Sebagai bangsa,
Indonesia adalah sebuah komunitas sosial dengan letak geografis di Nusantara,
di mana setiap jengkal tanahnya dihuni oleh segala keanekaragaman masyarakat
yang plural dan hiterogen, baik suku, ras, agama dan tradisi-budaya yang hampir
mirip dengan masyarakat Madinah di era Rasulullah saw. Kesadaran akan kesamaan "nasib
sejarah" yang dialami, mengilhami putra-putra Nusantara kala itu mengikrarkan
kesatuan kebhinekaannya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sebagai sebuah negara,
Indonesia lahir dari pengalaman sejarah ketertindasan penjajahan yang lebih
dari 4,5 abad sejak kolonialisme Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang, yang
kemudian memproklamirkan kemedekaannya tahun 1945. Sebuah negara kesatuan yang berdasarkan
Pancasila dan UUD '45 sebagai idiologi kompromis untuk mengayomi secara adil kenyataan
rakyatnya yang plural.
Proses kehadiran dan
penyebaran Islam di Indonesia, dilakukan oleh da'i-da'i terdahulu yang membawa
paham ASWAJA (Ahli Sunnah wal Jama'ah) melalui pendekatan dakwah yang
elegan dan permisif terhadap tradisi dan budaya lokal yang telah mengakar menjadi
nilai normatif masyarakat. Realitas demikian bisa kita lihat dari sejarah awal
masuknya Islam ke Indonesia yang lebih bercorak sufisme (tasawuf), dan dalam
bentuk pandangan hidup dengan semangat intelektualisme dan spiritualisme, bukan
sebagai gerakan politik. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kita juga bisa
menyaksikan perjuangan Walisanga dalam usaha islamisasi masyarakat Jawa, yang
kental dengan nuansa pendekatan akulturasi, yakni penyesuaian Islam dengan
kultur budaya setempat. Paham ASWAJA dengan model pendekatan dakwah yang elegan
dan permisif demikian inilah kiranya yang kemudian membentuk corak keagamaan
Muslim Indonesia dalam wujudnya seperti yang kita saksikan hari ini. Yaitu karakteristik
keislaman yang bersedia mengerti dan menghargai nilai-nilai keIndonesiaan.
Namun belakangan, kita
dikejutkan dengan isu-isu kebangsaan yang menghangat memenuhi jagad Indonesia. Mulai
dari isu persengketaan Indonesia-Malaysia, gerakan sparatis lokal, hingga maraknya
idiologi trans-nasional, baik yang berbau agama, politik, budaya maupun
ekonomi.
Idiologi trans-nasional
yang berbau agama dan politik, bisa kita lihat dari gerakan kelompok
fundamentalisme Islam (ekstrim kanan) yang belakangan semakin vulgar dalam
mengkampanyekan isu Khilafah Islamiyah yang proyek jangka panjangnya mengancam integritas
NKRI. Masih serumpun dengan idiologi ini, adalah kelompok-kelompok ekstrimisme,
radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Di pihak lain, kita
juga melihat kelompok liberalisme Islam (ekstrim kiri) yang kian gencar
melakukan liberalisasi agama. Idiologi kelompok kedua ini jika sebatas
pemikiran dan gagasan, mungkin saja dapat dihargai sebagai bentuk pencerahan
intelektual. Tetapi realitasnya, liberalisasi agama telah nyaris menjadi
praktek agama yang dipertentangkan dengan kemapanan beragama selama ini.
Idiologi trans-nasional
dalam ranah budaya adalah merebaknya budaya kosmopolitanisme hingga ke
pelosok-pelosok. Dengan dukungan media yang 'bebas', idiologi ini semakin
berkembang masif dan mengakibatkan pergeseran pola berpikir dan berperilaku
masyarakat menjadi semakin konsumtif, instan, materialistis, hedonis dan
cenderung tidak lagi menghargai khazanah budaya lokal. Sedangkan idiologi
trans-nasional dalam ekonomi, bisa dilihat dari praktek ekonomi liberal melalui
rezim pasar bebas.
Idiologi-idiologi tersebut telah menjadi satu gelombang
ancaman yang menggempur sendi-sendi integritas bangsa dan negara, sekaligus
merusak idiologi pemikiran dan gerakan ASWAJA yang selama ini telah membangun
corak keagamaan masyarakat Indonesia. Di sinilah perlunya melakukan
internalisasi (penghayatan) kembali doktrin-doktrin dan idiologi pemikiran
ASWAJA dalam berbangsa dan bernegara, agar keIslaman umat Muslim Indonesia
tidak tercerabut dari nilai-nilai keIndonesiaan itu sendiri, dan Islam bisa
menjadi agama yang rahmatan lil alamien untuk membangun bangsa dan
negara Indonesia madani.
II. DEFINISI DAN HISTORIS KEMUNCULAN
ASWAJA
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWAJA), merupakan
gabungan dari tiga kata, yakni Ahl, Assunnah, dan Aljamâ'ah. Secara
etimologis, kata ahl (أهل) berarti golongan, kelompok atau komunitas. Etimologi kata assunah
(السنّة) memiliki arti yang cukup variatif, yakni:
wajah bagian atas, kening, karakter, hukum, perjalanan, jalan yang ditempuh,
dll. Sedangkan kata aljamâ'ah (الجماعة) berarti perkumpulan sesuatu tiga ke atas.
Adapun terminologi Ahlussunnah
wal Jama'ah, bukan merujuk kepada pengertian bahasa (lughawi)
ataupun agama (syar'i), melainkan merujuk pada pengertian yang berlaku
dalam kelompok tertentu (urfi). Yaitu, ASWAJA adalah kelompok yang
konsisten menjalankan sunnah Nabi saw. dan mentauladani para sahabat Nabi dalam
akidah (tauhîd), amaliah badâniyah (syarîah) dan akhlaq qalbiyah
(tasawuf). Terminologi istilah Ahlussunnah
wal Jama'ah ini didasarkan
pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa hanya kelompok inilah yang selamat
dari 73 perpecahan kelompok umat nabi Muhammad saw.:
والذي نفس محمد بيده لتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة, فواحدة فى الجنة
وثنتان وسبعون فى النار, قيل: من هم يا رسول الله ؟ قال: هم أهل السنة والجماعة.
(رواه الطبراني)
|
Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada dalam
genggamanNya, umatku akan bercerai-berai ke dalam 73 Golongan. Yang satu
masuk surga dan yang 72 masuk neraka”. Ditanyakan: ”Siapakah mereka (golongan
yang masuk surga) itu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Mereka adalah
Ahlussunnah wal Jama’ah”. (HR.
Thabrani)
|
تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة
الناجية منها واحدة والباقون هلكى قالوا ومن الناجية؟ قال أهل السنة والجماعة
قيل وما السنة والجماعة؟ قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي
|
Umat ini nantinya juga akan terpecah
menjadi 73 sekte, satu yang selamat, yang lainnya dalam kerusakan. Shahabat
bertanya, ”Siapa yang selamat?” Nabi menjawab: ”Ahlussunah
wal Jama‘ah”.
Mereka bertanya kembali: ”Siapa Ahlussunah wal Jama‘ah?” Jawab Nabi: ”Adalah apa yang aku dan
sahabatku praktekkan hari ini”.
|
Dengan pengertian
terminologis demikian, ASWAJA secara riil di tengah-tengah umat Islam terbagi
menjadi tiga kelompok. Pertama, Ahl Alhadits dengan sumber kajian
utamanya adalah dalil sam’iyah, yakni Alqur’an, Assunnah Ijma dan Qiyas.
Kedua, para ahl alkalâm atau ahl annadhar (teologi) yang
mengintegrasikan intelegensi (asshinâ’ah alfikriyyah). Mereka adalah Asyâ'irah
dengan pimpinan Abu Hasan Al'asy’ari dan Hanafiyah dipimpin oleh Abu Manshur
Almaturidi. Sumber penalaran mereka adalah akal dengan tetap meletakkan dalil sam’iyyah
dalam porsinya. Ketiga, Ahl Alwijdân wa Alkasyf (kaum shufiyah). Sumber
inspirasi mereka adalah penalaran Ahl Alhadits dan Ahl Annadhar
sebagai media penghantar yang kemudian dilanjutkan melalui pola kasyf
dan ilham.[1]
Ketiga kelompok inilah yang paling layak disebut ASWAJA secara hakiki.
Di Indonesia, Nahdlatul
Ulama merumuskan ASWAJA dengan dua pengertian. Pertama, ASWAJA sudah ada
sejak zaman Nabi, sahabat nabi, tâbi'în dan tâbi'în attâbi'în
yang umumnya disebut dengan assalaf ashshalih. Pendapat ini didasarkan pada
pengertian bahwa ASWAJA berarti golongan yang setia pada Assunah dan Aljamâ'ah,
yaitu Islam yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. bersama para
sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktekkan para sahabat
sepeninggal beliau, terutama Khulafa‘ Arrasyidin. Dari pengertian
ini, ASWAJA dirumuskan sebagai: kelompok yang senantiasa konsisten dan setia
mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah atau jalan para sahabatnya dalam
akidah, fiqh dan tasawuf. Kelompok ini terdiri dari para teolog (mutakallimîn),
ahli fiqh (fuqahâ’), ahli hadits (muhaditsîn), dan ulama tasawuf
(mutashawwifîn).
Kedua, ASWAJA adalah
paham keagamaan yang muncul (dimurnikan) setelah Imam Abu Alhasan Al'asy'ari
dan Imam Abu Manshur Almaturidi memformulasikan akidah Islam yang sesuai dengan
Alqur'an dan Assunnah. Itu sebabnya, kelompok ASWAJA juga disebut sebagai
penganut paham Asy'ariyah dan Maturidiyah. Syaikh Murtadla Azzubaidi dalam
kitab Al'ittihâf Assâdah Almuttaqîn, Syarah kitab Ihyâ' Ulûmiddîn
karya Imam Alghazali menyatakan:
إذا أطلق أهل السنة
والجماعة فالمراد بهم الأشاعرة والماتردية
|
Ketika diucapkan secara mutlak istilah
Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang dikehendaki mereka ialah kelompok penganut
paham Al'asy'ari dan Almaturidi.
|
KH. Hasyim Asy’ari pada
sambutan pembukaan deklarasi berdirinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama menandaskan: “Ciri
Ahlussunah wal Jama‘ah, adalah mereka yang di bidang tauhid mengikuti Imam Abu
Alhasan Al'asy’ari atau Abu Mansur Almaturidi; di bidang fiqh mengikuti madzhab
empat: Imam Abi Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i bin Idris atau Ahmad bin
Hambal; dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syaikh Junaid Albaghdadi dan
Imam Alghazali.”
Dari terminologi ASWAJA
seperti di atas, dapat dimengerti bahwa Ahlussunah wal Jama‘ah merupakan
istilah yang terbangun melalui nalar ‘urfi, untuk mencirikan umat Muslim
sebagai representasi dari sawâd al'a’dham (kelompok mayoritas) ketika
kondisi perpecahan paham merajalela dan dirasa perlu merapatkan barisan dan
menyepakati sebuah identititas, sebagai upaya membedakan antara yang haq dan
bathil, antara mereka yang teguh mengikuti sunnah dan yang menyimpang dengan
berbagai macam bid’ah, sebagaimana yang ditekankan Rasulullah saw. dalam
sabdanya:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لا يجمع الله هذه الأمة على ضلالة أبدا, قال يد الله
على الجماعة فاتبعوا سواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار
|
Rasulullah saw. bersabda, Allah tidak
akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan selamanya. Kekuatan (pertolongan)
Allah berada pada kelompok, maka ikutilah kelompok terbesar, karena
sesungguhnya seseorang yang mimisahkan diri, ia memisahkan diri ke dalam
neraka.
|
Sejarah kemunculan
istilah ASWAJA sebagai sebuah nama firqah (sekte) Islam, sebenarnya
dipengaruhi dari perpecahan dalam Islam. Sejak peristiwa pembunuhan khalifah
Islam ketiga, Utsman bin Affan, sejak saat itulah episode perpecahan dalam
tubuh Islam dimulai. Dari peristiwa ini muncul serangkaian perang antara para
sahabat. Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus
berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas
darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini,
puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama Muslim
akibat provokasi da konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn Saba’ dkk.).
Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan
Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm (arbitrase).
Ide Tahkîm dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang
disetujui Ali ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang
dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan
Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Sejak kematian Ali Ibn
Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M., umat Islam telah terpecah setidaknya
menjadi empat kelompok. Petama, Syi’ah yang fanatik kepada Ali dan
keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Kedua, Khawarij yang
memusuhi bahkan mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketiga,
kelompok yang mengakui kekhalifahan Muawiyah. Dan keempat, sejumlah
sahabat antara lain Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang
menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan keagamaan. Dari aktifitas
mereka inilah selanjutnya lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan
tradisi keilmuan kepada generasi berikutnya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh mutakallimîn,
muhadditsîn, fuqahâ', mufassirîn, dan mutashawwifîn.
Kelompok ini berusaha mengakomodir semua kekuatan dan model pemikiran yang
sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
ASWAJA sebagai sebuah
sekte Islam, eksistensinya semakin populer ketika Syaikh Abu Alhasan Al'asy’ari
menyatakan keluar dari paham Mu'tazilah dan menyerang akidah paham tersebut.
Sebelumnya, Abu Alhasan Al'asy’ari adalah seorang penganut Mu'tazilah dan
menjadi murid Abu Ali Aljaba’i Almu'tazili, seorang tokoh Mu'tazilah yang
sekaligus ayah tirinya. Dalam kutipan akhir perdebatan antara Abu Alhasan
Al'asy’ari dengan gurunya, Abu Ali Aljaba’i, dalam rangka membatalkan paham
Mu'tazilah, diceritakan: Abu Alhasan Al'asy’ari bertanya pada Abu Ali Aljaba’i:
“Bagaimana pendapatmu tentang tiga saudara yang meninggal dunia, yang satu
adalah orang yang taat, yang kedua adalah orang yang durhaka, dan yang ketiga
meninggal ketika masih kecil?”
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “yang taat diberi pahala dan
masuk surga, yang durhaka disiksa dan masuk neraka, dan yang kecil berada di
antara surga dan neraka (manzilah baina almanzilatain), tidak diberi pahala dan
tidak disiksa”.
Abu Alhasan bertanya: “Jika yang kecil mengatakan:
“Wahai Tuhanku, kenapa Engkau mencabut nyawaku ketika aku masih kecil? Jika
Engkau biarkan aku hidup, aku akan taat dan masuk surga”, lalu bagaimana
jawaban Allah?”.
Abu Ali Aljaba’i menjawab: “Allah akan menjawab: “Aku maha
tahu, jika engkau hidup sampai dewasa, maka engkau akan durhaka sehingga masuk
neraka, maka yang terbaik adalah engkau mati ketika masih kecil”.
Abu Alhasan bertanya lagi: “Jika yang mati dalam
keadaan durhaka mengatakan: “Wahai Tuhanku, jika Engkau tahu aku akan durhaka,
kenapa Engkau tidak mencabut nyawaku ketika aku masih kecil, sehingga Engkau
tidak memasukkan aku ke dalam neraka?”, lalu apa yang akan dikatakan Allah?”
Pada pertanyaan terakhir inilah Abu Ali Aljaba’i tak sanggup menjawab untuk membela pahamnya.
Setelah Abu Ali Aljaba’i gagal menjawab pertanyaannya, Abu Alhasan Al'asy’ari lalu menyatakan keluar dari paham
Mu'tazilah, dan aktif menulis kitab-kitab untuk menolak akidah Mu'tazilah dan
merumuskan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Dengan demikian, ASWAJA
adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam
secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. ASWAJA meyakini wahyu
bersifat 'gaib' dan disampaikan dalam kegaiban. Untuk itu tidak ada yang patut
mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasulullah
saw., karena beliaulah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasulullah, para sahabat yang selalu dekat dan memperoleh ajaran
langsung Rasulullah adalah umat Islam yang kualitas pemahaman terhadap wahyu
mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami
dan mengamalkan wahyu. Hanya dengan merujuk kepada akidah, amaliah dan akhlak mereka
inilah suatu sekte Islam berhak disebut Ahlussunah wal Jama‘ah.
Apabila dewasa ini semua sekte Islam mengklaim
diri sebagai ASWAJA, maka harus ditegaskan bahwa ASWAJA bukanlah klaim,
melainkan paham keagamaan dengan bukti kesesuaian akidah, amaliah dan akhlaknya
dengan akidah, amaliah dan akhlak Rasulullah dan yang telah disepakati para
sahabat di masa Khulafa' Arrasyidin, berdasarkan hujjah dan dalil yang
bisa dipertanggungjawabkan.
III.
GARIS-GARIS BESAR DOKTRIN
ASWAJA
Islam, iman dan ihsan
adalah trilogi agama (addîn) yang membentuk tiga dimensi keagamaan
meliputi syarî'ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai
jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial.
Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa
Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan
esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan),
masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna
tanpa mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan
dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
|
Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)
|
Imam Izzuddin bin
Abdissalam mengatakan, ”hakikat
Islam adalah aktifitas badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama,
hakikat iman adalah aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah
aktifitas ruh dalam penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keislaman, melahirkan disiplin
ilmu yang disebut fiqh. Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan,
melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi
keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA mengakomodir
secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme,
merupakan kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah
klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas
belaka adalah sia-sia. Imam Malik mengatakan:
مَنْ تَصَوَّفَ
وَلَمْ يَتفَقَّهْ فَقَدْ تَزَندَقَ وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ
تَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ
|
Barang siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah
zindiq, barang siapa memegang fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan
barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan kebenaran.
|
a.
Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran
(tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang dibawanya dari
Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah (ushûluddîn)
yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. – 324 H./936 M.) dan
Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah
islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para
rasul dan malaikatNya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran.
Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal.
Yaitu dalam masalah istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah,
seperti “Saya beriman, insya'Allah”, menurut Maturidiyah tidak
diperbolehkan, karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan,
dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ'irah diperbolehkan,
karena maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan
itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu
billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan
spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwîn (mewujudkan), menurut
Asyâ'irah sifat takwîn (تكوين) tidak berbeda dengan
sifat Qudrah. Sedangkan menurut
Maturidiyah, takwîn adalah sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat
Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa
mengetahui dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut
arif serta masuk surga. Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari,
keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan Asyâ'irah (pengikut Abu Alhasan
Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid. Sebagian
menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui
dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui
dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.
Dari tingkatan tauhid ini,
selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqlîd, iman biddalîl,
iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlîd
adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara
langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl
(ilmul yaqîn) ialah keyakinan terhadap aqâ'id lima puluh dengan
dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (محجوب) dalam
mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan
yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi
apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil
haqq (haqqul yaqîn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang
hadîts dan tenggelam dalam fanâ' billah.
Mempelajari ilmu tauhid,
fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn),
dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah,
maka naik ke strata iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya
mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqîn).
|
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu. (QS. Ashshafat: 96)
|
|
Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan,
maka ia telah beruntung, barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu
diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah
wushul.
|
Konsep tauhid ASWAJA mengenai
af'âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara paham Jabariyah di satu
pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika Jabariyah menyatakan
paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan
perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan
makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya,
maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim tersebut.
ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar)
namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb
(upaya). Dalam keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki
qudrah), namun secara batin, manusia adalah majbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan
ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan menjadi kafir, dengan
melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat ataupun bid'ah,
sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka ASWAJA tidak
akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhalâl)
dan durhaka.
ASWAJA sangat berhati-hati dan tidak gampang dalam sikap takfîr
(mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin akan
menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:
|
Ketika seseorang berkata kepada saudaranya:
”wahai seorang yang kafir”, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)
|
Keimanan seseorang akan
hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan wujud Allah, mengandung unsur
syirik yang tidak dapat dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari hal-hal
yang lumrah diketahui dalam agama (ma'lûm bi adldlarûri), dan mengingkari
hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah lumrah diketahui.
Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan
atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq)
dan tidak bisa dita’wil.
b. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya
termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah,
mu'amalah, munakahah, jinayah, siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman
pada salah satu dari empat madzhab fiqh: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan
Hanabilah.
Ada alasan mendasar
mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab ini. Di samping alasan
otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep madzhab yang
terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat
madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil
aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat
madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud Adhdhahiri yang
cenderung tekstualis dan Madzhab Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth)
yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan
tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai jalan paling
selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana
yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:
|
Sebaik-baiknya
perkara adalah tengahnya.
|
Dengan prinsip inilah ASWAJA
mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan
Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur
kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang
diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan
kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil
(Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:
|
Hai orang-orang yang
beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) (QS.
Annisa': 59)
|
Dalam ayat ini secara
implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan tendensi
penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas.
Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada
Alqur'an dan Hadits, perintah taat kepada ulil amri berarti perintah
berpegang pada Ijma' (konsensus) umat (mujtahidîn), dan perintah
mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah berpegang
pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas
hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.
Disamping itu, ASWAJA
juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat yang tidak memiliki
kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan ijtihad. Taqlid
hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti ijtihad
sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak
pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka,
hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan
ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan
susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid
dipahami sebagai kewajiban oleh ASWAJA berdasarkan firman Allah:
|
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui. (QS. Annahl: 43)
|
c.
Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan
melalui teori-teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu
dan amal, dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq
madzmûmah) dan mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq
mahmûdah), sehingga Allah hadir (tajallî) dalam setiap gerak-gerik
dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda
Rasulullah saw.:
|
Ihsan adalah
engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak
melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.
|
Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang
tasawuf atau akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi
atau amali, yang dirumuskan oleh Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali.
Limitasi (pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh
tasawuf falsafi dari kelompok ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Alhallaj dan
tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari
uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori ASWAJA
meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan
bahkan ahli hadits (muhadditsîn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing
memiliki konsep metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa
diuraikan di makalah ringkas ini.
IV. METODOLOGI PEMIKIRAN (MANHAJ
ALFIKR) ASWAJA
Jika kita mencermati
doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat (islam) ataupun
akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj
alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawâzun),
netral atau adil (ta'âdul), dan toleran (tasâmuh). Metodologi
pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik
ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk
mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte Islam lainnya. Dan dari prinsip
metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun keimanan, pemikiran,
sikap, perilaku dan gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)
Tawassuth ialah
sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam
konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu
berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini
didasarkan pada firman Allah:
|
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.
Albaqarah: 143)
|
b.
Tawâzun (Berimbang)
Tawâzun ialah sikap
berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil
(pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah
keputusan dan kebijakan. Dalam konteks pemikiran dan amaliah keagamaan, prinsip
tawâzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan
sehingga melahirkan fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba
kiri yang melahirkan liberalisme dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawâzun
ini didasarkan pada firman Allah:
|
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS.
Alhadid: 25)
|
c.
Ta'âdul (Netral dan
Adil)
Ta'âdul ialah sikap
adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan segala
permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamâtsul).
Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun
keadilan menuntut adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika
realitas individu benar-benar sama dan setara secara persis dalam segala
sifat-sifatnya. Apabila dalam realitasnya terjadi tafâdlul (keunggulan),
maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlîl). Penyetaraan
antara dua hal yang jelas tafâdlul, adalah tindakan aniaya yang bertentangan
dengan asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'âdul ini berdasrkan
firman Allah:
|
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 9)
|
d. Tasâmuh (toleran)
Tasâmuh ialah sikap
toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan dan
keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku,
bangsa, agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya. Toleransi dalam konteks
agama dan keyakinan bukan berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui
kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang lain. Toleransi agama juga bukan
berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang haq dan benar. Yang
salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan yang
haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya
dengan toleransi agama, Allah swt. berfirman:
|
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS.
Alkafirun: 6)
|
|
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85)
|
Toleransi dalam konteks
tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia menghargai tradisi
dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan
ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan
syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan
nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian, tasâmuh
(toleransi), berati sebuah sikap untuk menciptakan keharmonisan kehidupan
sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun kerukunan antar
sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban manusia yang
madani. Dari sikap tasâmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep
persaudaraan (ukhuwwah) universal. Meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan
keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah
basyariyyah atau insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan
universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan
implementasi dari firman Allah swt.:
|
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)
|
|
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. (QS.
Albaqarah: 30)
|
V.
ESENSI KHILAFAH DALAM
PANDANGAN ASWAJA
Dalam
pandangan ASWAJA, esensi dan hakikat dari sebuah pemerintahan atau negara
(khilafah), adalah sebagai salah satu diantara instrumen (wasâ'il) untuk
usaha terwujudnya aplikasi syariat secara totalitas (kâffah) dalam
kehidupan umat melalui kewajiban menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, yang
menjadi cita-cita dan tujuan akhirnya (maqâshid). Karena
kedudukannya yang dipandang sebagai wasîlah untuk maqâshid berupa
tugas amar ma'ruf nahi munkar, maka pemerintahan atau negara tidak harus
terikat dengan bentuk, sistem ataupun dasar idiologi negara tertentu. Apapun
sistem, bentuk ataupun dasar idiologi yang diberlakukan, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak menjadi rintangan dalam tugas
dakwah islamiyah, serta tidak menghalangi umat Islam dalam menjalankan praktek
keagamaannya, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kudeta atau merubahnya.
Merubah bentuk, sistem atau dasar idiologi negara, hanya wajib dilakukan
—sesuai batas kemampuan— jika nyata-nyata bertentangan dengan syariat.
Pendirian Khilafah
Islamiyah bagi ASWAJA (baca: Nahdlatul Ulama) dalam konteks keIndonesiaan, bukanlah
cita-cita urgen, sebab eksistensinya hanyalah sebagai wasîlah. Ada
cita-cita (maqâshid) yang jauh lebih penting dan esensial dari sekedar
membentuk instrumen perjuangan, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar
di tengah kehidupan masyarakat, dan tugas maqâshid ini bisa dilangsungkan
tidak harus melalui pendirian Khilafah Islamiyah.
Pandangan seperti
inilah yang mendasari sikap ASWAJA (baca: NU) yang tidak ambisi dan
bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Karena khilafah
bukanlah satu-satunya instrumen yang bisa ditempuh untuk menegakkan syariat
dalam kehidupan umat. Bahkan selama ini, setiap usaha merubah bentuk dan dasar
hukum negara, nyata-nyata lebih banyak memunculkan ekses negatif yang justru
merugikan kaum Muslimin sendiri. Gerak perjuangan ASWAJA (NU) dalam konteks
Indonesia, bukan semangat perjuangan mendirikan Khilafah Islamiyah, melainkan
semangat perjuangan menegakkan syariat dalam perilaku keseharian umat. Dengan
kata lain, perjuangan ASWAJA (NU) tidak dikonsentrasikan pada pembentukan sebuah
wadah syariat secara formal, berupa bentuk khilafah atau sistem negara Islam,
melainkan lebih dikonsentrasikan pada perjuangan aplikasi syariat dalam
perilaku umat sehingga menjadi ruh dan substansi perilaku kehidupan masyarakat.
Perilaku umat yang berlandaskan syariat jauh lebih penting dan lebih baik
dibanding sekedar formalitas bentuk dan sistem negara islami.
Hal ini logis, sebab
jika kita jujur membaca fakta sejarah khilafah dalam Islam, sebenarnya yang
layak dilabeli dengan 'islamiyah' (baca: demokratis), hanyalah khilafah era Khulafa'
Arrasyidin saja. Khilafah pasca Khulafa' Arrasyidin, secara umum
telah kehilangan label ke-islamiyah-annya, bahkan identik dengan sistem
kekaisaran Romawi dan Persi. Dari sejarah ini pula bisa kita tegaskan bahwa sistem
pemerintahan demokrasi sebenarnya tidak bisa diklaim sebagai produk kafir,
sebab khilafah era Khulafa' Arrasyidin adalah pemerintahan paling
demokratis dari sistem demokrasi manapun.
Disamping itu, misi
pendirian kembali Khilafah Islamiyah yang diusung oleh sebagian sekte dan
gerakan Islam dalam konteks Indonesia dewasa ini, faktanya tidak murni hanya
mengusung misi mendirikan negara Islam saja, melainkan juga mengusung paham dan
idiologi aliran mereka, seperti idiologi Wahabi, Syi'ah atau lainnya. Mereka tidak
akan mendirikan Khilafah Islamiyah kecuali paham dan idiologi mereka juga
menjadi paham dan idiologi resmi pemerintah. Artinya, ketika khilafah berhasil
didirikan, bukan mustahil mereka memberhangus kelompok ASWAJA yang bertentangan
dengan paham mereka, seperti sejarah kekejaman Pemerintahan Arab Saudi dengan
paham Wahhabinya.
Inilah yang menjadi
alasan fundamental kenapa ASWAJA (NU) menentang setiap gerakan dan sekte yang mengusung
Khilafah Islamiyah di Indonesia dan merongrong NKRI yang beridiolgi Pancasila.
Dengan kenyakinan bahwa sila pertama yang mencerminkan tauhid Islam telah
menjiwai sila-sila lain dalam Pancasila, dan mempertimbangkan kenyataan rakyat
bangsa Indonesia yang plural dalam ras, suku dan agama, serta mempertimbangkan
resiko ancaman integritas bangsa, maka ASWAJA (NU) menyatakan: bahwa NKRI dan
Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk negara
di Indonesia. Sikap seperti ini bukan berarti ASWAJA (NU) anti khilafah,
melainkan lebih demi mempertahankan eksistensi idiologi ASWAJA dan
menghindarkan kekacauan umum (chaos) yang harus diprioritaskan dari
sekedar mencapai kemaslahatan (mendirikan khilafah), sesuai kaidah fiqh:
|
Menghindari
kekacauan lebih diprioritaskan dari mengupayakan kemaslahatan
|
Apabila sejauh ini
dikenal tiga model hubungan agama-negara, yaitu hubungan intergasi (agama dan
negara adalah satu kesatuan); hubungan sekuler (pemisahan peran agama dalam
pemerintahan); dan hubungan simbiosis (agama-negara terpisah namun saling
membutuhkan dan mengisi secara timbal-balik), maka model ketiga inilah yang
menjadi pilihan ASWAJA dalam memandang hubungan agama dan negara. Agama tidak
harus diformalkan sebagai sebuah sistem dan bentuk suatu negara, namun agama
juga tidak boleh diceraikan dari intervensi peran politik.
Pandangan politik
ASWAJA seperti ini, tidak bisa dipertentangkan dengan muatan surat Alma'idah
ayat 44, 45 dan 47, yang memvonis kafir, dhalim dan fasiq bagi orang yang tidak
memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Vonis kafir, dhalim dan fasiq
dalam tiga ayat tersebut meski berlaku bagi umat Islam atau ahli alkitab
(non Muslam), namun bila dilakukan orang mukmin, menurut Thawus: “kekafiran
itu tidak mengeluarkannya dari agama“. Dan menurut Atha'; “kekafiran di
bawah kekafiran, kedhaliman di bawah kedhaliman, dan kefasikan di bawah
kefasikan". Sedangkan dalam riwayat lain menurut Ibn Abbas, penguasa Muslim
yang tidak memberlakukan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah dipilah menjadi
dua. Ibn Abbas mengatakan: “Orang yang mengingkari apa yang diturunkan
Allah, maka dia adalah kafir, dan orang yang membenarkannya namun tidak
menerapkannya, maka dia dhalim atau fasiq”.
Dari sini bisa dipahami bahwa, apabila tidak
memberlakukan hukum-hukum yang diturunkan Allah lantaran ketidaksanggupan, atau
karena justeru akan menimbulkan bahaya dan kerusakan (mafâsid), seperti
ancaman disintegrasi bangsa, tekanan internasional dll., maka vonis kafir,
dhalim dan fasiq tidak bisa dijatuhkan kepada umat Islam.
VI. PRINSIP AMAR MA'RUF
NAHI MUNKAR ASWAJA
Amar
ma'ruf nahi munkar adalah satu paket istimewa dari agama
untuk umat Muhammad saw. guna menegakkan panji-panji ketuhanan dan melenyapkan
segala kemunkaran di muka bumi, serta menjaga keberlangsungan tatanan
kehidupan. Keberadaannya menjadi tugas pokok yang tak terpisahkan dari
kewajiban agama. Allah swt. berfirman:
|
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)
|
Amar ma'ruf nahi munkar adalah
tugas agung yang diwajibkan agama untuk umat Islam, karena tanpa ada kewajiban
ini, niscaya dunia hanya akan menjadi episode angkara murka dan berada di bawah
ancaman adzab Allah. Rasulullah saw. bersabda:
|
Sesungguhnya manusia di saat mereka melihat perkara
munkar kemudian mereka tidak mau merubahnya, maka dekat kemungkinan Allah
akan meratakan mereka dengan siksa.
|
Dalam tataran praktis, ASWAJA
merumuskan konsep tahapan atau fase-fase amar ma'ruf nahi munkar sebagai
pola aplikasinya, yang meliputi ta'rîf (memberi tahu), wa'dh
(menasehati), takhsyîn fî alqaul (dengan nada keras), dan man'u bi alqahri
(mencegah paksa). Konsep fase-fase amar ma'ruf nahi munkar ini berdasarkan
sabda Nabi saw.:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَليُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الِإيْمَانِ
Barang siapa di antara kamu
melihat kemunkaran maka hendaklah menghilangkannya dengan kemampuannya
(tangannya), apabila tidak mampu maka dengan perkataan (lisan), apabila tidak
mampu maka dengan mengingkari di dalam dan yang demikian itu adalah paling
lemah-lemahnya keimanan. (HR. Muslim)
Dua fase yang pertama (ta'rîf
dan wa'dh), legal dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan dua fase
yang terakhir, (takhsyîn fî alqaul dan man'u bi alqahri), hanya
menjadi wewenang pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah). Hal ini
dikarenakan kedua fase terakhir ini sangat berpotensi menimbulkan fitnah jika
dilakukan secara individual, dan amar ma'ruf nahi munkar haram dilakukan
jika justeru akan menimbulkan kemungkaran (fitnah) yang jauh lebih besar.
Secara periodik,
kemunkaran diklasifikasikan menjadi tiga. Kemunkaran yang telah berlangsung,
kemunkaran yang sedang berlangsung, dan kemunkaran yang akan berlangsung.
Bentuk tindakan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang telah
dilakukan adalah uqûbah (hukuman), dan untuk kemunkaran yang akan
terjadi adalah zajr (menjerakan atau menggagalkan), sedangkan untuk
kemunkaran yang sedang berlangsung adalah daf'u (menghentikan). Dari
tiga bentuk tindakan amar ma'ruf nahi munkar tersebut, hanya tindakan daf'u
(menghentikan) kemunkaran yang sedang berlangsung yang legal dilakukan oleh
individu. Sedangkan tindakan uqûbah dan zajr atas kemunkaran yang
telah atau akan terjadi, hanya menjadi wewenang pihak pemerintah atau pihak-pihak
yang memiliki kekuasaan.[4]
Pengerusakan,
pembakaran dan pengeboman terhadap tempat-tempat maksiat dalam skala besar,
atau tindakan-tindakan kekerasan (anarkhisme, radikalisme, ekstrimisme dan
terorisme) dengan mengatasnamakan sebagai aktifitas amar ma'ruf nahi munkar,
merupakan tindakan yang sudah di luar wilayah kewajiban individu atau kelompok,
karena tindakan demikian sangat riskan justeru mengundang fitnah yang jauh lebih
besar. Bahkan tindakan-tindakan destruktif demikian termasuk cara-cara ilegal
dalam agama.
Sederhananya, cara-cara
santun, humanis dan penuh hikmah serta tidak destruktif, adalah prinsip-prinsip
amar ma'ruf nahi munkar yang menjadi ajaran ASWAJA. Prinsi-prinsip
demikian didasarkan pada firman Allah swt.:
|
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. (QS. Annahl: 125)
|
|
Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
Alqashah: 77)
|
VII. KRITERIA BID'AH DALAM PANDANGAN ASWAJA
Sejauh ini, pembicaraan
seputar bid’ah tidak lepas dari dua definisi bid’ah dalam wacana Islam. Pertama,
definisi bid’ah yang ditawarkan oleh Asysyathibi, bahwa bid'ah adalah segala
perbuatan baru dan secara tinjauan hukum seluruhnya muharramah (madzmûmah).
Dan kedua, definisi bid'ah versi mayoritas ulama, bahwa bid'ah adalah
segala hal yang baru yang tidak di dikenal di masa hidup Rasulullah saw. namun
secara tinjauan hukum dibagi menjadi lima kategori sesuai klasifikasi hukum taklifi
(wajib, haram, sunah, makruh dan mubah). Perbedaan definitif ini hanya bersifat
redaksional (lafdhi), sebab kedua versi bertemu dalam satu kesepakan,
bahwa bid'ah yang muharramah adalah bid'ah yang dlalâlah. Sedangkan
bid'ah mahmûdah menurut versi kedua, tidak dikategorikan sebagai bid'ah haqîqatan
menurut versi pertama.
Dari sini kemudian
secara global bid'ah dikategorikan menjadi dua. Bid'ah madzmûmah (dlalâlah:
haram dan makruh), dan bid'ah mahmûdah (hasanah: wajib, sunnah
dan mubah). Bid'ah madzmûmah adalah segala amaliah keagamaan yang baru
dan bertentangan dengan dalil-dalil agama baik secara 'âm atau khâs,
meliputi Alqur'an, hadits, ijma', qiyas dan atsâr. Sedangkan bid'ah mahmûdah
ialah segala amaliah keagamaan baru yang tidak memiliki tendensi dalil agama
baik secara 'âm atau khâs dan bertentangan dengan Alqur'an,
hadits, ijma', qiyas dan atsâr.
Konsep bid'ah demikian
berdasarkan sebuah hadits Rasulullah saw.:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل
بعده لا ينقص من أجورهم شئ, ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل
بعده ولا ينقص من أوزارهم شئ.
Barang siapa membuat sunnah baru di dalam Islam, baginya mendapat pahala
dan pahala orang yang melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. Dan
barang siapa membuat sunnah buruk, baginya mendapat dosa dan dosa orang yang
melakukan setelahnya tanpa berkurang sedikitpun. (HR. Muslim)
|
Dalam pandangan ASWAJA,
kehadiran Islam bukanlah untuk menolak segala tradisi yang telah mapan dan
mengakar menjadi kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan
pembenahan-pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang
tidak sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi
nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka
Islam akan mengakulturasikannya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari budaya
dan tradisi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
مَا
رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.
Apa yang dilihat
orang Muslim baik, maka hal itu baik di sisi Allah. (HR. Malik)
|
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اْلكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَةُ الْمُؤْمِنِ
فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Rasulullah saw. bersabda, “Kalimat hikmah (kebaikan) adalah kekayaan
orang Mukmin yang hilang, sekira ia menemukannya maka ia paling berhak
dengannya. (HR. At-Turmudzi)
|
Dengan demikian, amaliah
dan ritual-ritual keagamaan ASWAJA (NU), seperti ritual tahlilan, peringatan
Maulid Nabi, istighatsah, pembacaan barzanji, manaqib, ziarah kubur dan amaliah
lainnya, tidak bisa divonis sebagai praktek bid’ah bahkan syirik. Sebab
sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:
“Hukum asal ritual ibadah adalah haram”
Namun perlu ditegaskan di sini, bahwa kaidah
itu tidak berlaku mutlak tanpa pengecualian. Ritual ibadah yang tidak ada dalil
khâsh (khusus) yang melegalkannya namun tidak bertentangan dengan
dalil-dalil 'âm (umum) dan tidak ada dalil sharîh (tegas) yang
melarangnya, maka termasuk pengecualian yang tidak bisa diharamkan dengan dasar
kaidah ini. Ritual-ritual ibadah seperti ini juga tidak bisa dikatakan sebagai
bid’ah, karena masih memiliki dasar legalitas hukum berupa dalil-dalil 'âm.
Dan memang seperti inilah ghalibnya amaliah dan ritualitas kelompak ASWAJA (NU)
yang senantiasa dilestarikan. Sekalipun sebagian diantaranya tidak terdapat
dalil-dalil khusus yang melegalkannya, namun semuanya tidak ada yang keluar dan
bertentangan dengan dalil-dalil umum yang melegalkannya. Adapun hadits yang
menyatakan:
ألآ وإياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثها وكل
محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Ingatlah, takutlah
kalian kepada pembuat bid'ah, karena seburuk-buruknya perkara adalah perkara
yang baru, dan sebagian hal yang baru adalah bid'ah, dan sebagian bid'ah adalah
sesat. (HR. Ibn Majah)
Maka hadits ini harus
dibaca dan diproporsikan hanya dalam konteks ritual ibadah yang sama sekali
tidak memiliki dasar hukum, baik berupa dalil khusus ataupun dalil umum. Karena
kata كل dalam redaksi
hadits di atas, tidak bermakna "setiap" atau "seluruh",
melainkan "sebagian". Sebab, kalau kata كل diartikan "setiap" atau
"seluruh", bagaimana mungkin sahabat Umar bin Khattab mengatakan: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ (sebaik-baiknya bid'ah
adalah (jama'ah tarawih) ini) pada saat beliau memiliki ide bid'ah
melaksankan shalat tarawih secara berjamaah yang tidak dikenal di masa hidup
Rasulullah saw.
VIII. PENUTUP
Dengan mencermati
sejarah kemunculan ASWAJA, memahami doktrin ajarannya yang mencakup trilogi
keagamaan (islam, iman dan ihsan) serta menghayati metodologi pemikirannya (manhaj
alfikr), kita bisa maklum bahwa paham ASWAJA merefleksikan perilaku
keagamaan yang kâffah (holistis dan totalitas), yang melibatkan aspek
eksoteris dan esoteris (lahir dan batin).
Paham ASWAJA meyakini bahwa
yang tahu persis tentang bentuk dan sirri syari’ah hanyalah Allah swt.,
yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasulullah melalui wahyu secara sirri
pula. Kemudian Rasulullah mempraktekkan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat,
diteruskan kepada tâbi’în dan tâbi’ attâbi’in (salaf ashshâlih)
dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan,
sambung-sinambung sampai hari ini. Hanya dengan jalan merujuk kepada generasi
awal (salaf ashshâlih) itulah ajaran Islam dapat dijamin otentisitasnya.
Hanya paham yang memiliki akidah, amaliah dan akhlaq sesuai dengan akidah,
amaliah dan akhlaq salaf ashshâlih itulah yang berhak mengaku sebagai
sekte ASWAJA.
Hakikat kebenaran
menurut ASWAJA adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu
bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan akal pikiran bersifat
nisbi dan relatif. Mengintegrasikan antara
aql (rasionalitas) dan naql (wahyu), berarti dalam memahami dan
mengamalkan agama harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa
wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang dan proporsional (tawâzun).
Sebab wahyu tanpa akal mustahil dapat dimengerti, demikian juga akal tanpa
wahyu mustahil mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki Allah.
Dalam konteks berbangsa
dan bernegara, jelas bahwa metodologi pemikiran (manhaj alfikr) paham
ASWAJA yang moderat, berimbang, adil, netral dan toleran, merupakan nilai-nilai
ideal dan luhur untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai,
adil dan sentosa, yang menghindari sikap dan tindakan-tindakan destruktif yang
merusak dan mengancam tatanan kehidupan dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa
dan negara.
Persaudaraan universal
dalam manhaj alfikr ASWAJA yang meliputi persaudaraan sesama umat Islam,
persaudaraan sesama anak bangsa, persaudaraan sesama manusia, merupakan
nilai-nilai humanis untuk memungkinkan umat Islam menjalankan tugas sebagai
khalifah dalam membangun peradaban madani di muka bumi. Wa Allahu A'lam. KD
________________
Disampaikan Oleh:
Daimullah Goeztav, Dalam
Seminar Peresmian Jam'iyah Halaqah Pendidikan Tinggi Program Khusus Ma'had Aly
Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo di PP. Sumbersari Kencong, Pare, Kediri, Pada
Tanggal 22 September 2010.
___________________