkan ilmu, atau seperti mencintai isteri salehah
demi keterjagaan agamanya dan memperoleh keturunan shalih yang akan mendoakan,
dll. Kendati dalam cinta jenis ini terdapat faktor-faktor eksternal yang
bersifat duniawi, namun cinta demikian termasuk kategori cinta fiLlah. Karena
yang dicintai bisa menjadi wasilah kepada cinta Allah.
Kenikmatan-kenikmatan
(al-ladzât) yang bersifat duniawi, ada kalanya menguntungkan
secara kalkulasi ukhrawi, dan ada kalanya merugikan. Kenikmatan kedua inilah
yang seharusnya dibenci oleh orang yang berakal. Membenci dalam pengertian
secara rasional (‘aql), bukan secara naluri (thabi’î). Artinya,
membenci karena menyadari mencintainya akan membawa penderitaan, bukan membenci
suatu kenikmatan, sebab itu mustahil. Seperti benci mencuri makanan lezat milik
orang lain karena sadar akan dihukum, bukan karena makanan lezat akan berubah
menjadi seperti racun ketika dicuri.
Cinta
demikian ini termasuk cinta kepada Allah dengan syarat, apabila
kepentingan-kepentingan ukhrawi yang diperoleh berkurang, maka akan berkurang
pula rasa cintanya, dan akan bertambah apabila bertambah keuntungan ukhrawi
yang didapatkan. Sederhananya, cinta kepada Allah adalah setiap cinta yang
andai saja bukan atas dasar keimanan kepada Allah, niscaya cinta itu tidak
pernah dirasakan.
4.
Cinta LiLlah dan FiLlah
Ini
adalah cinta tingkat tinggi. Mencintai karena cinta Allah. Artinya, mencintai
apapun bukan karena apapun kecuali karena cinta Allah. Logikanya, cinta yang
besar pada kekasih, akan menjalar pada segala hal yang berkaitan dengan
kekasih. Ia akan mencintai orang-orang yang dicintai kekasih: idolanya,
temannya, saudaranya, pembantunya, bahkan kekasihnya kekasih. Ia akan mencintai
apa saja yang disukai kekasih: hobinya, seleranya, rumahnya, pakaiannya, bahkan
kekurangan-kekurangan atau sesuatu yang menyakitkan dari kekasih pun akan
dicintai. Seperti kata pepatah, “gara-gara bunga mawar, durinya pun turut
disiram”.
Puncak
dari rasa cinta ini akan sampai pada seperti keadaan para perindu Allah yang
tak dapat lagi membedakan antara kenikmatan dan petaka yang menimpanya, sebab
segalanya datang dari Allah, Sang Kekasih Tercinta. Harapan dan ratapan akan
sama-sama terasa manis. Ia akan mencintai apa saja yang dicintai dan disenangi
kekasih, seperti ia juga akan membenci apa saja yang dibenci sang kekasih.
Seorang
laki-laki yang jatuh cinta pada wanita, termasuk cinta fiLlah dan liLlah
apabila semata-mata atas dasar, oleh karena Allah mencintai wanita itu.
URGENSITAS
CINTA DALAM PERNIKAHAN
Apabila
cinta kita deskripsikan seperti ilustrasi di atas, dan coba kita bedakan
pengertiaannya dengan syahwat atau keinginan untuk memiliki, lantas seberapa
penting urgensitas cinta dalam sebuah pernikahan demi memenuhi syahwat
tersebut. Adakah ia harus terlebih dahulu ada sebelum ikatan pernikahan itu
diikrarkan agar romantika mengarungi bahtera rumah tangga senantiasa dipenuhi
siraman cahaya cinta? Atau rasa cinta sebelum ikrar pernikahan tidaklah penting
dan tidak harus ada karena pernikahan diharapkan dengan berjalannya waktu maka dengan
sendirinya akan menumbuhkan perasaan cinta?
Untuk
menganalisa masalah ini, perlu kita memahami esensi dan misi pernikahan itu disyariatkan.
Yaitu bukan sekedar untuk singgahan pelampiasan seks semata, melainkan ikatan
sakral untuk meciptakan kedamaian dan meneruskan episode kehidupan. Dalam hal
ini Allah swt. berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
|
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum : 21)
|
Mengamati
dengan seksama rangkaian kalimat demi kalimat dalam ayat ini, sepertinya sudah
cukup jelas jawaban untuk beberapa tanda tanya di atas. Coba perhatikan saja
urutan kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً yang berarti cinta dan kasih-sayang, di sana
tertera berada di akhir setelah sebelumnya di awali dengan kata لِتَسْكُنُوا yang
berarti sakînah atau ketentraman dan kedamaian, dan sebelumnya lagi, kata
أَزْوَاجًا yang berarti istri atau pernikahan. Ayat ini mengilustrasikan
periodesasi waktu cinta dan kasih-sayang itu akan muncul setelah adanya
kecenderungan dan ketentraman pasangan dalam suatu pernikahan. Artinya, secara
redaksional ayat ini menegaskan bahwa cinta pra-nikah tidaklah penting dan
tidaklah harus ada, karena dengan kuasa Allah, pernikahan secara tidak langsung
akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih-sayang. Kendati demikian, untuk memantabkan
jawaban ini ada baiknya kita mencoba menelisik makna rahasia ayat ini melalui
khazanah tafsir.
Para interpreter menafsirkan kata لِتَسْكُنُوا dalam Arrum
ayat 21 di atas sebagai ketenangan atau kenyamanan batin.
Hal ini logis, sebab awal penciptaan laki-laki berasal dari tanah liat sehingga
dalam dirinya mewarisi potensi yang terkandung dari sari pati tanah. Seorang
lelaki dikaruniai alat fital (farji) yang merupakan organ untuk penciptaan
generasi, sedangkan organ ini memerlukan suatu wadah sebagai tempat reproduksi,
maka diciptakanlah wanita sebagai wadah itu sehingga seorang lelaki akan merasa
nyaman ketika bersama wanita yang akan menaunginya. Ketenangan dan ketentraman
batin laki-laki ini juga bisa dinalar bahwa, ketika potensi sari pati tanah
yang dikandung laki-laki bergejolak, maka batinnya akan merasakan resah gundah
gulana, dan keadaan demikian hanya akan tentram ketika gelora itu bisa
disalurkan secara sah kepada wanita. Kondisi seperti ini juga yang dirasakan
Adam waktu masih di surga, sehingga Allah menciptakan Hawa’ untuknya, sebagaimana
yang diberitakan dalam Alqur’an:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
|
Dialah
Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan
isterinya, agar dia (Adam) merasa senang kepadanya.
(QS. Al-A’raf : 189)
|
Sedangkan kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً dalam
ayat di atas, interpretasi para Mufassirîn masih terjadi silang
pendapat. Menurut Ibn Abbas, Mujahid dan Al-Hasan, mawaddah berarti
hubungan badan, sedangkan rahmah maksudnya adalah anak yang dilahirkan.
Menurut versi lain, mawaddah adalah perasaan cinta di saat usia pasutri
masih muda, sedangkan rahmah adalah rasa kasih-sayang yang dimiliki
pasutri ketika di usia tua. Dan masih banyak lagi pendapat lain mengenai tafsir
kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً dalam surat Arrum ayat 21 di atas.
Kendati banyak kontroversi mengenai
tafsir dari kata مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ini, namun pada dasarnya Mufassirîn sepakat bahwa mawaddah
wa rahmah itu diciptakan Allah swt. bagi kedua pasangan suami istri setelah
ikatan pernikahan. Mawaddah wa rahmah akan didapatkan oleh pasutri setelah
mereka diikat dalam pernikahan di mana sebelumnya keduanya tidak saling kenal
satu sama lain dan tidak memiliki rasa apapun diantara keduanya. Hal ini
lumrah, sebab manusia ketika dipertemukan dengan orang yang tidak ada hubungan
mahram, ia akan merasakan kasih-sayang berbeda dengan kasih-sayang yang ia
rasakan dari mahramnya. Kasih-sayang ini merupakan anugrah dari Allah yang akan
senantiasa ada, dan bukan semata-mata didasari oleh syahwat, sebab syahwat itu
disamping bersifat labil, juga ada batasnya. Andaikan kasih-sayang itu hanya
didasari syahwat, di mana syahwat sendiri tidak besifat langgeng, sementara temperatur
emosional dan kemarahan seseorang yang bisa menafikan syahwat mudah naik dan
meluap, niscaya setiap saat akan terjadi perceraian di antara kedua pasangan.
Dalam kondisi demikian, hanya kasih-sayang yang senantiasa ada diantara keduanyalah
yang akan melanggengkan hubungan.
Sampai di sini, kiranya dapat
diformulasikan, bahwa rasa cinta pra-nikah tidaklah penting atau harus ada
sepanjang ikrar pernikahan benar-benar didasari kesiapan secara mental oleh
kedua pasangan dan memiliki komitmen untuk menjalani hidup berkeluarga serta
bercita-cita membangun kehidupan rumah tangga harmonis. Sejalan dengan waktu, Insya
Allah, Allah swt. akan menumbuhkan rasa sakînah, mawaddah wa rahmah di
hati kedua pasangan. Namun demikian, bukan berarti rasa cinta yang hadir
sebelum nikah itu dilarang, dan bahkan hal itu akan lebih ideal jika tetap
dibina sesuai norma-etik syariat. Sebab, pesan sabda Nabi saw. pun menyuruh
umuatnya memilih tipe al-wadûd, yakni seseorang yang memiliki kasih-sayang
besar sebagaimana dalam sebuah hadits:
تَزَوَّجُوا
الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
|
Nikahilah
perempuan-perempuan yang subur, yang memiliki kasih sayang besar, karena
sesungguhnya dengan perantara kalian aku memperbanyak umat di hari kiamat.
(HR. Abu Dawud dan Hakim)
|
Tipe
al-wadûd ini sangat penting untuk dipilih sebagai pasangan, sebab sumber
fantasi keindahan yang paling pokok dalam pernikahan adalah kasih-sayang besar
dari kedua belah pasutri. Dengan mendapatkan kriteria itu, diharapkan akan
benar-benar dapat merasakan keindahan perhiasan dunia yang paling indah, yaitu pasangan
salehah. Kalau tipe ini didapatkan, maka kita akan memahami sabda Nabi saw.
yang mengatakan:
الدُنيَا مَتَاعٌ وَخَيرُ
مَتَاعِهَا المَرْأَةُ الصَالِحَةُ
|
Dunia
adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhisan adalah wanita salehah.
|
Dalam sebuah sabda, Nabi pernah melukiskan kriteria
wanita salehah ini. Yaitu wanita yang ketika dipandang suami sanggup membuatnya
merasa damai dan bahagia, yang senantiasa taat ketika diperintah suami dan bisa
menjaga kehormatan ketika ditinggal suami.
الْمَرْأَةُ
الصَّالِحَةُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ
وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
|
"Wanita
salehah adalah ketika dilihat suami maka akan membahagiakannya, ketika
diperintah suami maka akan patuh dan ketika ditinggal maka ia akan menjaga kehormatan
suami." (HR. Ibn 'Abbâs)
|
Namun dalam kesempatan lain, Rasûlullâh saw. telah
menyindir akan kelangkaan wanita yang memiliki kriteria salehah. Nabi
mengumpamakan keberadaan wanita salehah laksana burung gagak putih, yang hampir
mustahil ditemukan.
مَثَلُ المَرْأَةِ
الصَالِحَةِ في النِّسَاءِ كَمَثَلِ الغُرَّابِ الْأَعْصَمِ بَيْنَ مِائَةِ غُرَّابٍ
|
"Perumpamaan
wanita salehah di antara perempuan adalah seperti seekor burung gagak putih
di antara seratus burung gagak".
|
Lantaran
itulah Nabi sangat menekankan umatnya untuk memprioritaskan memilih jodoh yang
memiliki keagamaan kuat, karena kriteria inilah yang akan senantiasa pro-aktif dalam
melangkah lurus menuju arah ridla Allah swt. dan merajut keindahan dan
kebahagiaan sehidup semati bahkan sampai hidup lagi, seperti dalam sabda beliau:
تُنْكَحُ
المَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا
وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
|
"Wanita
dinikahi karena empat faktor: materinya, keturunannya, kecantikannya dan
keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki keagamaan kuat, kau akan rugi jika
tidak mendapatkannya". (HR. Imâm Muslim).
|
Betapapun langkanya wanita salehah itu, penulis selalu berdoa semoga kita kaum Adam
masih kebagian tipikal itu. Dan bagi pembaca wanita, semoga anda sekalian termasuk
representasi dari metavoris gagak putih yang langka itu. Amien. KD
---o0O0o---
Tulisan ini aku dedikasikan buat seseorang yang pernah
singgah di pelataran hati, yang kupikir aku benar-benar mencintainya, tapi
agaknya aku hanya menyahwatinya. Benci, kemudian cinta, keduanya pernah ikhlas
dipersembahkan, meski akhirnya aku harus melepasnya demi sesuatu yang
seharusnya. Selamat tinggal cinta…! Selamat datang masa depan..! ;( -----> ;)
Lirboyo,
01 Mei ‘09